Jumat, 26 Agustus 2011

Pulau Nias - Pulau yang Banyak Dikunjungi Wisatawan


Kepulauan Nias memiliki warisan alam dan budaya yang menakjubkan. Nias memiliki situs peninggalan megalitik yang unik dan berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Peninggalan era megalitikum tersebut berupa desa tradisional dengan rumah-rumah adat berarsitektur unik dan antik, tradisi lisan, serta berbagai kesenian dan kerajinan nasional yang memikat

Pariwisata budaya berkelanjutan yang diinginkan dan diterapkan Nias, memilki warisan hoho (syair) dan mithos tentang “langit yang berlapis sembilan.” Melalui konsep ini dengan mengangkat keterlibatan masyarakat guna mendukung kegiatan pariwisata di daerahnya melalui sentra-sentra pariwisata berbasis pada kegiatan hidup mereka sehari-hari.

Pariwisata Nias melalui desa tradisional Bawomataluo (bukit Matahari) yang lengkap dengan peninggalan budaya megalitik sebagai sentra pariwisata. Karena banyak pengakuan Wisman yang pernah berkunjung ke desa ini, layaknya menginjakkan kaki pada sensasi suatu peradaban ratusan tahun lalu.

Wisatawan dapat melihat langsung kehidupan sehari-hari masyarakat Nias yang tinggal di rumah-rumah trasidional. Desa pesisir atau pulau di selatan dapat dibina dengan mengangkat pada hidup keseharian nelayan atau petani tradisional di wilayah tengah dan barat Pulau Nias yang selama ini, bagaikan terpisahkan pagar yang besar, tinggi dan kukuh.

Membangkitkan kembali kepariwisataan Nias paska gempa dan Tsunami, kewirausahaan masyarakat secara menyeluruh menjadikan kehidupan manusia yang berkaitan dengan gagasan, perilaku dan material. Sehingga budaya yang dimaksudkan, tidak hanya kesenian, tingkat kemajuan teknologi atau hasil karya yang indah-indah. Tetapi juga emliputi karya Ono Niha dalam mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup mau pun, proses adaptasi dengan lingkungan yang sangat akrab dengan terjadinya bencana.

KABUPATEN Nias dengan ibukota Gunungsitoli yang dipisahkan oleh Samudera Hindia dengan Pulau Sumatera, dapat ditempuh melalui udara dari ibukota Provinsi Sumatera Utara, dengan pesawat terbang melalui bandar udara (Bandara) Polonia dan mendarat di lapangan terbang, Binaka.

Lapangan terbang Binaka dengan Gunungsitoli hanya berjarak, 15 kilometer. Sedangkan dari laut dihubungkan dengan jalur pelayaran tetap dari Sibolga menuju ibukota kabupaten, Gunungsitoli atau dari Sibolga menuju Teluk Dalam.

Teluk Dalam merupakan sentra wisata yang berbasis peninggalan budaya megalitik dan menjadi andalan kunjungan wisatawan mancanegara, paling menonjol keberadaan Desa Bawomataluo (Bukit Matahari) yang lengkap dengan rentangan bangunan rumah adat.

Di Desa Bawomataluo inilah, wisatawan yang berkunjung bukan saja bisa menikmati keindahan arsitektur bangunan rumah adat Omo Hada, juga pagelaran Tari Baluse (Tari Perang) mau pun Hombo batu (Lompat batu).

Pantai Lagundri, kawasan pantainya merupakan bentangan pasir yang lebar dan memanjang hingga puluhan meter. Pantai ini menjadi tujuan utama Wisman yang khusus menghabiskan waktunya untuk berselancar atau olah raga ski air.

Pantai Lagundri dinilai unik dibandingkan dengan kawasan pantai-pantai lainnya, karena memiliki 15 jenis ombak (gelombang). Di desa- desa pantai ini tidak didapati rumah adat dan dikenal sebagai kawasan komunitas kaum Muslim.

Sosialisasi UURI No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

PULAU MASELEMBO
Pulau Masalembu atau yg juga dikenal dengan nama Pulau Masalembo merupakan pulau kecil yang terletak di utara pulau Madura. Kecamatan Masalembu ini masuk wilayah Kabupaten Sumenep. Sekitar abad XVII, orang-orang Bugis sering melakukan perjalanan ke Surabaya untuk berdagang. Barang dagangan mereka yang paling banyak adalah kelapa.
Pada suatu ketika, sebuah kapal mereka tidak mendapat cukup angin dan akhirnya terdampar di perairan sebelah timur Pulau Masalembu. Karena pulau ini adalah pulau yang terdekat, mereka memutuskan untuk mendarat. Pulau ini tidak di huni oleh seorang manusiapun, hanyaterdapat sekumpulan sapi atau lembu yang merata hampir di semua pulau. Maka orang Bugis menamakan pulau ini dengan Nusa Lembu.
Karena tanahnya yg cocok untuk kelapa, maka orang-orang bugis memutuskan untuk menanam kelapa bawaan mereka di pulau ini dan mengganti barang bawaan mereka dengan sapi untuk di bawa ke Surabaya. Setelah mendapat cukup angin, mereka melanjutkan perjalanan ke surabaya untuk berdagang. Di Surabaya mereka menyebarkan informasi mengenai keberadaan pulau ini.
Beberapa tahun kemudian mereka datang lagi ke Nusa Lembu dan memutuskan untuk menempati pulau ini. Kelapa yang mereka tanam sebelumnya  telah menghasilkan. Lambat laun seiring berja-lanan waktu, orang bugis banyak yang menikah dengan orang  jawa timur dan sebagian besar dengan orang madura. Kemudian mereka menyebut Nusa Lembu menjadi Masalembu, masa yang berarti banyak dan lembu yang berarti sapi.

Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2007
Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil
Konsideans
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga keles-tariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki keragaman potensi Sumber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasan global, dengan memper-hatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional.


Pasal 3
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berasaskan:
a. keberlanjutan;
b. konsistensi;
c. keterpaduan;
d. kepastian hukum;
e. kemitraan;
f. pemerataan;
g. peran serta masyarakat;
h. keterbukaan;
i. desentralisasi;
j. akuntabilitas; dan
k. keadilan.


Pasal 4
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan :
a. melindungi, mengonservasi, mere-habilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;
b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penge-lolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan
d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.


Gambar disamping merupakan arus laut di Indonesia Timur. Pada bagian atas (garis hijau) menunjukkan air laut mengalir dari barat memanjang di Laut Jawa, berupa monsoonal stream atau arus musiman. Arus ini sangat dipengaruhi oleh cuaca dan musim. Sedangkan dari Selat Makassar ada arus lain dari utara yang merupakan thermoklin, atau aliran air laut akibat perbedaan suhu lautan. Kedua arus ini bertemu di sekitar Segitiga Masalembo.
Arus ini akan sangat mempengaruhi pelayaran laut. Arus musiman ini sangat dipengaruhi juga oleh suhu air laut akibat pemanasan matahari. Kalau anda masih ingat bahwa lintasan matahari itu bergerak bergeser ke-utara-selatan dengan siklus tahunan. Itulah sebabnya pada bulan-bulan Januari yang merupakan saat perubahan arus musiman (monsoon).
Arus ini membawa air laut dingin dari Samudra Pasifik ke Samudra Indonesia  dengan debit hingga 15 juta meterkubik perdetik. Hampir keseluruhannya melalui Selat Makassar.

Banyak aspek lain yang ikut mengalir dengan aliran air sebanyak itu, misalnya akan terdapat pula aliran ikan-ikan laut, aliran sedimen laut, juga aliran temperatur air. Kalau digambarkan secara mudah barangkali profil selat makassar dapat dilihat seperti dibawah ini.
Pada profil dasar selat Makassar diatas terlihat batuan kalimantan dan batuan sulawesi berbeda. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan mencolok antara Indonesia barat dengan Indonesia Timur. Kalimantan merupakan bagian dari Paparan Sunda (Indonesia Barat) sedang Sulawesi merupakan bagian dari Indonesia Timur. Garis yang membaginya ditemukan oleh Wallace disebut sebagai Garis Wallace (Wallace Line).
Ada aspek meteorologis yang memisahkan antara daerah diatas air dengan daerah diatas daratan yaitu awan. Awan merupakan fenomena khusus yang paling banyak dijumpai diatas daratan.
Angin yang berhembus karena perbedaan tekanan udara panas. Pada malam hari saat bertiupnya angin darat, para nelayan pergi menangkap ikan di laut. Sebaliknya pada siang hari saat bertiupnya angin laut, para nelayan.
Perubahan angin darat laut karena suhu ini berubah dalam siklus harian, namun tentunya ada juga siklus tahunannya atau disebut siklus monsoon.
Kalau dibandingkan dengan Segitiga Bermuda, lokasi Segitiga Masalembo juga tidak menunjukkan keanehannya. Sepertinya keangkeran segitiga Masalembo ini lebih ditentukan oleh faktor gangguan alamiah yang bukan mistis. Yang mungkin paling dominan adalah faktor meteorologis termasuk didalam-nya faktor cuaca, termasuk didalamnya angin, hujan, awan, kelembaban air dan suhu udara yang mungkin memang merupakan manifestasi dari konfigurasi batuan serta kondisi geologi, oceaografi serta geografi yang sangat unik.

Dari LKTRI :
Perlu pengaturan Tata Ruang Pulau secara khusus dan pengaturan lalu lintas laut dengan rambu-rambunya termasuk petugasnya. Sosialisasi UU RI No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

TATA RUANG INDONESIA: KILAS BALIK PERTAMBANGAN DI INDONESIA

TATA RUANG INDONESIA: KILAS BALIK PERTAMBANGAN DI INDONESIA: Sejarah pertambangan dan energi di Indonesia dimulai dengan kegiatan pertambangan yang dilakukan secara tradisional oleh penduduk dengan se...

KILAS BALIK PERTAMBANGAN DI INDONESIA


Sejarah pertambangan dan energi di Indonesia dimulai dengan kegiatan pertambangan yang dilakukan secara tradisional oleh penduduk dengan seizin penguasa setempat. seperti, Raja, ataupun Sultan.
Pada tahun 1602 Pemerintah Belanda membentuk VOC, mereka selain menjual rempah-rempah juga mulai melakukan perdagangan hasil pertambangan, pada tahun 1652 mulailah dilakukan penyelidikan berbagai aspek ilmu kealaman oleh para ilmuwan dari Eropa. 
Pada tahun 1850 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Dienst van het Mijnwezen (Mijnwezenn-Dinas Pertambangan) yang berkedudukan di Batavia untuk lebih mengoptimalkan penyelidikan geologi dan pertambangan menjadi lebih terarah.
Menjelang tahun 1920, sesuai dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Bandung sebagai ibukota Hindia Belanda, maka dilakukan persiapan untuk memindahkan kantor Mijnwezen ke Bandung. Departement Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) yang membawahi Mijnwezen dan menempati Gedung Sate. Pada tahun 1922, lembaga Mijnwezen ini berganti nama menjadi Dienst van den Mijnbouw.
Pada Tahun 1928 Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun gedung Geologisch Laboratorium yang terletak di jalan Wilhelmina Boulevard untuk kantor Dienst van den Mijnbouw dan diresmikan pada tanggal 16 Mei 1929.
Selanjutnya gedung ini diper-gunakan untuk penyelenggaraan sebagian dari acara Pacific Science Congress ke IV. Gedung ini sekarang bernama Museum Geologi, yang berlamat di jalan Diponegoro No. 57 Bandung.
Selama Perang Dunia ke II, kerap dipergunakan sebagai tempat pendidikan Assistent Geologen Cursus (Kursus Asisten Geologi), dengan peserta hanya beberapa orang saja diantaranya, Raden Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut. Dua orang peserta pribumi itulah yang kemudian menjadi pegawai menengah pertama di kantor Mijnbouw sejak tahun 1941 yang dikemudian hari menjadi tokoh perjuangan dalam membangun kelembagaaan tambang dan geologi nasional.
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Mijnbouw dengan segala sarana dan dokunennya diambilalih oleh Jepang dan namanya diganti menjadi Chisitsu Chosasho. Kantor Chisitsu Chosasho tidak dapat berbuat banyak karena ketiadaan tenaga ahli dan anggaran. Tenaga aWl Belanda pada awalnya masih dipertahankan tetapi kemudian diinternir, kecuali mereka yang diperlukan oleh Jepang.
Proklamasi Kernerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agurus 1945 mengantarkan perubahan yang sangat besar di segala bidang, termasuk bidang pertambangan. Setelah disiarkan melalui radio. berita tentang proklamasi dapat diterima secara luas oleh masyarakat di seluruh Indonesia. Pegawai pribumi di kantor Chisitsu Chosasho yang sebagian besar masih muda, menerima berita itu dan mereka langsung mempersiapkan diri untuk mengambil Iangkah yang diperlukan.
Pada tanggal 25 September 1945 keluarlah pengumuman dan Pemerintah Pusat yang menyatakan bahwa semua pegawai negeri adalah pegawai Republik. Indonesia dan wajib menjalankan perintah dari Pemerlntah Republik Indonesia. Dengan mengacu kepada perintah Pemerintah Pusat itu Komite Nasional Indonesia Kota Bandung yang baru terbentuk, pada tanggal 27 September 1945 malam mengumumkan lewat radio agar keesokan harinya semua kantor dan perusahaan yang ada di Bandung diambil alih dari kekuasaan Jepang. Pada hari Jumat pukuI 11.00 tanggal 28 September 1945, sekelompok pegawai muda di kantor Chisitsu Chosasho pun bertindak, mereka dipe1opori oleh Raden Ali Tirtosoewirjo. A.F. Lasut. R. Soenoe Soemosoesastro dan Sjamsoe M. Bahroem yang mengambil alih dengan paksa kantor Chisitsu Chosasho dari pihak Jepang, dan sejak saat itu nama kantor diubah menjadi Poesat Djawatan Tambang dan Geologi.
Keesokan harinya dibentuk Dewan Pimpinan Kantor yang terdiri dari tujuh orang, dan Raden Ali Tirtosoewirjo ditunjuk sebagai pimpinannya. Selang beberapa hari  terjadi pergantian pimpinan, R. Soenoe Soemosoesastro yang semula menjabat sebagai wakil pimpinan. diangkat menjadi pimpinan dan A. F. Lasut sebagai wakilnya.
Beberapa minggu kemudian, terjadi lagi pergantian pimpinan A. F. Lasut diangkat sebagai Kepala Poesat Djawatan dan R. Soenoe Soemosoesastro sebagai Kepala Bagian Geologi. Sebagai pimpinan. A.F. Lasut pada tanggal 20 Oktober 1945 mengeluarkan pengumuman yang pertama bahwa semua perusahaan pertambangan ditempatkan di bawah pengawasan Poesat Djawatan Tambang dan Geologi.
Tiga bulan kemudian, pada tanggal 12 Desember 1945. sebagian kantor Poesat Djawatan Tambang dan Geologi, dipindahkan ke gedung Onderling Belang, di J1. Braga No.3 dan No. 8. Bandung. karena terdesak oleh datangnya pasukan Belanda bersama pasukan Sekutu. Kantor Poesat Djiawatan Tambang dan Geologi pun diduduki oleh pasukan Belanda. Akibat serangan pasukan Belanda yang semakin gencar, pada tanggal 23 Maret 1946 kegiatan Poesat Djawatan Tambang dan Geologi pindah dari Bandung ke Tasikmalaya, kemudian ke Mage1ang, dan Tirtomoyo. Sedangkan yang masih tinggal di Tasikmalaya, pada tanggal 6 Desember 1946 menyusul mereka yang lebih dahulu mengungsi ke Jawa Tengah. 
Keterbatasan dalam sarana kerja, memaksa Pimpinan Djawatan untuk memencarkan para pegawai ke berbagai tempat. Sebagian ditempatkan di Borobudur, Muntilan, Dukun, dan Srumbung di kaki Gunung Merapi. 
Untuk memudahkan hubung-an dan menghimpun kembali para pegawai itu, maka terbitlah Surat Keputusan Menteri Muda Kemakmuran NO.902/T.O/J.O tanggal 20 Nopember 1947, yang memerintahkan agar Kantor Poesat Djawatan Tambang dan Geologi dan bagian-bagiannya pindah ke beberapa tempat di Yogyakarta.
Selama perang kemerdekaan. Desember 1945 - Desember 1949, kantor Poesat Djawatan Tambang dan Geologi dalam pengungsian dan berpindah-pindah. Untuk mengembangkan Poesat Djawatan Tambang dan Geologi, A.F. Lasut bersama dengan R. Soenoe Soemosoesastro membuka Sekolah Pertambangan-Geologi Tinggi (SPGT), Sekolah Pertambangan-Geologi Menengah (SPGM), dan Sekolah Pertambangan-Geologi Pertama (SPGP).
A.F. Lasut sebagai orang muda memiliki sifat tegas, menolak bekerjasama dengan Belanda. Pada waktu Yogyakarta diduduki pasukan Belanda itulah AF. Lasut pada pagi han tanggal 7 Mer 1949 diculik oleh pasukan Belanda dari Tijger Brigade dari kediamannya di Pugeran, dibawa dengan jip ke arah Kaliurang, dan kemudian dibunuh di daerah Sekip, yang sekarang masuk lingkungan Kampus Universitas Gadjah Mada. Dan atas jasa-jasanya, A.F. Lasut kemudian dianugerahi ge1ar Pah1awan Kemerdekaan Nasional dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 012/TK/Tahun 1969 tanggal 20 Mei 1969.
Dengan ditetapkannya A.F. Lasut sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, maka memperkuat landasan bahwa pengambilalihan kantor Chisitsu Chosasho pada tanggal 28 September 1945 merupakan peristiwa heroik yang penting bagi sektor pertambangan dan energi. 28 September 1945. juga terjadi pengambilalihan kantor Jawa Denki Koza (Perusahaan Listrik Jawa) secara paksa oleh para pemuda.
Dalam menetapkan Hari Jadi Penambangan dan Energi, Menteri ESDM menerbitkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1319 K/73/MEM/2006 tentang Tim Penyusunan Buku Sejarah Pertambangan dan Energi kemudian diperbaharui dengan Keputusan No. 0147 K/73/MEM/200R tanggal 14 Februari 2008.
Setelah tim melakukan kajian di sektor Pertambangan dan Energi ditemukan beberapa hal penting, yaitu :  pertama. 28 September 1945, kedua, 7 Mei 1949, ketiga, 22 Februari 1952, keempat, 14 Oktrober 1960, kelima, 2 Desember 1967, keenam, 27 Oktober 1945, ketujuh, 3 Oktober 1953, kedela-pan, 5 Oktober 1945, kesembilan, 26 Oktober 1960 (peristiwa pada semua tanggal tersebut termuat dalam Buku Sejarah Pertambangan dan Energi).
Berdasarkan hasil penetapan tersebut. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan surat kepada Presiden No. 1349/04/ME-LS/2008 tanggal 26 Pebruari 2008 mengusulkan Hari Jadi Pertambangan dan Energi untuk ditetapkan dalam Keputusan Presiden. Selanjutnya dengan Keputusan Presiden Repub1ik Indonesia Nomor 22 tahun 2008 tanggal 27 September 2008 ditetapkan Hari Jadi Pertambangan dan Energi adalah tanggal 28 September.

(Sumber : www.esdm.go.id)

SUKU DAYAK KANAYATAN


Suku Dayak dikatakan sebagai salah satu kelompok etnis tertua di Kalimantan. Menurut mitos, nenek moyang orang Dayak berasal dari Kalimantan. Catatan sejarah tentang orang Dayak sebelum tahun 1850 sebenarnya sangat nihil, dan orang Dayak Kanayatan sendiri hanya mempunyai sejarah lisan. Ada beberapa hipotesis dari para ahli, seperti dari Kern dan Bellwood yang menunjukkan bahwa orang pada zaman sekarang di Nusantara mungkin berasal dari Yunan, Tiongkok yang datang ke Nusantara secara bergelombang beberapa milenium sebelumnya.
Pada tahun 1938 ditemukan tengkorak Homo Sapiens yang berumur sekitar 38.000 tahun di salah satu gua di Niah, yang terletak di pantai utara Sarawak. Tengkorak itu mirip tengkorak suku Dayak Punan pada zaman sekarang (Avé 1996 : 6).
Menurut Sellato (2002 : 128) aktivitas orang Dayak sebenarnya beradaptasi dengan lingkungannya dan juga tergantung sosialisasi dengan suku tetangganya. Dia berpendapat bahwa kelompok nomaden, hunter and gathers, yang tinggal di pelosok secara pindah-pindah, dan juga tinggal jauh dari kelompok lain mereka senantiasa berswadaya.
Kelompok Dayak lain juga beradaptasi dengan lingkungannya tetapi mereka tidak berswadaya secara menyeluruh seperti kelompok yang disebut di atas. Ada juga kelompok ketiga, yang berasimilasi total dengan pendatang baru, mereka tetap bertani dan membudidayakan binatang-binatang tertentu dan mungkin juga mengadopsi bahasa dari imigran sekitarnya.
Bahasa Dayak menurut para ahli linguistik diklasifikasikan seba-gai Malayo Polynesia dari keluarga bahasa Austronesia (www.ethno-logue.com : 2004). Menurut hipotesis Adelaar, Borneo dilihat sebagai homeland, daerah asal, bahasa Malay(ic) (Adelaar 2004 : 4). Ada ahli bahasa lain yang berpendapat bahwa homeland bahasa Malayic berada sekitar 100 kilometer dari hulu sungai Sambas, tetapi pendapat itu harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena belum cukup data yang mendukung hipotesis itu, menurut Adelaar.
Walaupun ada persamaan keluarga bahasa, namun tidak harus memiliki persamaan etnis. Belum cukup temuan arkeologis yang didapat untuk membuktikan asal usul orang Dayak. Hipotesis-hipotesis dan tulisan tersebut di atas hanya mengindikasikan bahwa suku Dayak sudah lama berada di Kalimantan.
Tampaknya sekitar abad ke-11 suku Melayu masuk (atau kembali) ke Sambas, Mempawah, Sanggau, Sintang dan kemudian menyebar ke tempat lain. Menurut pendapat umum agama Islam menyebar ke Kalimantan sekitar abad ke-15. Ini menunjukkan bahwa Islam masuk setelah orang Melayu dan Jawa membawa unsur-unsur agama Hindu dan budaya dari zaman Sriwijaya dan juga dari zaman Majapahit ke Kalimantan.
Salah satu Kerajaan Hindu tertua di Kutai didirikan sekitar abad keempat, tepatnya di Kalimantan Utara. Disebutkan bahwa di candi Borobudur ada gambar laki-laki dengan telinga panjang yang sepertinya menggunakan sumpit yang panjang. Relief ini mungkin melukiskan orang Dayak (Avé 1986 : 13). Menurut Kühr (1995 : 53) dewa-dewi orang Dayak yang tinggal di pinggir sungai Kapuas, sebenarnya diberi nama dewa-dewi Hindu-Jawa yang didayakkan seperti; Petara (Batara), Jubata (Déwata) dan Sengiang (Sang Hyang).
Di samping back migration (merantau kembali) orang Melayu, etnis Tionghoa berlayar ke pantai Asia Timur pada abad ketiga untuk perdagangan dan kembalinya melalui Kalimantan dan Filipina dengan memanfaatkan angin musim. Etnis Tionghoa adalah kelompok yang cukup penting dalam sejarah Kali-mantan, sehingga sejarah mereka penting disorot.
Sekitar abad ketujuh orang Tionghoa mulai menetap di Kali-mantan tetapi mereka tetap bercorak Cina dan hubungan dengan negeri leluhur mereka selalu dipelihara. Pada tahun 1292 pasukan Kubilai Khan dalam perjalanannya untuk menghukum raja Kertanegara dari Majapahit di Jawa singgah di pulau Karimata yang terletak tidak terlalu jauh dari Pontianak. Kawasan tersebut termasuk jaringan lalu lintas rute pelayaran dari daratan Asia ke Asia selatan.
Pasukan Tartar dari Jawa menderita kekalahan total dalam pertempuran dengan pasukan Kubilai Khan. Ada kemungkinan bahwa sebagian besar pasukannya lari dan menetap di Kalimantan karena mereka takut dihukum oleh pejabat Kubilai Khan yang masih ada di Jawa.
Agama Islam di Kalimantan juga ikut disebarkan oleh orang Tionghoa. Pada tahun 1407 berdiri perkumpulan masyarakat Tionghoa Hanafi yang menganut Islam di Sambas. Laksamana Cheng Ho seorang Hui adalah penganut Islam dari Yunan yang atas perintah Cheng Tsu dan anak buahnya masuk untuk menguasai daerah tersebut. Dia menetap di sana dan menikah dengan penduduk setempat, serta menye-barkan agama Islam kepada pen-duduk lokal.
Pada tahun 1609 Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang aktif dari tahun 1602-1799 menjalin peniagaan dengan kerajaan Sambas, yang pada waktu itu masih di bawah kedaulatan kerajaan Johor. Dalam waktu yang relatif pendek perselisihan terjadi dan beberapa orang Belanda dibunuh oleh masya-rakat Sambas. Pada tahun 1612 tindakan pembalasan oleh VOC terjadi, sebuah kampung di Sambas juga dibakar.
Pada abad ke-17 sudah ada dua rute laut dari Cina melalui Indo-Cina ke Nusantara. Pertama yang terus ke Malaya dan pantai Sumatra Timur lalu ke Bangka-Belitung serta pantai Kalbar, terutama Sambas dan Mempawah. Rute laut kedua melalui Borneo Utara terus ke Sambas dan pedalaman Sambas dan Mempawah Hulu.
Pada tahun 1745 gelombang besar masyarakat Tionghoa datang dengan persetujuan Sultan Sambas untuk membuka tambang-tambang emas. Pada waktu itu sepertujuh produksi emas dunia diperkirakan berasal dari Kalbar. Orang Tionghoa membentuk kongsi di Montrado dan di Mandor, kongsi itu semakin lama semakin kuat. Perkongsian itu menetap di daerah tersebut dan wajib membayar upeti kepada sultan Melayu.
Pembayaran itu menga-kibatkan sultan memberi izin kepada orang Tionghoa untuk mengatur daerah sendiri, seperti urusan pemerintahan lokal dan punya pengadilan sendiri. Orang Dayak yang tidak merasa cocok dengan kekuatan orang Tionghoa berpindah ke luar daerah kekuasaan kongsi tersebut.
Gelombang perantau baru dari Tiongkok masuk karena hidup di Kalimantan aman dan ada cukup kesempatan untuk mencari emas, intan, perak dan juga karena tanahnya cukup subur. Pada tahun 1777, orang Tionghoa dari suku Tio Ciu dan suku Khe yang mencari emas di Mandor dan Montrado mendirikan Republik Lan Fong di Mandor, enam tahun setelah kota Pontianak didirikan.
Pada umumnya hanya laki-laki Tionghoa yang merantau, ini dikarenakan mereka cepat berbaur dan bisa memperistri wanita Dayak atau Melayu. Kelompok Tionghoa cepat berkembang sehingga jumlah mereka mencapai 30.000 jiwa. Pada waktu itu, setelah mereka berkembang mereka berani melawan pemerintahan sultan. Beberapa pertempuran terjadi antara kongsi-kongsi dan pangeran dari Sambas.
Pada tahun 1818 bendera Belanda dikibarkan di Sambas dan atas alasan perjanjian Belanda dengan Sultan, kepala-kepala Tionghoa sebenarnya berada di bawah kekuasaan Belanda. Setelah beberapa pertempuran berat terjadi, kekuasaan kongsi-kongsi Tionghoa dibubarkan di seluruh daerah Kalimantan Barat dan Republik Lan Fong Mandor yang berkuasa selama 107 tahun dan Republik Montrado yang berkuasa selama 100 tahun diakhiri (Lontaan 1975 : 256).
Sekitar 18 bulan setelah G30S meletus di Jawa, yang menyebabkan Soeharto menjadi pemimpin Indonesia, orang Dayak mengusir sekitar 45.000 jiwa Tionghoa dari pelosok dan membunuh ratusan jiwa Tionghoa, sebagai aksi politik untuk mengimbangi masalah pada zaman dahulu (Schwarz 2004 : 21). Dari tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial mempengaruhi kehidupan orang Dayak, dan juga bahwa sejarah orang Tionghoa, Melayu dan Dayak sangat terjalin.
Apa yang sudah disebutkan di atas, orang Melayu masuk dari Sumatra dan dari Semenanjung Malaka sekitar abad ke-11 atau ke-12 dan berbaur dengan orang Dayak. Pada umumnya mereka mendiami daerah  pinggir laut dan menjadi perantara orang luar dan orang Dayak yang ingin menukar atau menjual hasil hutan.
Orang Melayu juga berbaur dengan keturunan orang Jawa yang sudah masuk sebelumnya. Seorang Ratu dari keturunan Hindu Majapahit yang memerintah daerah Sambas pindah ke agama Islam untuk memudahkan perniagaan dan mengembangkan hubungan baik dengan Johor dan Brunei yang sudah masuk Islam. Dewasa ini istilah Melayu digunakan sebagai kontras Dayak dengan Melayu. Istilah Melayu tidak digunakan sebagai referensi etnis tetapi sebagai referensi Islam kontras non-Islam.
Peningkatan jumlah besar orang Melayu di Kalimantan dise-babkan oleh orang asli atau Dayak yang memeluk Islam dan bukan karena jumlah besar orang Melayu yang merantau ke Kalimantan. Orang Dayak yang memeluk Islam tidak berarti bahwa mereka selalu memeluk secara penuh tetapi mungkin hanya secara nominal.
Pada zaman dahulu, orang Dayak yang tidak mau dikuasai oleh suku lain terdesak dari pantai ke pedalaman Kalbar. Tergantung kekuatan suku Dayak tertentu, mereka membayar upeti atau tidak.
Upeti dibayar dalam bentuk hasil hutan kepada sultan yang dibawa dengan sampan oleh pedagang Melayu ke hilir, ke pusat perdagangan di pinggir laut. Ada juga suku Dayak yang bertahan yang disebut “Dayak merdeka” dan mereka tidak dikuasai langsung oleh kerajaan Melayu pada zaman dahulu.
Aktivitas perniagaan menye-babkan aspek baru muncul seperti pembayaran dengan uang atau mem-bayar dengan kredit atau pinjaman dengan jaminan. Institusi sejenis “budak hutang” (pandeling) muncul sebagai jaminan diri sendiri terhadap hutang yang ada, setelah mendapat barang perniagaan tanpa menukar dengan duit atau barang hasil hutan (Mallinckrodt 1928 :136).
Selama “budak hutang” tidak mengembalikan hutangnya atau tidak mampu melunasi, dia dipaksa kerja untuk orang yang memberi pinjaman atau kreditor. Pada tahun 1892 secara resmi diundangkan penghapusan sistem perbudakan (King 1978 : 27).
(sumber : Makalah Studi Lapangan oleh Johan Weintre : Beberapa Penggal Kehidupan Dayak Kanayatan)

Pupuk Kaltim


Pada tanggal 7 Desember 1977, Pupuk Kaltim resmi berdiri. Pupuk Kaltim bermula dari proyek pupuk lepas pantai di atas dua kapal milik Pertamina yang kemudian proyek tersebut dialihkan ke darat. Kemudian, Pertamina menyerahkan pengelolaannya kepada Departemen Perindustrian.

Proses pembangunan pabrik dilaksanakan pada tahun 1979. Untuk mendukung proses produksi, pabrik juga telah dilengkapi berbagai fasilitas. Bahan baku utama pabrik yang berlokasi di Bontang ini adalah gas alam yang disalurkan melalui pipa sepanjang 60 kilometer yang terentang antara Bontang dan Muara Badak.

pupuk_kaltim_padi.jpgSebagai sebuah perusahaan industri strategis yang menjadi tumpuan Program Ketahanan Pangan Nasional, Pupuk Kaltim selalu berusaha mengembangkan setiap peluang agar mampu menjaga keberlangsungan perusahaan. Didukung empat unit pabrik Amoniak dan lima unit pabrik Urea yang terletak di area seluas kurang lebih 493 hektar, Pupuk Kaltim bertekad untuk mewujudkan sebuah kawasan industri yang maju dan berwawasan lingkungan.

Kebijakan Manajemen Risiko
Pupuk Kaltim menetapkan Kebijakan Manajemen Risiko yang berlaku di lingkungan perusahaan dengan ringkasan sebagai berikut:
1. Risiko menjadi bagian dari kehidupan dan dinamika perusahaan yang harus dikelola sebagai usaha memaksimalkan nilai perusahaan dan penca-paian kekayaan pemegang saham serta memenuhi harapan para pemangku kepentingan lainnya.
2. Penerapan manajemen risiko bukan semata-mata untuk mengurangi kerugian, tetapi sekaligus menjadi sumber keunggulan bersaing dan keung- gulan kinerja perusahaan.
3. Menyatukan manajemen risiko ke dalam budaya perusahaan sehingga menjadi bagian yang integral dari praktik bisnis perusahaan dan pengambilan keputusan.
4. Kepala unit kerja bertanggungjawab mengelola risiko di unit kerjanya masing-masing melalui proses penerapan manajemen risiko dan secara berkala melaporkan realisasi tindaklanjut pengendalian risiko dan segala peristiwa yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan.
5. Hasil identifikasi risiko dijadikan dasar pemeriksaan (audit berbasis risiko) oleh Satuan Pengawasan Internal.
(Sumber  : www.pupukkaltim.com)


Kode Etik & SCI

Kode Etik Perusahaan disusun sebagai acuan bagi semua pihak di dalam perusahaan serta pihak luar yang terkait dengan usaha perusahaan dalam melaksanakan tugas dan pengambilan keputusan.

Prinsip-prinsip GCG yang digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan Kode Etik Perusahaan adalah sebagai berikut :
1. Prinsip Transparansi
2. Prinsip Kemandirian
3. Prinsip Akuntabilitas
4. Prinsip Pertanggungjawaban
5. Prinsip Kewajaran

Tujuan dikembangkannya Kode Etik Perusahaan ini adalah:
1. Mengembangkan perilaku yang baik sesuai dengan standar etika yang tinggi bagi korporasi, komisaris, direksi dan seluruh karyawan; dan
2. Mengembangkan hubungan yang baik dengan pihak eksternal berlandaskan prinsip-prinsip GCG dan semangat Kode Etik Perusahaan ini.

Dengan menerapkan Kode Etik Perusahaan ini Pupuk Kaltim yakin mendapatkan manfaat dalam jangka panjang, yaitu berupa:
1. Karyawan menikmati lingkungan kerja yang jujur, beretika dan terbuka sehingga meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan karyawan secara menyeluruh.
2. Perusahaan akan menikmati reputasi yang baik, perlindungan atas tuntutan hukum yang terjadi dan pada akhirnya terwujud kemakmuran dan keberhasilan usaha yang berkelanjutan.
3. Masyarakat secara umum akan menikmati hubungan yang baik dengan Perusahaan dan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.
Pupuk Kaltim bertekad untuk selalu menjungjung tinggi nilai-nilai yang tertulis dalam Kode Etik dan Pakta Integritas. Dalam pelaksanaannya, perusahaan juga mengajak peran serta seluruh masyarakat dan dunia usaha untuk turut memonitor penerapan Kode Etik dan Pakta Integritas.

Statement of Corporate Intent (SCI)
PT Pupuk Kaltim telah menyusun Statement of Corporate Intent (SCI) yang merupakan salah satu bentuk penerapan prinsip dan praktek good corporate governance di dalam pengelolaan perusahaan dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menciptakan indikator kinerja perusahaan yang transparan dalam rangka memastikan pencapaian kinerja perusahaan yang optimal berdasarkan pemanfaatan sumber daya perusahaan secara efektif dan efisien.

SCI ini mencakup informasi rencana kerja dan target kinerja perusahaan beserta pertanggungjawabannya untuk periode 2008 - 2011 yang dapat dijadikan pedoman oleh Pemegang Saham serta Pemangku Kepentingan lainnya dalam menilai kinerja perusahaan. (Sumber  : www.pupukkaltim.com)

Dari LKTRI : 

Sosialisasi Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pajak Reklame. Pemasangan reklame harus mengacu pada penataan ruang, agar tidak semrawut di dalam penataan kota.



Ruang Terbuka Hijau di tengah Kota Denpasar



Denpasar - Bali

PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 10 TAHUN 2005 TENTANG
RETRIBUSI IZIN USAHA BENGKEL KENDARAAN BERMOTOR



Dari LKTRI : Bahwa Peraturan Daerah Kota Denpasar ini walaupun lahir sebelum UU RI No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU RI No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tetapi isinya sudah bersifat futuristik.

Istana Cipanas

Silih Asah Silih Asih, Silih Asuh


Mugi - mugi urang Jawa Barat sadar... Kumargi urang Jawa Barat kirang merhatoskeun kaayaan lingkungan Tatar Sunda, para Karuhun urang sadayana kapungkur parantos natarkeun Sunda,
Sing emut kana papancen Karuhun Sunda...!!!!
(saur sesepuh : H. Darussalam Chairuman)

Semoga Masyarakat Jawa Barat sadar...
Karena Masyarakat Jawa Barat kurang memperhatikan keadaan wilayah Tatar Sunda
Nenek Moyang (Sesepuh) kita dulu sudah merebut dan menjaga Tatar Sunda
Ingatlah sama tugas Nenek Moyang (Sesepuh) Sunda...??


PENURUNAN KWALITAS AIR DAN LAJU SEDIMENTASI MENJADI ANCAMAN UTAMA OPERASIONAL PLTA SAGULING





DATA S. CITARUM

1. Dari mata air di Gunung Wayang sampai muara di Tanjung Karawang panjang kurang lebih 270 km.
2. Total Daerah Aliran Sungai Citarum kurang lebih 6080 km2 termasuk daerah hulu seluas 1771 km2.
3. Bagian hulu terdiri dari 7 Sub DAS yaitu Citarik, Cirasea, Cihaur, Ciminyak Cisangkuy, Ciwidey dan Sub DAS Cikapundung
4. Daerah hilir penjamin ketersediaan air untuk kurang lebih 300.000 Ha persawahan
5. Pada Sub DAS Cisangkuy sejak th 1923 telah dibangun PLTA Plengan 3 x 3,5 MW, PLTA Lamajan 2 x 6,5 MW dan PLTA Cikalong 3 x 6,5  MW sedang pada Sub DAS Cikapundung PLTA Bengkok 3 x 1,5 MW dan PLTA Dago 1x 1 MW.
6. Sedangkan pada sungai Citarum 3 Waduk besar telah dibangun, th 1962 Jatiluhur, th 1984 Saguling kemudian th 1988 Cirata.
7. Masih terdapat kemungkinan untuk membangun PLTA lagi seperti Rajamandala 47 MW.

PELAKSANAAN RTRW PERDA KOTA CIMAHI NO. 32 TAHUN 2003 PASAL 11 MENGENAI RUANG TERBUKA HIJAU





Kota Cimahi merupakan salah satu kota dari 12 kota/kabupaten baru dari pengembangan yang ditetapkan dalam era otonomi daerah. Perjalanan Cimahi sebelum berubah statusnya menjadi kota mempunyai sejarah yang sangat panjang. Diawali ketika tahun 1811 Gubernur Jenderal Hindia Belanda William Daendels membuat jalan Anyer Panarukan yang melewati Cimahi.  dengan Dibuat Pos Penjagaan atau lotji, dan ketika pada tahun 1874 dibangun stasiun kereta api di Cimahi, serta dibukanya jalur Bandung Cianjur melewati Cimahi. Kemudian pada tahun 1886 dibangun pusat pendidikan militer dan segala fasilitasnya, seperti areal latihan, Lapangan Tembak, Rumah Sakit dan Rumah Pemasyarakatan Militer. Dengan berkembangnya pusat kegiatan militer tersebut, Kota Cimahi identik dengan sebutan Kota Militer atau Kota Hijau.

Nama Kota Cimahi diambil dari nama sebuah sungai yang membelah Kota Cimahi, mengandung arti “sungai yang airnya cukup melimpah untuk penduduk sekitarnya“. Pesatnya perkembangan Cimahi diakui ketika pada tahun 1953 diresmikan menjadi setingkat Kecamatan (Staat Blad Nomor 123 Tahun 1953). Ramainya kegiatan perdagangan dan jasa di Cimahi terutama diakibatkan oleh munculnya kebutuhan penunjang kawasan militer sehingga pada tahun 1962 status Cimahi meningkat menjadi Kewedanaan yang meliputi Wilayah Kecamatan Cipatat, Kecamatan Batujajar, Kecamatan Padalarang dan Kecamatan Cimahi.
Pertumbuhan Kec. Cimahi yang pesat  didukung oleh adanya pusat industri yang mulai berkembang sejak pertengahan tahun 1970 yaitu di daerah Leuwigajah dan pusat perdagangan di Jalan Gandawijaya serta sektor perumahan hampir di seluruh wilayah Cimahi. Selanjutnya pada tahun 1975, status Cimahi berubah menjadi dimana Cimahi merupakan Kota Administratif pertama di Jawa Barat dan ke-3 di Indonesia. Namun demikian wilayahnya mengecil karena hanya meliputi Kecamatan Cimahi saja yang kemudian dipecah menjadi Kecamatan Cimahi Utara, Kecamatan Cimahi Tengah dan Kecamatan Cimahi Selatan. Berkat kebersamaan masyarakat dengan Pemerintah dalam mewujudkan lingkungan yang baik tercermin pada tahun 1994, 1995 dan 1997, Kota Administratif  Cimahi memperoleh penghargaan Pemerintah Republik Indonesia dalam bidang pengelolaan lingkungan yaitu penghargaan Adipura.

Secara Geografis, Cimahi berbatasan dengan Kota Bandung di sebelah utara dan timur, dengan Kabupaten Bandung Barat di sebelah utara, dan Kabupaten Bandung di sebelah barat dan selatan, termasuk dalam kawasan andalan cekungan Bandung yang mempunyai fungsi sebagai daerah permukiman, industri, perdagangan dan jasa serta pemerintahan. Kota Cimahi memiliki karakter yang sangat dinamis, namun keberadaannya sebagai Kota Adminisratif tidak mampu lagi menampung aspirasi dan kegiatan masyarakat. Oleh karena itu atas perjuangan tokoh-tokohnya maka pada tahun 2001, Cimahi resmi menjadi Kota Otonom yang disahkan dengan Undang Undang Nomor 9 Tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001 yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan yaitu : Kecamatan Cimahi Selatan, Kecamatan Cimahi Tengah dan Kecamatan Cimahi Utara, dan 15 (limabelas) Kelurahan yaitu : Kelurahan Cibeber, Kelurahan Leuwigajah, Kelurahan Utama, Kelurahan Cibeureum, Kelurahan Melong, Kelurahan Baros, Kelurahan Karang Mekar, Kelurahan Padasuka, Kelurahan Setiamanah Kelurahan Cigugur Tengah, Kelurahan Cimahi, Kelurahan Pasirkaliki, Kelurahan Cibabat, Kelurahan Citeureup dan Kelurahan Cipageran.Kelurahan Cigugur Tengah, Kelurahan Cimahi, Kelurahan Pasirkaliki, Kelurahan Cibabat, Kelurahan Citeureup dan Kelurahan Cipageran.

Aset dasar dalam pembangunan adalah penduduk, karena dengan jumlah penduduk yang besar jika dibarengi dengan kualitas dari penduduk itu sendiri maka daerah tersebut akan memiliki sumber daya manusia yang cukup bagi terlaksananya program-program pembangunan yang direncanakan. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar apabila kurang berkualitas, akan menambah problematika pembangunan itu sendiri. Penduduk Kota Cimahi tahun 2003 berjumlah 483.242 orang, dengan komposisi 241.136 laki-laki dan 242.106 orang perempuan.

Eforia otonomi daerah masyarakat Cimahi rupanya tidak berumur lama. Hanya dalam kurun waktu lima tahun sejak diresmikan menjadi kota, Cimahi sudah mulai kesulitan menghadapi berbagai masalah perkotaan yang muncul karena luas wilayahnya yang terbatas. Letak wilayah kota tua di Jawa Barat yang menyimpan sejarah kolonial dengan peninggalannya berupa bangunan-bangunan tua itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari Kota Bandung yang menjadi pusat pemerintahan daerah Provinsi Jawa Barat. Kedua wilayah itu, wilayah Kota Bandung dan Kota Cimahi, saling berbatasan.

Kota Cimahi sudah melewati perjalanan panjang dan melelahkan. Sejarah dan masa lalunya menarik untuk disimak, paling tidak mengapa kota ini mendapat julukan ”Kota Hijau”. Kota Cimahi merupakan tempat di mana terdapat tidak kurang dari delapan lembaga pusat pendidikan (pusdik) TNI/AD dengan siswa-siswa yang berasal dari seluruh pelosok Nusantara. Cimahi sudah tumbuh jauh sebelum terbentuk Gemeeente Bandung (1 April 1906). Kota ini didesain menjadi pusat garnisun serdadu Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-19 yang dibuktikan dengan beberapa bangunan pendukungnya. Penjara militer yang populer dengan julukan Penjara Poncol dibangun tahun 1886. Bangunan yang kini digunakan Rumah Sakit Dustira itu dibangun tahun 1887, dan 12 tahun kemudian, tahun 1905, mengalami perluasan. Bangunan-bangunan itu masih tetap dipertahankan, baik bentuk maupun fungsinya.

Dari sudut pandang militer, pemilihan Kota Cimahi sebagai kota tentara sangat tepat karena letaknya strategis, yakni terletak di tepi jalan antara Jakarta dan Bandung sehingga memungkinkan mobilisasi pasukan secara cepat.48 Letaknya yang strategis sebenarnya sudah terlihat ketika tahun 1811, saat Gubernur Jenderal Daendels membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) Anyer-Panarukan sejauh 1.000 kilometer. Di daerah Priangan, setelah Cianjur, jalan tersebut alur kereta api Batavia-Bogor-Bandung pada tahun 1884. Sebuah stasiun dibangun di sana, menghubungkan Cimahi dengan Cilacap yang merupakan satu-satunya pelabuhan di selatan Pulau Jawa. Dari tahun ke tahun, jumlah serdadu yang ditempatkan di sana makin banyak. Apalagi sejak tahun 1908 Departement van Oorlog (Departemen Peperangan) mulai dipindahkan dari Weltevreden (Gambir) ke Bandung. Bangunannya tidak jauh dengan Markas Kodam III/Siliwangi yang dulunya merupakan Paleis Legerbommandant.

Cimahi ditetapkan menjadi kecamatan, sesuai lampiran Staatblad tahun 1935 Nomor 123. Sampai 30 tahun setelah kemerdekaan, tidak banyak perubahan status yang dialami kota ini, kecuali dijadikan kewedanaan yang kemudian istilahnya diganti menjadi koordinator wilayah (korwil). Korwil Cimahi membawahkan empat kecamatan (Cimahi, Padalarang, Batujajar, dan Cipatat). Namun, dibandingkan dengan tiga daerah lainnya, Cimahi memiliki beberapa kelebihan.

Perkembangan Cimahi jauh lebih pesat. Karena itu, sebagai kota kedua setelah Kota Bandung, Cimahi merupakan pilihan bagi sebagian penduduk yang berurbanisasi. Pilihan itu bertambah lagi sejak daerah sekitarnya, seperti Leuwigajah dan Kecamatan Cimahi Selatan serta Cimahi Tengah, menjadi zona industri, yang sebagian besar terdiri dari industri tekstil dan produk tekstil. Pusat kotanya berkembang menjadi pusat perdagangan sehingga sejak itu Cimahi menjelma menjadi pusat kegiatan pelayanan barang dan jasa di wilayah Kabupaten Bandung bagian barat.

Melihat kenyataan ini, dua tahun sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pemerintah pusat (dalam hal ini Depdagri) menilai Kecamatan Cimahi layak ditingkatkan statusnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1975, Cimahi akhirnya ditetapkan sebagai kota administratif (kotif) pertama di Jabar dan ketiga di Indonesia setelah Bitung di Sulawesi Utara dan Banjarbaru di Kalimantan Selatan. Namun, peresmiannya sebagai kotif mulai dilaksanakan pada 29 Januari 1976 oleh Mendagri Amir Machmud. Secara kebetulan, Amir Machmud adalah perwira tinggi yang berasal dari Cimahi. Untuk menghargai jasa-jasanya, pada Hari Pahlawan tahun 2006, namanya diabadikan menjadi nama jalan di Kota Cimahi.

Luas wilayah Kotif Cimahi hanya meliputi wilayah Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Tengah, dan Cimahi Selatan dengan luas 40,3 kilometer persegi. Lebih kecil dibandingkan dengan luas sebelumnya ketika masih berstatus korwil. Jumlah penduduknya 218.588 jiwa. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua hal itu, yakni luas wilayah yang terbatas dan jumlah penduduk yang terus bertambah, menjadi masalah krusial yang dihadapi daerah ini setelah ditetapkan menjadi daerah otonom, Kota Cimahi.

Sistem Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Cimahi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci.

Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan, dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang-nya. Selanjutnya, tata ruang sendiri merupakan wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang.

Kawasan perkotaan dapat diartikan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Berdasarkan Pasal 199 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa kawasan perkotaan dapat dibedakan atas 3 (tiga) hal, yakni :
1. Kota sebagai daerah otonom;
2. Bagian dari kabupaten yang mempunyai ciri perkotaan;
3. Bagian dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan mempunyai ciri perkotaan.

Pada rencana tata ruang kawasan perkotaan sendiri, diatur alokasi pemanfaatan ruang untuk berbagai penggunaan (perumahan, perkantoran, perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dsb) berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan (transparansi) dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni (livable environment) dan berkelanjutan. Rencana tata ruang merupakan landasan pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan. Peningkatan jumlah penduduk kawasan perkotaan yang pesat dari waktu ke waktu akan menyebabkan pengelolaannya semakin berat.

Kebutuhan lahan untuk aktivitas perkotaan sebagai “engine  of  growth” pun akan meningkat drastis.
Secara kuantitatif, data menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat dari 32,8 juta atau 22,3% dari total penduduk nasional (1980), meningkat menjadi 55,4 juta atau 30,9% (1990), 74 juta atau 37% (1998) dan diperkirakan akan mencapai angka 150 juta atau 60% dari total penduduk nasional (2015) dengan laju pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% (1990-1995). Studi NUDS (2000) berdasarkan data PODES 1996 mengidentifikasi 3655 permukiman bersifat kota yang membentuk 1643 aglomerasi kota, sedang data yang lebih baru (kimpraswil, 2001) mencatat ada 399 kota menengah dan besar, 129 diantaranya terdapat di pulau Sumatera, 141 di Jawa – Bali, 37 di Kalimantan, 63 di Sulawesi dan lainnya (29 kota) di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. ada 399 kota menengah dan besar, 129 diantaranya terdapat di pulau Sumatera, 141 di Jawa – Bali, 37 di Kalimantan, 63 di Sulawesi dan lainnya (29 kota) di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Kota mempunyai luas yang tertentu dan terbatas, permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan/bentang alam perkotaan juga menyita lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Kedua hal ini umumnya merugikan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis.

Di lain pihak, kemajuan alat dan pertambahan jalur transportasi dan sistem utilitas, sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan warga kota, juga telah menambah jumlah bahan pencemar dan telah menimbulkan berbagai ketidak nyamanan di lingkungan perkotaan. Untuk mengatasi kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan Ruang Terbuka Hijau (RTH)  sebagai suatu teknik bioengineering dan bentukan biofilter yang relatif lebih murah, aman, sehat, dan menyamankan.

Tata ruang kota penting dalam usaha untuk efisiensi sumberdaya kota dan juga efektifitas penggunaannya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya lainnya. Ruang-ruang kota yang ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mempunyai berbagai pendekatan dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem transportasi, dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam menata ruang kota. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang kota selain dikaitkan dengan permasalahan utama perkotaan yang akan dicari solusinya juga dikaitkan dengan pencapaian tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan, kenyamanan, serta kesehatan warga dan kotanya.

Ruang Terbuka Hijau (RTH)  perkotaan mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi Berbagai fungsi yang terkait dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan arsitektural) dan nilai estetika yang dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak hanya dapat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas kota.

Untuk mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam suatu sistem perkotaan maka luas minimal, pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya harus menjadi pertimbangan dalam membangun dan mengembangkannya. Karakter ekologis, kondisi dan keinginan warga kota, serta arah dan tujuan pembangunan dan perkembangan kota merupakan determinan utama dalam menentukan besaran Ruang Terbuka Hijau (RTH)  fungsional ini.50 Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)  penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan. Pengendalian pembangunan wilayah perkotaan harus dilakukan secara proporsional dan berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan. Kelestarian Ruang Terbuka Hijau (RTH)  suatu wilayah perkotaan harus disertai dengan ketersediaan dan seleksi tanaman yang sesuai dengan arah rencana dan rancangannya.

Ruang Terbuka Hijau (RTH), baik Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik maupun Ruang Terbuka Hijau (RTH), memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan,dan keberlanjutan kota. 51 Ruang Terbuka Hijau (RTH) berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar. Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.

Rencana pembangunan dan pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu :
1. Luas RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan ditentukan secara komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu:
2. Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH)
3. Sruktur dan pola Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang akan dikembangkan (bentuk, konfigurasi, dan distribusi)
4. Seleksi tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota.

Berkaitan dengan penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH), pengaturan tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH), ditegaskan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dinyatakan bahwa :
1. Ruang Terbuka Hijau (RTH) terdiri dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat;
2. Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota;
3. Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.

Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Proporsi tiga puluh persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya  akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik seluas minimal dua puluh persen yang disediakan oleh pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatan secara luas oleh masyarakat.

Selanjutnya, ketentuan tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dan distribusinya, ditegaskan dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menyatakan bahwa “Distribusi Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang”.

Berkaitan dengan sistem penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH), berdasarkan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan,  Ruang Terbuka Hijau (RTH) kawasan perkotaan adalah “bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi  oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika”, yang bertujuan untuk menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan, mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan, dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 11 Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang kota Cimahi, mengenai penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dinyatakan bahwa :
a. Sempadan sungai yang mengikuti 4 (empat) sistem sungai utama di Kota Cimahi dengan lebar sempadan sungai masing-masing 10 meter di kiri dan kanan sungai, dengan luas kurang lebih 139Ha, tersebar di semua kelurahan.
b. Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan militer dengan luas kurang lebih 160 Ha;
c. Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dengan luas kurang lebih 40 Ha tersebar di bagian tengah;
d. Ruang Terbuka Hijau (RTH) lingkungan dengan luas kurang lebih 115 Ha tersebar di bagian utara
e. Kawasan konservasi air (emburg) dengan luas kurang lebih 30 Ha di bagian utara.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) berluas minimum merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berfungsi ekologis yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti, yang melingkup Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat. Dalam suatu wilayah perkotaan maka Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik harus berukuran sama atau lebih luas dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) luas minimal, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pendukung dan penambah nilai rasio terutama dalam meningkatkan nilai dan kualitas lingkungan dan kultural kota.

Berkaitan dengan sistem penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH), sistem penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Cimahi adalah berdasarkan sistem internal perkotaan, yaitu merupakan pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan di dalam kawasan perkotaan.
Pelaksanaan Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Cimahi.

Pemikiran yang merubah permukiman sekitar lodji Tjimahi di sepanjang Postweg (jalan raya pos) menjadi Kota Cimahi seperti sekarang berawal dari dibangunnya instalasi Garnizun oleh Pemerintah Belanda pada pertengahan abad 19. Pembangunan instalasi pendidikan militer tersebut sangat strategis di waktu itu, sebab selain untuk meningkatkan kemampuan bertahan dan menyerang dari armada pertahanan kolonial, juga sering terjadi pula modernisasi persenjataan yang berpengaruh pada teknik perang.

Perkembangan pesat berikutnya yang terjadi di Kota Cimahi adalah pada masa era “relokasi industri” dari Kota Bandung pada masa textile boom dari akhir 1970-an hingga awal 1990-an. Ketersediaan air tanah dalam dan mudanya tenaga kerja menjadi pemicu tumbuhnya raksasa-raksasa tekstil di Cimahi, pada masa itu persawahan subur di Utama, Cibeureum, Cigugur Tengah dan Melong berubah menjadi zona industri. Dengan bertambahnya pekerja pendatang, serta tambahan kebutuhan perumahan dari Kota Bandung, maka bersamaan dengan era industri berkembang pula perumahan di Melong, Cibeber, Padasuka, Cibabat, Citeureup maupun Cipageran. Perkembangan perumahan-perumahan tersebut telah memperluas cakupan pelayanan prasarana dan sarana dasar kota, namun tidak cukup diimbangi dengan tambahan kapasitas serta pola infrastruktur utama kota yang ada, sehingga terjadi sumbatan yang parah di jalan nasional dan kesemrawutan manajemen penanganan ketertiban di pusat-pusat keramaian.

Era otonomi Daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Cimahi, memberikan pengelolaan penuh untuk menata, mengatur dan mengembangkan kota. Setelah berkembang ratusan tahun Cimahi baru ditata seperti layaknya kota-kota besar yang terlebih dahulu menerapkan Stadvorming Ordonantie 1948 (SVO) dan Stadvorming Verordening 1949 (SVV).

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, di dasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia, terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten, wilayah kota yang setiap wilayah tersebut merupakan sub sistem ruang menurut batasan administratif.

Kewenangan yang biasanya yang terdiri atas beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechts bevoegdheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik.

Menyangkut pelaksanaan penetapan penataan ruang, dengan wewenang yang telah diberikan, Pemerintah Kota Cimahi telah melakukan berbagai kebijakan tentang penataan ruang, adapun kebijakan penataan ruang Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi meliputi :

1. Pemanfaatan fungsi kota sebagai pusat jasa yang didukung oleh kegiatan perdagangan, pendidikan dan iptek, pariwisata, industri, militer, dan pemukiman;
2. Mengembangkan kota dalam rangka mewujudkan otonomi daerah;
3. Mengembangkan partisipasi para pelaku pembangunan, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat dalam penataan ruang;
4. Mengendalikan jumlah penduduk daerah pada tahun 2012 kurang lebih 613.581 jiwa serta diatur sebarannya sesuai dengan daya dukung dan daya tampung ruang wilayah kota;
5. Mengembangkan pola pembangunan fisik kota dengan intensifikasi yaitu dengan bangunan bertingkat guna meperbesar daya tampung;
6. Mengatur dan mengendalikan pemanfaatan ruang kota dengan cara mendorong, menstabilkan, dan membatasi perkembangan sesuai tipologi masalah dan potensi perkembangan tiap bagian kota;
7. Meningkatkan dan mengembangkan prasarana kota, sehingga dapat mendukung segenap kegiatan dalam wilayah kota, dan mengatasi permasalahan yang disebabkan oleh keterbatasan prasarana kota seperti kemacetan lalu lintas, banjir/genangan, dan sebagainya;
8. Mengembangkan pusat-pusat pelayanan pada bagian-bagian wilayah kota guna lebih memeratakan pelayanan dan kegiatan dalam kota, serta mengurangi tekanan terhadap kawasan pusat kota;
9. Melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup dalam penataan ruang sejalan dengan upaya mengoptimalkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; dan
10. Mengusahakan keterpaduan pembangunan dengan daerah-daerah sekitar wilayah kota Cimahi.

Selanjutnya, dalam hal pelaksanaan penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dalam hal pelaksanaannya, kebijakan yang telah ditempuh adalah :
1. Menetapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan militer dengan luas kurang lebih160 Ha;
2. Menetapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dengan luas kurang lebih 40 Ha tersebar di bagian tengah;
3. Menetapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) lingkungan dengan luas kurang lebih 115 Ha tersebar di bagian utara.

Pada kenyataannya pelaksanaan Penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dari Peraturan Daerah ini terbentur oleh otorita kawasan militer, karena di dalamnya terdapat aktivitas pendidikan militer yang dimulai sejak tahun 1811 dimulai dari pemindahan militer Belanda dari Batavia, sehingga setengah dari kekuatan militer Belanda berada di Cimahi, kemudian dilanjutkan oleh Militer Jepang baru kemudian dilanjutkan oleh Tentara Nasional Indonesia. Kenyataan tersebut menjadikan bahwa wilayah militer yang ada di Kota Cimahi tidak dapat dialokasikan untuk penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai dengan Pasal 11 Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kota Cimahi,  karena kawasan militer (375 Ha) tersebut terbentuk terlebih dahulu. Selain itu, di wilayah utara Kota Cimahi lahan pertanian dan kawasan hijau dalam pelaksanaannya berbenturan dengan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Cimahi tentang izin mendirikan bangunan, dimana ada pengecualian tentang mendirikan bangunan tanpa izin dan bangunan masyarakat yang dengan tidak adanya izin. Selanjutnya, di wilayah selatan Kota Cimahi terdapat zona industri yang tidak dapat dipungkiri bahwa tidak akan mungkin menyiapkan lahan  untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kawasan industri tersebut, karena wilayah yang sangat minim (4.103,73  Ha) tersebut habis untuk bangunan industri tanpa mengacu pada RUTR Kota Cimahi.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian oleh Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia, dapat diambil kesimpulan :
1. Secara sistem, hirarki penataan ruang dikelompokkan atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan untuk membagi secara tegas fungsi pelayanan regional dan fungsi pelayanan internal perkotaan. Berdasarkan Pasal 11 Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi, penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dinyatakan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan militer dengan luas kurang lebih 160 Ha, Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dengan luas kurang lebih 40 Ha tersebar di bagian tengah dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) lingkungan dengan luas kurang lebih 115 Ha tersebar di bagian utara dengan berdasarkan sistem internal perkotaan, yaitu merupakan pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan di dalam kawasan perkotaan. Kemudian, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dinyatakan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) terdiri dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat.
2. Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Di Kota Cimahi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, sebagai dasar hukum Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang kota Cimahi bahwa distribusi Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang. Berdasarkan Pasal 11 Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang kota Cimahi, mengenai Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang harus dipenuhi adalah 160 Ha untuk kawasan militer, 40 Ha untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dan 115 Ha untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) lingkungan. Pada kenyataannya Pemerintah Kota Cimahi tidak mampu merelokasi wilayah militer yang ada di Kota Cimahi untuk pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Selain itu, di wilayah utara Kota Cimahi lahan pertanian dan kawasan hijau dalam pelaksanaannya berbenturan dengan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Cimahi tentang izin mendirikan bangunan, dimana ada pengecualian tentang mendirikan bangunan tanpa izin dan bangunan masyarakat yang dengan tidak adanya izin. Kemudian zona industri yang terdapat di wilayah selatan Kota Cimahi habis untuk bangunan industri tanpa mengacu pada RUTR Kota Cimahi. Hal itu berakibat terbenturnya pelaksanaan sistem Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Cimahi.
3. Masalah-masalah yang timbul dalam penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota Cimahi, yaitu bahwa kawasan militer yang ada di Kota Cimahi tidak dapat dialokasikan untuk penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai dengan Pasal 11 Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kota Cimahi,  karena kawasan militer (375 Ha) tersebut terbentuk terlebih dahulu. Di wilayah utara Kota Cimahi lahan pertanian dan kawasan hijau dalam pelaksanaannya berbenturan dengan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Cimahi tentang izin mendirikan bangunan, dimana ada pengecualian tentang mendirikan bangunan tanpa izin dan bangunan masyarakat yang dengan tidak adanya izin. Di wilayah selatan Kota Cimahi terdapat zona industri yang tidak dapat dipungkiri bahwa tidak akan mungkin menyiapkan lahan  untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kawasan industri tersebut, karena wilayah yang sangat minim (4.103,73 Ha) tersebut habis untuk bangunan industri tanpa mengacu pada RUTR Kota Cimahi. Penyelesaiannya adalah Pemerintah Daerah Kota Cimahi harus konsisten dan tegas dalam hal menjalankan kebijakan penataan ruang dan menjalankan rencana tata ruang wilayah dalam hal pola pemanfaatan ruang, dengan merelokasi kawasan militer ke luar wilayah Kota Cimahi untuk megeksistensikan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan tersebut, Selanjutnya, Pemerintah Kota Cimahi harus memperketat izin mendirikan bangunan di kawasan utara demi menjaga eksistensi pertanian dan kawasan hijau wilayah utara tersebut dan pemerintah Kota Cimahi juga harus mempunyai keberanian untuk merealisasikan eksistensi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah selatan Kota Cimahi, yaitu dengan  melakukan pembongkaran sebagian zona industri untuk pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah yang luasnya sangat minim (4.103,73 Ha) tersebut, yang sampai sekarang habis untuk bangunan industri.

Saran dari Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia

1. Pemerintah daerah Kota Cimahi harus meninjau ulang atau merevisi Perda Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kota Cimahi dan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga Perda lainnya yang terkait, yaitu Perda Nomor 37 Tahun 2003 tentang Izin Mendirikan Bangunan di Kota Cimahi serta Perda yang berkaitan dengan pengaturan mengenai Kawasan Industri, Kawasan Militer, Kawasan Perkotaan, Kawasan Pertanian, Kawasan Perumahan, Kawasan Pendidikan dan Pengaturan mengenai lingkungan hidup dan yang lainnya disertai adanya perubahan-perubahan undang-undang yang terkait.  dan materi yang termuat harus lebih holistik dan tidak parsial.
2. Agar Ruang Terbuka Hijau (RTH) Di Kota Cimahi dapat terpenuhi sesuai dengan ketentuan yang berlaku Walikota atau pejabat yang ditunjuk harus lebih memperketat pemberian izin terhadap setiap orang atau badan hukum yang akan melakukan pemanfaatan ruang.
3. Pemerintah Daerah Kota Cimahi harus konsisten dan tegas dalam hal menjalankan kebijakan penataan ruang dan menjalankan rencana tata ruang wilayah dalam hal pola pemanfaatan ruang, dan harus adanya sinkronisasi dan harmonisasi antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya serta Pemerintah Daerah harus mengusulkan peninjauan ulang terhadap Pemerintah Pusat mengenai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah ini, di mana undang-undang yang lama belum harmonis. Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 harus secara konsisten menerapkan sanksi yang sudah di muat dalam Pasal 69 sampai Pasal 75. dalam merevisi ulang, harus melibatkan peran akadimisi dalam membuat kajian akademis. Selanjutnya perwakilan dari Masyarakat Industri, Militer, Perumahan dan pihak lainnya yang berkaitan dengan penempatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di lokasi kawasan masing-masing untuk menciptakan hukum yang responsif.

LANGIT CERAH TANPA POLUSI


 Parkir di Lapangan Terbang Internasional  Soekarno Hatta



Saran LKTRI :
Sistem pembagian wilayah mengakibatkan Bandara Soekarno Hatta terbagi kepada dua daerah yaitu DKI Jakarta dan  Banten. Diharapkan dengan adanya Undang - undang Tata Ruang No. 26 Tahun 2007 dapat mengatur pengaturan kawasan bandara di Indonesia. Selanjutnya diatur dalam peraturan Pemerintah RI No .26 Tahun 2008, Tentang RTRW Nasional, Pasal 17 ayat (4) & Pasal 29, 30 dan 31.

BENDA CAGAR BUDAYA (BATUJAYA - KARAWANG)




Dengan lahirnya UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 tentang BENDA CAGAR BUDAYA. Benda cagar budaya bangsa sangat penting  artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional. Untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 tentang BENDA CAGAR BUDAYA

PERLINDUNGAN DAN PEMELIHARAAN

Pasal 13
(1).   Setiap orang  yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya.
(2). Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pegamanannya.

Pasal 14
(1). Dalam hal orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 tidak melaksanakan kewajiban melindungi dan memelihara sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, Pemerintah memberikan teguran.
(2). Apabila dalam waktu 90 (Sembilan puluh) hari sejak dikeluarkan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) upaya perlidungan tetap tidak dilaksanakan oleh pemilik atau yang menguasai benda cagar budaya . Pemerintah dapat mengambil alih kewjiban untuk melindungi benda cagar budaya yang bersangkutan.

Pasal 15
(1).  Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya.
(2).  Tanpa izin dari Pemerintah setiap orang dilarang :
a. Membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia
b. Memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya.
c. Mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat.
d. Mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya.
e. Memisahkan sebagaian benda cagar budaya dari kesatuannya.
f.. Memperdagangkan atau menjualbelikan atau memperniagakan benda cagar budaya.