Sabtu, 08 Oktober 2011

Normalisasi Sungai Citarum Harus disesuaikan dengan PPRI No. 42 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air dan PPRI No. 38 Tahun 2011 Tentang Sungai


Sudah miliaran rupiah dana dikucurkan, sepanjang 16 tahun sejarah penanggulangan banjir di Citarum. Untuk proyek normalisasi tahap pertama, 1994-1999, dan dilanjutkan dengan proyek tahap kedua selama 1999-2007, proyek tersebut menguras dana sekitar 7,8 miliar yen. Endapan lumpur sebanyak 2 juta meter kubik dikeruk dari badan sungai sepanjang 6K,S meter. Alur Citarum juga diluruskan, supaya alirannya lancar. Proyek tersebut mencakup pengerukan sembilan anak sungai, yang total panjangnya 44,3 km.
Adakah kemajuan berarti dari upaya ini? Kalau menurut Kepala BBWS Citarum, Mudjiadi, pengerukan itu masih seujung kuku atau hanya Sekedar solusi jangka pendek. Pangkal persoalannya saat ini, volume erosi dari hulu Citarum sangat tinggi. "Apa pun bentuk rekayasa fisik yang selama ini sudah direalisasikan adalah solusi sesaat untuk mengurangi dampak banjir," kata Mudjiadi.
Jika problem banjir di Citarum mau dituntaskan secara menyeluruh, maka sungai tersebut harus direhabilitasi, serta ditertibkan dari permukiman bantaran sungai. Reboisasi gagal tutupan hijau di hulu, umpamanya yang ada di Gunung Wayang, TUU, Malabar, Puntang, Burangrang, Mandalawangi, sudah jadi sasaran gerakan reboisasi yang digulirkan Kementerian Lingkungan Hidup, Pemprov Jabar, dan Perhutani.
Biayanya? Kalau dihitung-hitung dari 2003, Pemprov Jabar mengalokasikan Rp 25-30 miliar/tahun untuk Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) dengan target 37.758 ha lahan kritis di luar kawasan hutan negara.
Kepala Dinas Kehutanan Jawa Barat Anang Sudarna mengatakan, pihaknya kesulitan memperbaiki hulu Citarum. Sebagian besar lahan sudah dimiliki masyarakat, adapun 78% atau 560.249,8 ha dari total kawasan DAS Citarum yang luasnya 718.269 ha adalah hutan rakyat. Sisanya milik pemerintah yang dikelola Perhutani dan PTPN.
Mayoritas hutan rakyat sekarang sudah beralih fungsi jadi perkebunan dan pertanian. "Kami sedang mencoba mengajak masyarakat beralih profesi atau alih komoditas agar mereka meninggalkan pertanian konvensional. Tapi, memang tidak serta-merta langsung berhasil," ungkap Anang. Ganjalannya, menurut dia, ada di keterbatasan anggaran sosialisasi dan penolakan masyarakat.
Tanpa dibarengi dengan perbaikan taraf ekonomi masyarakat, Anang memperkirakan rehabilitasi hutan yang berlangsung akan jalan di tempat. Menurut Anang, belum lama ini Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan telah memasukkan proposal penanganan banjir Citarum terintegrasi ke Menkokesra.
Kebutuhan penanganan hulu sungai dan sembilan anak Sungai Citarum dalam proposal tersebut menembus angka Rp. 3,4 triliun. Sementara Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Padjadjaran Chay Asdak berpendapat bahwa kegagalan penanganan hulu Citarum bersumber pada sederet faktor.
Pertama, pemerintah tidak tegas dalam menerapkan aturan tentang penataan ruang, Akibatnya perambahan hutan marak di kawasan hulu. Celakanya lagi, pemerintah seolah menutup mata atas praktik jual beli tanah di hutan lindung yang dilakukan oknum Perhutani, PTPN, ataupun pemerintah daerah.
Kedua, sejak proyek normalisasi Citarum digulirkan, pemerintah hanya fokus pada perbaikan badan sungai, seperti pengerukan lumpur dan menata kawasan hilir. Sementara penataan hulu terabaikan. Menurut Chay, itu adalah kesalahan fatal.
Ketiga, tidak adanya konsistensi. Berbagai program perbaikan hulu seperti GRLK, Mitra Cai, dan Citarum Bergetar, gagal total. "Semua program tersebut hanya pada tataran konsep. Pemerintah berhenti pada penanaman bibit pohon, setelah itu pohon dicabut lagi oleh masyarakat," katanya.
Keempat, pemerintah belum mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Padahal, RPP itu sangat penting supaya penanganan Citarum terintegrasi di satu pintu. Selama ini berbagai instansi ikut membenahi Citarum, tapi berjalan tanpa koordinasi. Citarum memang ladang proyek.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, BAB V tentang Konservasi Bagian Kesatu (Tujuan dan Lingkup Konservasi) Pasal 49
(1)   Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan, daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air.
(2)   Untuk mencapai tujuan konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kegiatan :
a.       perlindungan dan pelestarian sumber air;
b.      pengawetan air; dan
c.       pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Bagian Kedua Perlindungan dan Pelestarian Sumber Air Pasal 50 :
(1)   Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a dilakukan melalui :
a.       pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
b.      pengendalian pemanfaatan sumber air;
c.       pengisian air pada sumber air;
d.      pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
e.       perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air;
f.       pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
g.       pengaturan daerah sempadan sumber air;
h.      rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
i.        pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam.
(3)   Perlindungan dan pelestarian sumber air dilakukan dengan kegiatan fisik dan/atau nonfisik.
(4)   Kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air dilakukan dengan mengutamakan kegiatan yang lebih bersifat nonfisik.
(5)   Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri atau menteri yang terkait dengan bidang sumber daya air dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya.
(6)   Dalam melaksanakan perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri atau menteri yang terkait dengan bidang sumber daya air dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, memperhatikan kearifan lokal dan dapat melibatkan peran masyarakat.

Sedangkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai BAB II tentang Ruang Sungai Pasal 16 :
(1)   Garis sempadan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kajian penetapan garis sempadan.
(3)   Dalam penetapan garis sempadan harus mempertimbangkan karakteristik geomorfologi sungai, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, serta memperhatikan jalan akses bagi peralatan, bahan, dan sumber daya manusia untuk melakukan kegiatan operasi dan pemeliharaan sungai.
(4)   Kajian penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit mengenai batas ruas sungai yang ditetapkan, letak garis sempadan, serta rincian jumlah dan jenis bangunan yang terdapat di dalam sempadan.
(5)   Kajian penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
(6)   Tim kajian penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) beranggotakan wakil dari instansi teknis dan unsur masyarakat.

Pasal 17
(1)   Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menunjukkan terdapat bangunan dalam sempadan sungai maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi bangunan yang terdapat dalam sempadan sungai untuk fasilitas kepentingan tertentu yang meliputi :
a.       bangunan prasarana sumber daya air;
b.      fasilitas jembatan dan dermaga;
c.       jalur pipa gas dan air minum; dan
d.      rentangan kabel listrik dan telekomunikasi.

Com