Kota Cimahi merupakan salah satu kota dari 12 kota/kabupaten baru dari pengembangan yang ditetapkan dalam era otonomi daerah. Perjalanan Cimahi sebelum berubah statusnya menjadi kota mempunyai sejarah yang sangat panjang. Diawali ketika tahun 1811 Gubernur Jenderal Hindia Belanda William Daendels membuat jalan Anyer Panarukan yang melewati Cimahi. dengan Dibuat Pos Penjagaan atau lotji, dan ketika pada tahun 1874 dibangun stasiun kereta api di Cimahi, serta dibukanya jalur Bandung Cianjur melewati Cimahi. Kemudian pada tahun 1886 dibangun pusat pendidikan militer dan segala fasilitasnya, seperti areal latihan, Lapangan Tembak, Rumah Sakit dan Rumah Pemasyarakatan Militer. Dengan berkembangnya pusat kegiatan militer tersebut, Kota Cimahi identik dengan sebutan Kota Militer atau Kota Hijau.
Nama Kota Cimahi diambil dari nama sebuah sungai yang membelah Kota Cimahi, mengandung arti “sungai yang airnya cukup melimpah untuk penduduk sekitarnya“. Pesatnya perkembangan Cimahi diakui ketika pada tahun 1953 diresmikan menjadi setingkat Kecamatan (Staat Blad Nomor 123 Tahun 1953). Ramainya kegiatan perdagangan dan jasa di Cimahi terutama diakibatkan oleh munculnya kebutuhan penunjang kawasan militer sehingga pada tahun 1962 status Cimahi meningkat menjadi Kewedanaan yang meliputi Wilayah Kecamatan Cipatat, Kecamatan Batujajar, Kecamatan Padalarang dan Kecamatan Cimahi.
Pertumbuhan Kec. Cimahi yang pesat didukung oleh adanya pusat industri yang mulai berkembang sejak pertengahan tahun 1970 yaitu di daerah Leuwigajah dan pusat perdagangan di Jalan Gandawijaya serta sektor perumahan hampir di seluruh wilayah Cimahi. Selanjutnya pada tahun 1975, status Cimahi berubah menjadi dimana Cimahi merupakan Kota Administratif pertama di Jawa Barat dan ke-3 di Indonesia. Namun demikian wilayahnya mengecil karena hanya meliputi Kecamatan Cimahi saja yang kemudian dipecah menjadi Kecamatan Cimahi Utara, Kecamatan Cimahi Tengah dan Kecamatan Cimahi Selatan. Berkat kebersamaan masyarakat dengan Pemerintah dalam mewujudkan lingkungan yang baik tercermin pada tahun 1994, 1995 dan 1997, Kota Administratif Cimahi memperoleh penghargaan Pemerintah Republik Indonesia dalam bidang pengelolaan lingkungan yaitu penghargaan Adipura.
Secara Geografis, Cimahi berbatasan dengan Kota Bandung di sebelah utara dan timur, dengan Kabupaten Bandung Barat di sebelah utara, dan Kabupaten Bandung di sebelah barat dan selatan, termasuk dalam kawasan andalan cekungan Bandung yang mempunyai fungsi sebagai daerah permukiman, industri, perdagangan dan jasa serta pemerintahan. Kota Cimahi memiliki karakter yang sangat dinamis, namun keberadaannya sebagai Kota Adminisratif tidak mampu lagi menampung aspirasi dan kegiatan masyarakat. Oleh karena itu atas perjuangan tokoh-tokohnya maka pada tahun 2001, Cimahi resmi menjadi Kota Otonom yang disahkan dengan Undang Undang Nomor 9 Tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001 yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan yaitu : Kecamatan Cimahi Selatan, Kecamatan Cimahi Tengah dan Kecamatan Cimahi Utara, dan 15 (limabelas) Kelurahan yaitu : Kelurahan Cibeber, Kelurahan Leuwigajah, Kelurahan Utama, Kelurahan Cibeureum, Kelurahan Melong, Kelurahan Baros, Kelurahan Karang Mekar, Kelurahan Padasuka, Kelurahan Setiamanah Kelurahan Cigugur Tengah, Kelurahan Cimahi, Kelurahan Pasirkaliki, Kelurahan Cibabat, Kelurahan Citeureup dan Kelurahan Cipageran.Kelurahan Cigugur Tengah, Kelurahan Cimahi, Kelurahan Pasirkaliki, Kelurahan Cibabat, Kelurahan Citeureup dan Kelurahan Cipageran.
Aset dasar dalam pembangunan adalah penduduk, karena dengan jumlah penduduk yang besar jika dibarengi dengan kualitas dari penduduk itu sendiri maka daerah tersebut akan memiliki sumber daya manusia yang cukup bagi terlaksananya program-program pembangunan yang direncanakan. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar apabila kurang berkualitas, akan menambah problematika pembangunan itu sendiri. Penduduk Kota Cimahi tahun 2003 berjumlah 483.242 orang, dengan komposisi 241.136 laki-laki dan 242.106 orang perempuan.
Eforia otonomi daerah masyarakat Cimahi rupanya tidak berumur lama. Hanya dalam kurun waktu lima tahun sejak diresmikan menjadi kota, Cimahi sudah mulai kesulitan menghadapi berbagai masalah perkotaan yang muncul karena luas wilayahnya yang terbatas. Letak wilayah kota tua di Jawa Barat yang menyimpan sejarah kolonial dengan peninggalannya berupa bangunan-bangunan tua itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari Kota Bandung yang menjadi pusat pemerintahan daerah Provinsi Jawa Barat. Kedua wilayah itu, wilayah Kota Bandung dan Kota Cimahi, saling berbatasan.
Kota Cimahi sudah melewati perjalanan panjang dan melelahkan. Sejarah dan masa lalunya menarik untuk disimak, paling tidak mengapa kota ini mendapat julukan ”Kota Hijau”. Kota Cimahi merupakan tempat di mana terdapat tidak kurang dari delapan lembaga pusat pendidikan (pusdik) TNI/AD dengan siswa-siswa yang berasal dari seluruh pelosok Nusantara. Cimahi sudah tumbuh jauh sebelum terbentuk Gemeeente Bandung (1 April 1906). Kota ini didesain menjadi pusat garnisun serdadu Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-19 yang dibuktikan dengan beberapa bangunan pendukungnya. Penjara militer yang populer dengan julukan Penjara Poncol dibangun tahun 1886. Bangunan yang kini digunakan Rumah Sakit Dustira itu dibangun tahun 1887, dan 12 tahun kemudian, tahun 1905, mengalami perluasan. Bangunan-bangunan itu masih tetap dipertahankan, baik bentuk maupun fungsinya.
Dari sudut pandang militer, pemilihan Kota Cimahi sebagai kota tentara sangat tepat karena letaknya strategis, yakni terletak di tepi jalan antara Jakarta dan Bandung sehingga memungkinkan mobilisasi pasukan secara cepat.48 Letaknya yang strategis sebenarnya sudah terlihat ketika tahun 1811, saat Gubernur Jenderal Daendels membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) Anyer-Panarukan sejauh 1.000 kilometer. Di daerah Priangan, setelah Cianjur, jalan tersebut alur kereta api Batavia-Bogor-Bandung pada tahun 1884. Sebuah stasiun dibangun di sana, menghubungkan Cimahi dengan Cilacap yang merupakan satu-satunya pelabuhan di selatan Pulau Jawa. Dari tahun ke tahun, jumlah serdadu yang ditempatkan di sana makin banyak. Apalagi sejak tahun 1908 Departement van Oorlog (Departemen Peperangan) mulai dipindahkan dari Weltevreden (Gambir) ke Bandung. Bangunannya tidak jauh dengan Markas Kodam III/Siliwangi yang dulunya merupakan
Paleis Legerbommandant.
Cimahi ditetapkan menjadi kecamatan, sesuai lampiran Staatblad tahun 1935 Nomor 123. Sampai 30 tahun setelah kemerdekaan, tidak banyak perubahan status yang dialami kota ini, kecuali dijadikan kewedanaan yang kemudian istilahnya diganti menjadi koordinator wilayah (korwil). Korwil Cimahi membawahkan empat kecamatan (Cimahi, Padalarang, Batujajar, dan Cipatat). Namun, dibandingkan dengan tiga daerah lainnya, Cimahi memiliki beberapa kelebihan.
Perkembangan Cimahi jauh lebih pesat. Karena itu, sebagai kota kedua setelah Kota Bandung, Cimahi merupakan pilihan bagi sebagian penduduk yang berurbanisasi. Pilihan itu bertambah lagi sejak daerah sekitarnya, seperti Leuwigajah dan Kecamatan Cimahi Selatan serta Cimahi Tengah, menjadi zona industri, yang sebagian besar terdiri dari industri tekstil dan produk tekstil. Pusat kotanya berkembang menjadi pusat perdagangan sehingga sejak itu Cimahi menjelma menjadi pusat kegiatan pelayanan barang dan jasa di wilayah Kabupaten Bandung bagian barat.
Melihat kenyataan ini, dua tahun sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pemerintah pusat (dalam hal ini Depdagri) menilai Kecamatan Cimahi layak ditingkatkan statusnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1975, Cimahi akhirnya ditetapkan sebagai kota administratif (kotif) pertama di Jabar dan ketiga di Indonesia setelah Bitung di Sulawesi Utara dan Banjarbaru di Kalimantan Selatan. Namun, peresmiannya sebagai kotif mulai dilaksanakan pada 29 Januari 1976 oleh Mendagri Amir Machmud. Secara kebetulan, Amir Machmud adalah perwira tinggi yang berasal dari Cimahi. Untuk menghargai jasa-jasanya, pada Hari Pahlawan tahun 2006, namanya diabadikan menjadi nama jalan di Kota Cimahi.
Luas wilayah Kotif Cimahi hanya meliputi wilayah Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Tengah, dan Cimahi Selatan dengan luas 40,3 kilometer persegi. Lebih kecil dibandingkan dengan luas sebelumnya ketika masih berstatus korwil. Jumlah penduduknya 218.588 jiwa. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua hal itu, yakni luas wilayah yang terbatas dan jumlah penduduk yang terus bertambah, menjadi masalah krusial yang dihadapi daerah ini setelah ditetapkan menjadi daerah otonom, Kota Cimahi.
Sistem Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Cimahi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci.
Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan, dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang-nya. Selanjutnya, tata ruang sendiri merupakan wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang.
Kawasan perkotaan dapat diartikan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Berdasarkan Pasal 199 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa kawasan perkotaan dapat dibedakan atas 3 (tiga) hal, yakni :
1.
Kota sebagai daerah otonom;
2.
Bagian dari kabupaten yang mempunyai ciri perkotaan;
3.
Bagian dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan mempunyai ciri perkotaan.
Pada rencana tata ruang kawasan perkotaan sendiri, diatur alokasi pemanfaatan ruang untuk berbagai penggunaan (perumahan, perkantoran, perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dsb) berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan (transparansi) dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni (livable environment) dan berkelanjutan. Rencana tata ruang merupakan landasan pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan. Peningkatan jumlah penduduk kawasan perkotaan yang pesat dari waktu ke waktu akan menyebabkan pengelolaannya semakin berat.
Kebutuhan lahan untuk aktivitas perkotaan sebagai
“engine of growth” pun akan meningkat drastis.
Secara kuantitatif, data menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat dari 32,8 juta atau 22,3% dari total penduduk nasional (1980), meningkat menjadi 55,4 juta atau 30,9% (1990), 74 juta atau 37% (1998) dan diperkirakan akan mencapai angka 150 juta atau 60% dari total penduduk nasional (2015) dengan laju pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% (1990-1995). Studi NUDS (2000) berdasarkan data PODES 1996 mengidentifikasi 3655 permukiman bersifat kota yang membentuk 1643 aglomerasi kota, sedang data yang lebih baru (kimpraswil, 2001) mencatat ada 399 kota menengah dan besar, 129 diantaranya terdapat di pulau Sumatera, 141 di Jawa – Bali, 37 di Kalimantan, 63 di Sulawesi dan lainnya (29 kota) di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. ada 399 kota menengah dan besar, 129 diantaranya terdapat di pulau Sumatera, 141 di Jawa – Bali, 37 di Kalimantan, 63 di Sulawesi dan lainnya (29 kota) di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Kota mempunyai luas yang tertentu dan terbatas, permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan/bentang alam perkotaan juga menyita lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Kedua hal ini umumnya merugikan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis.
Di lain pihak, kemajuan alat dan pertambahan jalur transportasi dan sistem utilitas, sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan warga kota, juga telah menambah jumlah bahan pencemar dan telah menimbulkan berbagai ketidak nyamanan di lingkungan perkotaan. Untuk mengatasi kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai suatu teknik bioengineering dan bentukan biofilter yang relatif lebih murah, aman, sehat, dan menyamankan.
Tata ruang kota penting dalam usaha untuk efisiensi sumberdaya kota dan juga efektifitas penggunaannya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya lainnya. Ruang-ruang kota yang ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mempunyai berbagai pendekatan dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem transportasi, dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam menata ruang kota. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang kota selain dikaitkan dengan permasalahan utama perkotaan yang akan dicari solusinya juga dikaitkan dengan pencapaian tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan, kenyamanan, serta kesehatan warga dan kotanya.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi Berbagai fungsi yang terkait dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan arsitektural) dan nilai estetika yang dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak hanya dapat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas kota.
Untuk mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam suatu sistem perkotaan maka luas minimal, pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya harus menjadi pertimbangan dalam membangun dan mengembangkannya. Karakter ekologis, kondisi dan keinginan warga kota, serta arah dan tujuan pembangunan dan perkembangan kota merupakan determinan utama dalam menentukan besaran Ruang Terbuka Hijau (RTH) fungsional ini.50 Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan. Pengendalian pembangunan wilayah perkotaan harus dilakukan secara proporsional dan berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan. Kelestarian Ruang Terbuka Hijau (RTH) suatu wilayah perkotaan harus disertai dengan ketersediaan dan seleksi tanaman yang sesuai dengan arah rencana dan rancangannya.
Ruang Terbuka Hijau (RTH), baik Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik maupun Ruang Terbuka Hijau (RTH), memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan,dan keberlanjutan kota. 51 Ruang Terbuka Hijau (RTH) berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar. Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.
Rencana pembangunan dan pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu :
1.
Luas RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan ditentukan secara komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu:
2.
Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH)
3.
Sruktur dan pola Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang akan dikembangkan (bentuk, konfigurasi, dan distribusi)
4.
Seleksi tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota.
Berkaitan dengan penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH), pengaturan tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH), ditegaskan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dinyatakan bahwa :
1.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) terdiri dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat;
2.
Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota;
3.
Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Proporsi tiga puluh persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik seluas minimal dua puluh persen yang disediakan oleh pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatan secara luas oleh masyarakat.
Selanjutnya, ketentuan tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dan distribusinya, ditegaskan dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menyatakan bahwa “Distribusi Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang”.
Berkaitan dengan sistem penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH), berdasarkan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) kawasan perkotaan adalah “bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika”, yang bertujuan untuk menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan, mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan, dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 11 Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang kota Cimahi, mengenai penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dinyatakan bahwa :
a. Sempadan sungai yang mengikuti 4 (empat) sistem sungai utama di Kota Cimahi dengan lebar sempadan sungai masing-masing 10 meter di kiri dan kanan sungai, dengan luas kurang lebih 139Ha, tersebar di semua kelurahan.
b.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan militer dengan luas kurang lebih 160 Ha;
c.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dengan luas kurang lebih 40 Ha tersebar di bagian tengah;
d.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) lingkungan dengan luas kurang lebih 115 Ha tersebar di bagian utara
e.
Kawasan konservasi air (emburg) dengan luas kurang lebih 30 Ha di bagian utara.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) berluas minimum merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berfungsi ekologis yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti, yang melingkup Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat. Dalam suatu wilayah perkotaan maka Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik harus berukuran sama atau lebih luas dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) luas minimal, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pendukung dan penambah nilai rasio terutama dalam meningkatkan nilai dan kualitas lingkungan dan kultural kota.
Berkaitan dengan sistem penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH), sistem penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Cimahi adalah berdasarkan sistem internal perkotaan, yaitu merupakan pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan di dalam kawasan perkotaan.
Pelaksanaan Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Cimahi.
Pemikiran yang merubah permukiman sekitar
lodji Tjimahi di sepanjang
Postweg (jalan raya pos) menjadi Kota Cimahi seperti sekarang berawal dari dibangunnya instalasi Garnizun oleh Pemerintah Belanda pada pertengahan abad 19. Pembangunan instalasi pendidikan militer tersebut sangat strategis di waktu itu, sebab selain untuk meningkatkan kemampuan bertahan dan menyerang dari armada pertahanan kolonial, juga sering terjadi pula modernisasi persenjataan yang berpengaruh pada teknik perang.
Perkembangan pesat berikutnya yang terjadi di Kota Cimahi adalah pada masa era “relokasi industri” dari Kota Bandung pada masa textile boom dari akhir 1970-an hingga awal 1990-an. Ketersediaan air tanah dalam dan mudanya tenaga kerja menjadi pemicu tumbuhnya raksasa-raksasa tekstil di Cimahi, pada masa itu persawahan subur di Utama, Cibeureum, Cigugur Tengah dan Melong berubah menjadi zona industri. Dengan bertambahnya pekerja pendatang, serta tambahan kebutuhan perumahan dari Kota Bandung, maka bersamaan dengan era industri berkembang pula perumahan di Melong, Cibeber, Padasuka, Cibabat, Citeureup maupun Cipageran. Perkembangan perumahan-perumahan tersebut telah memperluas cakupan pelayanan prasarana dan sarana dasar kota, namun tidak cukup diimbangi dengan tambahan kapasitas serta pola infrastruktur utama kota yang ada, sehingga terjadi sumbatan yang parah di jalan nasional dan kesemrawutan manajemen penanganan ketertiban di pusat-pusat keramaian.
Era otonomi Daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Cimahi, memberikan pengelolaan penuh untuk menata, mengatur dan mengembangkan kota. Setelah berkembang ratusan tahun Cimahi baru ditata seperti layaknya kota-kota besar yang terlebih dahulu menerapkan Stadvorming Ordonantie 1948 (SVO) dan Stadvorming Verordening 1949 (SVV).
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, di dasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia, terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten, wilayah kota yang setiap wilayah tersebut merupakan sub sistem ruang menurut batasan administratif.
Kewenangan yang biasanya yang terdiri atas beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechts bevoegdheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik.
Menyangkut pelaksanaan penetapan penataan ruang, dengan wewenang yang telah diberikan, Pemerintah Kota Cimahi telah melakukan berbagai kebijakan tentang penataan ruang, adapun kebijakan penataan ruang Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi meliputi :
1.
Pemanfaatan fungsi kota sebagai pusat jasa yang didukung oleh kegiatan perdagangan, pendidikan dan iptek, pariwisata, industri, militer, dan pemukiman;
2.
Mengembangkan kota dalam rangka mewujudkan otonomi daerah;
3.
Mengembangkan partisipasi para pelaku pembangunan, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat dalam penataan ruang;
4.
Mengendalikan jumlah penduduk daerah pada tahun 2012 kurang lebih 613.581 jiwa serta diatur sebarannya sesuai dengan daya dukung dan daya tampung ruang wilayah kota;
5.
Mengembangkan pola pembangunan fisik kota dengan intensifikasi yaitu dengan bangunan bertingkat guna meperbesar daya tampung;
6.
Mengatur dan mengendalikan pemanfaatan ruang kota dengan cara mendorong, menstabilkan, dan membatasi perkembangan sesuai tipologi masalah dan potensi perkembangan tiap bagian kota;
7.
Meningkatkan dan mengembangkan prasarana kota, sehingga dapat mendukung segenap kegiatan dalam wilayah kota, dan mengatasi permasalahan yang disebabkan oleh keterbatasan prasarana kota seperti kemacetan lalu lintas, banjir/genangan, dan sebagainya;
8.
Mengembangkan pusat-pusat pelayanan pada bagian-bagian wilayah kota guna lebih memeratakan pelayanan dan kegiatan dalam kota, serta mengurangi tekanan terhadap kawasan pusat kota;
9.
Melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup dalam penataan ruang sejalan dengan upaya mengoptimalkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; dan
10.
Mengusahakan keterpaduan pembangunan dengan daerah-daerah sekitar wilayah kota Cimahi.
Selanjutnya, dalam hal pelaksanaan penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dalam hal pelaksanaannya, kebijakan yang telah ditempuh adalah :
1.
Menetapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan militer dengan luas kurang lebih160 Ha;
2.
Menetapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dengan luas kurang lebih 40 Ha tersebar di bagian tengah;
3.
Menetapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) lingkungan dengan luas kurang lebih 115 Ha tersebar di bagian utara.
Pada kenyataannya pelaksanaan Penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dari Peraturan Daerah ini terbentur oleh otorita kawasan militer, karena di dalamnya terdapat aktivitas pendidikan militer yang dimulai sejak tahun 1811 dimulai dari pemindahan militer Belanda dari Batavia, sehingga setengah dari kekuatan militer Belanda berada di Cimahi, kemudian dilanjutkan oleh Militer Jepang baru kemudian dilanjutkan oleh Tentara Nasional Indonesia. Kenyataan tersebut menjadikan bahwa wilayah militer yang ada di Kota Cimahi tidak dapat dialokasikan untuk penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai dengan Pasal 11 Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kota Cimahi, karena kawasan militer (375 Ha) tersebut terbentuk terlebih dahulu. Selain itu, di wilayah utara Kota Cimahi lahan pertanian dan kawasan hijau dalam pelaksanaannya berbenturan dengan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Cimahi tentang izin mendirikan bangunan, dimana ada pengecualian tentang mendirikan bangunan tanpa izin dan bangunan masyarakat yang dengan tidak adanya izin. Selanjutnya, di wilayah selatan Kota Cimahi terdapat zona industri yang tidak dapat dipungkiri bahwa tidak akan mungkin menyiapkan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kawasan industri tersebut, karena wilayah yang sangat minim (4.103,73 Ha) tersebut habis untuk bangunan industri tanpa mengacu pada RUTR Kota Cimahi.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian oleh Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia, dapat diambil kesimpulan :
1.
Secara sistem, hirarki penataan ruang dikelompokkan atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan untuk membagi secara tegas fungsi pelayanan regional dan fungsi pelayanan internal perkotaan. Berdasarkan Pasal 11 Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi, penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dinyatakan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan militer dengan luas kurang lebih 160 Ha, Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dengan luas kurang lebih 40 Ha tersebar di bagian tengah dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) lingkungan dengan luas kurang lebih 115 Ha tersebar di bagian utara dengan berdasarkan sistem internal perkotaan, yaitu merupakan pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan di dalam kawasan perkotaan. Kemudian, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dinyatakan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) terdiri dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat.
2.
Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Di Kota Cimahi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, sebagai dasar hukum Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang kota Cimahi bahwa distribusi Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang. Berdasarkan Pasal 11 Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang kota Cimahi, mengenai Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang harus dipenuhi adalah 160 Ha untuk kawasan militer, 40 Ha untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dan 115 Ha untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) lingkungan. Pada kenyataannya Pemerintah Kota Cimahi tidak mampu merelokasi wilayah militer yang ada di Kota Cimahi untuk pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Selain itu, di wilayah utara Kota Cimahi lahan pertanian dan kawasan hijau dalam pelaksanaannya berbenturan dengan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Cimahi tentang izin mendirikan bangunan, dimana ada pengecualian tentang mendirikan bangunan tanpa izin dan bangunan masyarakat yang dengan tidak adanya izin. Kemudian zona industri yang terdapat di wilayah selatan Kota Cimahi habis untuk bangunan industri tanpa mengacu pada RUTR Kota Cimahi. Hal itu berakibat terbenturnya pelaksanaan sistem Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Cimahi.
3.
Masalah-masalah yang timbul dalam penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota Cimahi, yaitu bahwa kawasan militer yang ada di Kota Cimahi tidak dapat dialokasikan untuk penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai dengan Pasal 11 Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kota Cimahi, karena kawasan militer (375 Ha) tersebut terbentuk terlebih dahulu. Di wilayah utara Kota Cimahi lahan pertanian dan kawasan hijau dalam pelaksanaannya berbenturan dengan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Cimahi tentang izin mendirikan bangunan, dimana ada pengecualian tentang mendirikan bangunan tanpa izin dan bangunan masyarakat yang dengan tidak adanya izin. Di wilayah selatan Kota Cimahi terdapat zona industri yang tidak dapat dipungkiri bahwa tidak akan mungkin menyiapkan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kawasan industri tersebut, karena wilayah yang sangat minim (4.103,73 Ha) tersebut habis untuk bangunan industri tanpa mengacu pada RUTR Kota Cimahi. Penyelesaiannya adalah Pemerintah Daerah Kota Cimahi harus konsisten dan tegas dalam hal menjalankan kebijakan penataan ruang dan menjalankan rencana tata ruang wilayah dalam hal pola pemanfaatan ruang, dengan merelokasi kawasan militer ke luar wilayah Kota Cimahi untuk megeksistensikan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan tersebut, Selanjutnya, Pemerintah Kota Cimahi harus memperketat izin mendirikan bangunan di kawasan utara demi menjaga eksistensi pertanian dan kawasan hijau wilayah utara tersebut dan pemerintah Kota Cimahi juga harus mempunyai keberanian untuk merealisasikan eksistensi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah selatan Kota Cimahi, yaitu dengan melakukan pembongkaran sebagian zona industri untuk pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah yang luasnya sangat minim (4.103,73 Ha) tersebut, yang sampai sekarang habis untuk bangunan industri.
Saran dari Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia
1.
Pemerintah daerah Kota Cimahi harus meninjau ulang atau merevisi Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kota Cimahi dan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga Perda lainnya yang terkait, yaitu Perda Nomor 37 Tahun 2003 tentang Izin Mendirikan Bangunan di Kota Cimahi serta Perda yang berkaitan dengan pengaturan mengenai Kawasan Industri, Kawasan Militer, Kawasan Perkotaan, Kawasan Pertanian, Kawasan Perumahan, Kawasan Pendidikan dan Pengaturan mengenai lingkungan hidup dan yang lainnya disertai adanya perubahan-perubahan undang-undang yang terkait. dan materi yang termuat harus lebih holistik dan tidak parsial.
2.
Agar Ruang Terbuka Hijau (RTH) Di Kota Cimahi dapat terpenuhi sesuai dengan ketentuan yang berlaku Walikota atau pejabat yang ditunjuk harus lebih memperketat pemberian izin terhadap setiap orang atau badan hukum yang akan melakukan pemanfaatan ruang.
3.
Pemerintah Daerah Kota Cimahi harus konsisten dan tegas dalam hal menjalankan kebijakan penataan ruang dan menjalankan rencana tata ruang wilayah dalam hal pola pemanfaatan ruang, dan harus adanya sinkronisasi dan harmonisasi antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya serta Pemerintah Daerah harus mengusulkan peninjauan ulang terhadap Pemerintah Pusat mengenai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah ini, di mana undang-undang yang lama belum harmonis. Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 harus secara konsisten menerapkan sanksi yang sudah di muat dalam Pasal 69 sampai Pasal 75. dalam merevisi ulang, harus melibatkan peran akadimisi dalam membuat kajian akademis. Selanjutnya perwakilan dari Masyarakat Industri, Militer, Perumahan dan pihak lainnya yang berkaitan dengan penempatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di lokasi kawasan masing-masing untuk menciptakan hukum yang responsif.