Sabtu, 27 Agustus 2011

Pariwisata SITU CIBURUY


“BANDUNG BARAT CERMAT”
Bersama Membangun Masyarakat Yang Cerdas, Rasional, Maju, Agamis, Dan Sehat Berbasis Pada Pengembangan Kawasan Agroindustri dan Wisata Ramah Lingkungan.


Dari Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia : 
Perlu dibuat Peraturan Daerah, untuk pengelolaan Situ Ciburuy, baik sebagai Situ, Tempat Pariwisata, Shellter Bus, Pemukiman Penduduk, Konservasi Alam, Catchman Area (daerah tangkapan hujan), Irigasi Teknis, Kawasan Pertanian yang berdekatan langsung dengan Kawasan Industri dan Pertambangan.

Sungai Brantas Kediri - Jawa Timur

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
.
Pasal 72
(1)    Orang perseorangan yang melakukan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)    Orang perseorangan yang tidak melakukan kewajiban mengembalikan keadaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ke keadaan semula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dan Pasal 51 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3)    Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh pejabat pemerintah, pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diancamkan.

Pasal 73
Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 74
(1)    Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh suatu korporasi, pengurusnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah).
(2)    Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana berupa:
a.    perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
b.    pembatalan kontrak kerja dengan pemerintah;
c.    pemecatan pengurus; dan/atau
d. pelarangan pada pengurus untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.
(3)    Dalam hal perbuatan sebagaimana diatur dalam bab ini menimbulkan kerugian, pidana yang dikenai dapat ditambah dengan pembayaran kerugian.

Dari LKTRI : 
Dalam Prakteknya Pasal ni sangat perlu diterapkan

SOSIALISASI PERDA KAB BANDUNG NO 3 Tahun 2008

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG
NOMOR 3 TAHUN 2008
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW)
KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2007 SAMPAI TAHUN 2027

Pasal 104
(1)     Program pengelolaan kawasan lindung secara umum, meliputi :
a.   Rehabilitasi, konservasi, dan pengelolaan kawasan lindung dalam rangka mempertahankan fungsi lindung;
b    Mengarahkan secara bertahap kawasan-kawasan yang sesuai untuk kawasan lindung dan memenuhi kriteria lokasi serta standar teknis;
c.    Pelarangan kegiatan budidaya pada kawasan lindung mencakup kawasan hutan lindung, hutan konservasi, kawasan rawan bencana gunung berapi dan  kawasan rawan gerakan tanah kecuali tidak mengganggu fungsi lindung  kawasan tersebut;
d.    Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang ditetapkan dapat diteruskan sejauh tidak mengganggu fungsi lindung;
e.    Kegiatan budidaya yang mengganggu dan atau terpaksa mengkonversi kawasan berfungsi lindung, sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundangan yang berlaku harus dikembalikan kepada fungsi semula.

(2)     Program pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, meliputi
1.    Pengawasan keberadaan vegetasi dan fauna, serta pengendalian aktivitas di atasnya di Kecamatan Cileunyi, Cilengkrang, Cimenyan, Ciwidey, Rancabali, Pasirjambu, Pangalengan, Kertasari, Banjaran, Arjasari, Pacet, Ibun, Paseh, Cimaung, Cicalengka dan Cikancung;
2.    Pengaturan kepadatan bangunan, vegetasi dan pembuatan parit resapan, sumur resapan di Seluruh kecamatan, khususnya di Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Cileunyi.
(3)    Program pengelolaan kawasan pelestarian alam yaitu pengembangan dan pemeliharaan kawasan suaka alam yaitu cagar alam dan taman wisata alam di Kecamatan Pasirjambu, Rancabali, Pangalengan, Cimaung.
 (4)    Program penanganan kawasan rawan bencana alam, meliputi :
1.    Pengendalian kawasan pada daerah rawan bencana banjir ;
2.    Normalisasi sungai dan pembuatan embung;
3.    Observasi seismik untuk menentukan keaktifan gunung be-rapi dan gempa bumi;
4.    Pembuatan kanal aliran lava;
5.    Pengendalian kawasan rawan bencana gerakan tanah.
6.    Relokasi permukiman dari kawasan rawan bencana alam banjir, gunung berapi, gempa bumi dan gerakan tanah.

Rumah Sakit Soreang - Kabupaten Bandung

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2009
TENTANG
RUMAH SAKIT

Pasal 8
(1)    Persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus memenuhi ketentuan mengenai kesehatan, keselamatan lingkungan, dan tata ruang, serta sesuai dengan hasil kajian kebutuhan dan kelayakan penyelenggaraan Rumah Sakit.
(2)    Ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut Upaya Pemantauan Lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan dan/atau dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)    Ketentuan mengenai tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.
(4)    Hasil kajian kebutuhan penyelenggaraan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada studi kelayakan dengan menggunakan prinsip pemerataan pelayanan, efisiensi dan efektivitas, serta demografi.

Pasal 9
Persyaratan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus memenuhi :
a.    persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung pada umumnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b.    persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit, sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut.

Pasal 10
(1)    Bangunan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
(2)    Bangunan rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas ruang:
a.    rawat jalan;
b.    ruang rawat inap;
c.    ruang gawat darurat;
d.    ruang operasi;
e.    ruang tenaga kesehatan;
f.    ruang radiologi;
g.    ruang laboratorium;
h.    ruang sterilisasi;
I.    ruang farmasi;
j.    ruang pendidikan dan latihan;
k.    ruang kantor dan administrasi;
l.    ruang ibadah, ruang tunggu;
m.    ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit;
n.    ruang menyusui;
o.    ruang mekanik;
p.    ruang dapur;
q.    laundry;
r.    kamar jenazah;
s.    taman;
t.    pengolahan sampah; dan
u.    pelataran parkir yang mencukupi.
(3)    Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 11
(1)    Prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat meliputi :
a.    instalasi air;
b.    instalasi mekanikal dan elektrikal;
c.    instalasi gas medik;
d.    instalasi uap;
e.    instalasi pengelolaan limbah;
f.    pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
g.    petunjuk, standar dan sarana evakuasi saat terjadi keadaan darurat;
h.    instalasi tata udara;
I.    sistem informasi dan komunikasi; dan
j.    ambulan.
(2)    Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggaraan Rumah Sakit
(3)    Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik.
(4)    Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
(5)    Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didokumentasi dan dievaluasi secara berkala dan berkesinambungan.
(6)    Ketentuan lebih lanjut mengenai prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Dari Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia : 
Kehadiran Undang - Undang ini sangat mendukung pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

PERMASALAHAN PROVINSI DKI JAKARTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2009
TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

BAB XII
DAMPAK LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Perlindungan Kelestarian Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 209
(1)    Untuk menjamin kelestarian lingkungan, dalam setiap kegiatan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dilakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup untuk memenuhi ketentuan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua
Pencegahan dan Penanggulangan Dampak Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 210
(1)    Setiap Kendaraan Bermotor yang beroperasi di Jalan wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan.
(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Dari Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia : 
Diperlukan kerja keras dalam pengaturan Lalu Lintas di Jakarta sebagai barometer keberhasilan pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, semoga Pemerintah dengan dukungan peran serta masyarakat serta Instansi terkait dan Aparatur Negara yang terkait didalam pelaksanaan Undang-Undang ini kami ucapkan SELAMAT, agar budaya berlalu lintas kita menjadi baik.

Untuk mengunduh keseluruhan UURI 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan klik di sini




UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal,  17,  Pasal 18

Dari Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia : 
Pasal-pasal dalam Undang-Undang di atas menjadi perhatian kita semua.

Untuk mengunduh keseluruhan UURI 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup klik di sini

Pulau Biak

Biak adalah pulau kecil yang terletak di Teluk Cendrawasih sebelah utara pesisir Provinsi Papua, Indonesia. Posisi Biak berada di sebelah barat laut Papua Nugini. Biak adalah pulau terbesar diantara rantai kepulauan kecil, serta mempunyai banyak atol dan terumbu karang. Biak juga merupakan ibukota dari Kabupaten Biak Numfor.

    Kabupaten Biak Numfor terdiri dari 2 (dua) pulau kecil yaitu Pulau Biak dan Pulau Numfor, serta lebih dari 42 pulau sangat kecil, termasuk Kepulauan Padaido yang menjadi primadona pengembangan kegiatan dari berbagai pihak. Luas keseluruhan Kabupaten Biak Numfor adalah 5,11 % dari luas wilayah provinsi Papua. Kabupaten Biak Numfor terletak di Teluk Cenderawasih pada titik 0°21′-1°31′ LS, 134°47′-136°48′ BT dengan ketinggian 0 – 1.000 meter di atas permukaan laut.

    Kabupaten ini merupakan gugusan pulau yang berada di sebelah utara daratan Papua dan berseberangan langsung dengan Samudera Pasifik.
   
    Posisi ini menjadikan Kabu-paten Biak Numfor sebagai salah satu tempat yang strategis dan penting untuk berhubungan dengan dunia luar terutama negara-negara di kawasan Pasifik, Australia, atau Filipina. Letak geografis ini memberikan kenyataan bahwa posisinya sangat strategis untuk membangun kawasan industri, termasuk industri pariwisata.

    Mengenai wisata Pulau Biak sendiri khususnya sangat menarik untuk dikunjungi, biak menawarkan keindahan alamnya yang eksotis dibalut dengan nuansa tropis di wilayah pasifik. Dikelilingi oleh pantai dengan panoramanya yang indah, obyek wisata historis dari perang dunia ke-2, dan obyek-obyek wisata lainnya dapat mengiring perjalanan anda di biak.

(biakerz.woedpress.com)

Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi - Menara Air MEDAN

Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi didirikan pada tanggal 23 September 1905 dengan nama NV.Water Leiding Maatschappij Ajer Beresih yang berkantor pusat di Amsterdam negeri Belanda.

Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Sumatera Utara No.11 tahun1979 perusahaan ini resmi menggunakan nama yang sekarang (Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi) disingkat PDAM Tirtanadi yang berlokasi di Jl.Sisingamangaraja No.1 Medan.

Pada tahun 1985, Peraturan Daerah ini disempurnakan dengan Peraturan Daerah Tingkat I Sumatera Utara No.25 tahun 1985 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara

Selanjutnya pada tahun 1991 diadakan perubahan pertama Peraturan Daerah No.25 tahun 1985 dengan No.6 tahun 1991. Dalam Peraturan Daerah ini PDAM Tirtanadi disamping menangani Air Bersih juga ditugaskan mengelola Air limbah.  29 April 1999, Peraturan Daerah No.6 tahun 1991 diperbaharui dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara No.3 tahun 1999

PDAM Tirtanadi tidak hanya melayani pelanggan di Medan, tapi juga telah berupaya menjawab kebutuhan air bersih di beberapa daerah Tingkat II di Sumatera Utara antara lain Deli Serdang, Tapsel, Madina, Simalungun, Nias, dan lain-lain.

Peningkatan pelayanan air bersih bagi masyarakat di berbagai Daerah Tingkat II itu merupakan realisasi dari Kerjasama Operasi (KSO) dengan PDAM Tirtanadi.

Dari LKTRI :
Pembangunan di Indonesia pada dasarnya hanya melanjutkan saja, namun demikian arsitektur kota berubah planologinya beserta aturannya.

Sejarah Perkebunan Indonesia

    Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan, karena sektor ini memiliki arti yang sangat penting dan menentukan dalam pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.

    Perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan ma-syarakat Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru, namun pada sisi yang lain perkembangan perkebunan juga dianggap sebagai kendala bagi diver-sifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan, serta salah satu faktor penting yang menimbulkan kemiskinan struktural.

    Bahkan dalam konteks masa lalu ada yang berpendapat bahwa sejarah kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia merupakan sejarah perkebunan itu sendiri.

    Sejak awal kedatangan bangsa Barat yang mengidentifikasi diri sebagai pedagang sampai masa-masa ketika Barat identik dengan kekuasaan kolonial dan pemilik modal, perkebunan menjadi salah satu fakta atau variabel yang tidak bisa diabaikan untuk merekonstruksi dan menjelaskan realitas masa lalu yang ada.

    Tulisan singkat ini akan membahas proses dan struktur perkembangan perkebunan dan komunitasnya sejak pertengahan abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20, ketika sektor perkebunan mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan menimbulkan pengaruh yang sangat besar baik bagi negara kolonial, para pemodal besar maupun masyarakat di Indonesia.

    Konstruksi ini diharapkan memberi bekal untuk memahami sejauh mana realitas perkebunan Indonesia merupakan lanjutan dari masa lalunya, atau telah terjadi perubahan yang mendasar sehingga tidak relevan mencari akar permasalahan perkebunan di Indonesia pada masa kini pada realitas historis perkebunan di masa kolonial.

Awal Perkembangan
    Jauh sebelum perkebunan milik para pemodal swasta Barat berkembang pesat di abad ke-19, usaha perkebunan untuk ekspor sebenarnya telah memiliki sejarah yang panjang di Indonesia.

    Perubahan pola perdagangan pasar dunia pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 yang disertai dengan pelayaran orang Barat langsung ke pusat-pusat produksi dan perdagangan di Asia Tenggara menimbulkan peningkatan permintaan terhadap beberapa jenis komoditi yang dihasil-kan kepulauan Indonesia.

    Beberapa komoditi seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis yang sebelumnya hanya dikumpulkan dari tanaman liar mulai dibudidayakan penduduk di berbagai daerah di Indonesia. Para penguasa di kerajaan Aceh dan Banten misalnya, telah melakukan langkah yang sistematis melalui jalur birokrasinya dalam mengusahakan perkebunan lada pada akhir abad ke-16.

    Di Banten, pembukaan perkebunan itu tidak hanya terbatas di tanah-tanah yang tersedia di ujung barat pulau Jawa melainkan juga merambat ke daerah kekuasaannya di Lampung, sehingga terjadi mobilitas penduduk secara rutin menyeberangi Selat Sunda.

    Satu hal yang perlu dicatat dari beberapa studi yang telah dilakukan, negara sejak awal telah menjadi penguasa utama yang memonopoli usaha perkebunan, baik sebagai pemilik maupun sebagai pedagang hasil perkebunan.

    Proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh negara, keluarga kerajaan, dan para birokratnya melalui jaringan birokrasi dan institusi tradisional, sementara itu rakyat hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja dan tidak memiliki kekuatan tawar menawar untuk menentukan besar kecilnya nilai dan hasil produksi.

    Penguasa dan birokrasinya bahkan menentukan distribusi kebutuhan sehari-hari produsen, yang meru-pakan kompensasi atas keterlibatan mereka dalam proses produksi. Hal itu menunjukkan bahwa pasar bukan merupakan komponen ekonomi yang penting, baik untuk memasarkan produksi maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena birokrasi menentukan segala hal.

    Di dalam usaha itu, para penguasa cenderung bekerja sama dengan orang asing daripada dengan interprenur lokal. Hal itu dilakukan untuk menangkal munculnya kelompok lokal yang mampu menyaingi kekua-saan raja karena keberhasilannya dalam bidang ekonomi.

    Salah satu contoh adalah kasus yang terjadi di Aceh pada akhir abad ke-16, ketika Sultan Ala'ad-din Ri'ayat Syah al-Mukammil memerintahkan pembunuhan dan perampasan harta benda para orang kaya, karena kelompok itu sangat berpengaruh dalam silih bergantinya lima orang sultan di kerajaan Aceh antara tahun 1571 dan 1589. Sejak saat itu produksi dan perdagangan lada secara eksklusif semakin didominasi oleh penguasa politik, terutama para uleebalang yang merupakan penguasa otonom atas wilayah tertentu.

    Sejak awal abad ke-16, perkebunan lada yang dikuasai kerajaan Aceh telah mencakup wilayah yang sekarang berada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bengkulu.

    Kehadiran perusahaan dagang Barat, terutama Inggris dan Belanda pada abad XVII memperluas usaha perkebunan yang dilakukan oleh penduduk di beberapa wilayah di kepulauan Indonesia, baik sebagai bagian dari aktivitas ekonomi penguasa politik lokal maupun sebagai bagian dari politik penyerahan wajib yang berhasil ditanamkan oleh perusahaan dagang Barat, seperti yang terjadi di Ternate, Tidore, dan Ambon.

    Segera setelah Inggris menguasai Bengkulu, pesaing utama Belanda itu memulai usaha perkebunan, terutama lada di wilayah pantai Barat Sumatera. Sementara itu di Palembang, Jambi, dan Siak yang tidak berada di bawah kekuasaan baik Aceh, Banten maupun perusahaan dagang Barat juga berhasil mengembangkan perkebunan lada pada saat yang bersamaan.

    Di Jawa, orang-orang Cina menyewa tanah-tanah desa untuk membuka perkebunan, terutama perkebunan tebu. Pada abad ke-17 perkebunan dan pabrik gula sederhana milik orang Cina sudah ditemukan di sekitar Batavia. Usaha perkebunan milik orang Cina ini juga dapat ditemukan di wilayah yang masih dikuasai oleh Mataram.

    Usaha perkebunan, terutama milik orang asing ini semakin berkembang ketika kekuasaan Barat atas kerajaan-kerajaan lokal semakin luas dan dalam. Di tanah-tanah partikelir, tanah yang dikuasai VOC yang dijual kepada pribadi-pribadi kaya di Jawa terutama sejak tahun 1778, perbukaan perkebunan-perkebunan baru yang ditanami berbagai jenis tanaman ekspor memperluas aktivitas usaha perkebunan di Jawa.

    Perkembangan usaha perkebunan mencapai salah satu puncaknya ketika VOC yang hampir bangkrut menerapkan kebijakan penanaman dan penyerahan wajib kopi di Priangan, yang dikenal sebagai Preanger Stelsel menjelang berakhirnya abad ke-18. Penanaman kopi di Priangan ini kemudian menjadi model dari tumbuhnya usaha perkebunan yang diselenggarakan oleh negara pada abad berikutnya, yang dikenal sebagai Kultuurstelsel atau biasa diterjemahkan sebagai Sistem Tanam Paksa dalam historiografi Indonesia.

Modal Swasta dan Berkembangnya Perkebunan Besar
    Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha perkebunan di Indonesia. Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang bersifat terbatas, pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC berusaha memaksimalkan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi ekspor, terutama kopi, tembakau, nila, dan gula.

    Di Jawa, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan Kultuurstelsel dalam rangka memanfaatkan secara paksa tanah-tanah desa baik yang belum maupun yang telah diolah oleh masyarakat di daerah Gubernemen sejak tahun 1830. Penduduk diharuskan menyerahkan tanah dan tenaga kerja mereka dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan berbagai komoditi ekspor seperti yang telah disebutkan di atas untuk kepentingan negara kolonial.

    Kebijakan yang sama tidak hanya terbatas dilakukan di Jawa. Seiring dengan ekspansi militer dan perluasan kekuasaan politik kolonial, kebijakan pembukaan perkebunan baru secara paksa ini juga dilakukan di pulau-pulau lainnya, seperti tanam paksa kopi yang dilakukan di Sumatera Barat setelah berakhirnya Perang Paderi. Penduduk Sumatera Barat yang telah mengembangkan perkebunan kopi bebas sejak abad ke-18 dipaksa harus menyesuaikan proses produk-sinya dengan kebijakan tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1840-an.

    Sebelum itu usaha pembukaan perkebunan besar dengan tenaga kerja paksa telah gagal, sehingga pemerintah menyerahkan kembali proses produksi dalam bentuk perkebunan-perkebunan kopi yang dikelola oleh keluarga namun nilai produksi ditentukan oleh pemerintah.

    Pembukaan perkebunan-perkebunan kopi, lada, cengkeh, dan kelapa dengan cara yang hampir sama juga dilakukan di Palembang, Lampung, Bengkulu, dan Minahasa pada waktu yang hampir bersamaan.

    Seperti telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan lokal sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda meman-faatkan dengan baik jalur birokrasi. Di samping birokrasi kolonial, pemerintah kolonial juga memanfaatkan birokrasi tradisional untuk menjalakan usaha perkebunan yang dikuasai oleh negara itu. Sistem Tanam Paksa di Jawa yang berbasis pada desa telah melibatkan pada pejabat lokal dari tingkat bawah sampai bupati bersama-sama controler sampai residen untuk melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas yang berlangsung.

    Di Sumatera Barat para tuanku laras, sebagian penghulu, dan kepala menjadi bagian penting dari keberhasilan program itu. Di samping para birokrat kolonial, para elite lokal itu menikmati keuntungan ganda berupa manipulasi terhadap produsen dan imbalan yang diterima dari penguasa kolonial. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika para elite lokal ini berhasil membangun relasi politis dan ekonomi yang erat dengan kekuasaan kolonial, yang pada titik tertentu menimbulkan konflik dalam hubungan mereka dengan rakyatnya sendiri.

    Sementara itu bagi para elite yang berusaha bersikap netral seperti yang ditunjukkan oleh banyak peng-hulu di Sumatera Barat, kondisi ini telah menimbulkan kesulitan bagi para penghulu yang berusaha melindungi rakyatnya dengan kuatnya tekanan kolonial serta adanya kenyataan bahwa para penghulu ini juga menikmati keuntungan ekonomis dari pelaksanaan sistem tanam paksa kopi itu.

    Pada saat bersamaan ketika berlaku Sistem Tanam Paksa di tanah-tanah Gubernemen Jawa, sebuah perkembangan perkebunan baru yang melibatkan para pemodal swasta Barat mulai terjadi di Vorstenlanden atau Tanah Kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta. Berbeda dengan pemahaman selama ini bahwa perkembangan perkebunan besar milik pemodal swasta Barat baru berlangsung setelah berlakunya Undang Undang Agraria 1870, penelitian yang dilakukan Vincent Houben menunjukkan bahwa para pemodal swasta Barat telah menyewa tanah-tanah lungguh milik raja dan para pangeran untuk membuka perkebunan nila, tembakau, kopi, dan tebu.

    Sebagai contoh, dari 51.000 ton kopi yang dihasilkan Jawa pada tahun 1845, 4.413 atau 8,6% berasal dari Vorstenlanden, yang semuanya dihasilkan oleh kebun-kebun milik pemodal swasta Barat. Bahkan ada bukti yang menyebutkan bahwa perkembangan perkebunan besar milik pengusaha swasta di Jawa sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1816, jauh sebelum diberlakukannya undang-undang agraria. Biarpun ada larangan terhadap penyewaan tanah lungguh oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1823, sejak tahun 1827 penyewaan itu berlangsung kembali.

    Bukti-bukti lain menunjukkan bahwa perkebunan-perkebunan besar milik swasta juga telah berkembang sejak Daendels dan Raffles menjual tanah-tanah di Bogor, Kerawang, dan Priangan, terutama kepada pengusah-pengusaha swasta Barat dan Cina. Penjualan perkebunan Cikandi Ilir dan Cikandi Udik antara tahun 1823 dan 1833 menjadi contoh lain dari keterlibatan pengusaha swasta asing dalam perkembangan perkebunan besar di Jawa sebelum tahun 1870.

    Bahkan pada saat Sistem Tanam Paksa berlangsung, paling tidak 36.398 bau tanah Gubernemen di Pekalongan, Surabaya, Pasuruan, dan Banyumas telah berubah menjadi perkebunan besar, masing-masing mengusahakan lebih dari 1.000 bau milik pengusaha swasta.

    Pada tahun 1826, NHM yang sangat berperan dalam penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa telah mendorong berkembangnya perkebunan besar milik swasta melalui sistem kontrak konsinyasi dengan pemerintah. Perkembangan perkebunan milik pengusaha swasta di Jawa semakin berkembang ketika pemerintah mengizinkan pembangunan pabrik gula milik swasta di samping pabrik gula yang diusahakan oleh negara setelah tahun 1850.

    Namun satu hal yang perlu dicatat berkaitan dengan perkem-bangan perkebunan swasta itu, banyak dari perusahaan perkebunan itu dimiliki oleh keluarga para pejabat pemerintah Belanda dan Hindia Belanda. Hal itu dapat dilihat pada kasus perkebunan dan Pabrik Gula Purwodadi di Madiun yang dimiliki oleh Baron A. Sloet van Oldruitenborgh yang merupakan menantu dari P.J.B. Perez seorang anggota Konsil Hindia Belanda. Kepentingan keluarga dan pribadi ini sering menimbulkan konflik dengan para birokrat lokal yang berusaha membela kepentingan pemerintah.

    Para pengelola perkebunan di Tegal misalnya mengeluh karena para pejabat lokal telah menghalangi perkebunan dalam pengadaan tenaga kerja, sehingga ia dipindahkan ke tempat yang lain. Di Rembang seorang residen berani mencabut izin usaha beberapa perkebunan tembakau swasta yang dianggapnya telah melanggar tanpa akibat apapun, namun penggantinya melakukan hal yang sama terpaksa harus menghadapi pemecatan yang telah direkayasa dari atas.

    Perubahan kebijakan ekonomi pemerintah seiring dengan semakin kuatnya kepentingan ekonomi para pemilik modal Barat dan adanya perhatian yang lebih besar terhadap pulau-pulau lain setelah tahun 1870 merupakan salah satu tonggak penting dalam pertumbuhan yang semakin cepat usaha perkebunan di Indonesia.

    Perkebunan gula dan tem-bakau, terutama milik swasta ber-kembang sangat luar biasa di Pulau Jawa sampai tahun 1930-an. Menurut data yang dipublikasi dalam Kolonial Verslag, luas areal perkebunan gula yang diusahakan pemerintah menurun dari 28.167 hektar pada tahun 1870 menjadi 3.875 hektar pada tahun 1890.

    Sementara itu lahan yang dikelola perkebunan gula swasta meningkat dari 332 hektar pada tahun 1875 menjadi 25.075 hektar pada tahun 1890. Jumlah perkebunan gula swasta juga meningkat dari 46 pada tahun 1875 menjadi 158, yang 24 diantaranya dimiliki oleh orang Cina pada tahun 1895. Kedudukan pemodal swasta dalam perkembangan usaha perkebunan di Indonesia pada masa kolonial menjadi semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika beberapa komoditi baru seperti karet dan teh mulai dikembangkan dan pembukaan perkebunan besar di Sumatera dan Kalimantan.

    Pembukaan perkebunan tembakau milik swasta di Jawa Timur dan Sumatera Timur pada akhir abad ke-19 menandai sebuah era baru dalam usaha perkebunan, tidak hanya bagi daerah sekitarnya melainkan juga di seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda selanjutnya. Pengerahan tenaga kerja dari luar daerah, khususnya tenaga kerja kontrak bagi orang Madura di Jawa Timur dan orang Jawa, Cina, dan India di Sumatera Timur pada satu sisi masih meneruskan beberapa ciri tradisi perkebunan yang lama, namun pada sisi yang lain telah menciptakan komunitas perkebunan baru yang unik dan berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya.

Dua Lingkungan Perkebunan
    Diilhami oleh tipologi yang dikemukakan oleh Clifford Geertz yang membedakan ekologi “sawah-tegalan” dan “dalam Jawa-luar Jawa”, lingkungan sosial-ekonomis dari perkebunan di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan proses perkembangan historisnya.

    Pembedaan ini tentu saja tidak terlalu kaku, karena beberapa ciri yang sama juga terdapat pada tempat yang berbeda. Lingkungan pertama sebagian besar terdapat di Jawa, wilayah yang penduduknya mengalami proses mar-ginalisasi akibat sistem produksinya mengambil alih secara langsung modal produksi yaitu tanah milik desa atau pribadi dan tenaga kerja yang seharusnya digunakan oleh produsen untuk berproduksi bagi kepentingan ekonomi rumah tangga sehari-hari.

    Proses produksi nila, tembakau, dan tebu menggunakan tanah yang sama digunakan penduduk untuk menanam bahan makanan, khususnya padi.

    Sementara itu, biarpun sebagian lahan perkebunan kopi dan teh menggunakan lahan di dataran tinggi yang belum diolah, namun di banyak tempat kebun-kebun kopi dan teh milik perusahan besar swasta menggunakan tegalan penduduk dan membatasi upaya penduduk untuk membuka tegalan baru seiring dengan pertam-bahan penduduk dari waktu ke waktu.

    Di dalam lingkungan yang pertama ini, keterlibatan langsung masyarakat lokal di dalam usaha perkebunan menjadi sangat intensif. Hampir sebagian besar tenaga kerja dipenuhi oleh penduduk setempat, kecuali di daerah tertentu yang jarang penduduknya atau dalam musim tertentu ketika tenaga kerja bebas dari luar juga banyak digunakan.

    Tenaga kerja tidak hanya terbatas pada laki-laki dan orang dewasa, dalam kenyataannya proses produksi juga melibatkan banyak tenaga kerja perempuan dan anak-anak. Tekanan terhadap ekonomi desa menjadi sangat besar, sehingga proses involusi seperti yang digambarkan Clifford Geertz terjadi di beberapa tempat.

    Bahkan kajian yang dilakukan oleh Peter Boomgard menyatrakan bahwa keterlibatan perempuan di luar sektor domestik terus meningkat sei-ring dengan perkembangan perke-bunan.

    Pada saat yang sama, penduduk juga mampu memanfaatkan keberadaan teknologi baru dan kesem-patan ekonomi yang dimunculkan oleh perkembangan perkebunan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Robert Elson di Pasuruan menunjukkan bahwa disamping adanya proses involusi dan pemerataan kemiskinan pada komu-nitas tertentu, penduduk di beberapa wilayah bahkan mampu memanfaatkan secara maksimal irigasi yang dibangun bagi perkebunan tebu untuk meningkatkan produksi padi mereka, sehingga daerah seperti Lumajang menjadi salah satu penghasil padi utama di Jawa Timur.

    Di tempat lain, penduduk merespon secara positif kesempatan ekonomi baru yang berkaitan dengan perkembangan perkebunan, seperti membuka pasar dan membuat berbagai barang sebagai industri rumah tangga, baik barang yang dibutuhkan oleh perkebunan maupun oleh para pekerjanya. Sebelum lori dan kereta api menjadi alat transportasi utama, penduduk di sekitar perkebunan juga memanfaatkan ternak mereka untuk memenuhi jasa angkutan yang diperlukan oleh perkebunan.

    Lingkungan kedua lebih banyak terdapat di perkebunan-perkebunan di Sumatera dan Kali-mantan.    Di tempat ini terdapat pemisahan yang tegas antara perkebunan sebagai pusat produksi komoditi untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia dengan lahan penduduk untuk menanam kebutuhan pangannya.

    Biarpun secara agronomis lahan yang digunakan untuk membuka ladang atau huma penduduk sama dengan lahan yang dimanfaatkan untuk perkebunan, sampai beberapa dekade awal abad ke-20 belum terjadi persaingan antara kebutuhan lahan perkebunan dengan kebutuhan penduduk menanam padi. Berbeda dengan lingkungan yang pertama, sebagian besar perkebunan di lingkungan kedua dikembangkan di daerah baru yang belum menjadi bagian dari sistem produksi masya-rakat. Baru pada masa kemudian ketika terjadi pertumbuhan penduduk yang sangat besar, persoalan lahan ini muncul.

    Kebun-kebun tembakau, kopi, dan kemudian karet serta kelapa sawit sebagian besar dibuka pada hutan-hutan tropis yang belum dihuni oleh penduduk. Sebagian besar tanah itu merupakan tanah adat, yang diubah statusnya oleh pemerintah kolonial melalui berbagai peraturan menjadi tanah milik penguasa lokal atau tanah tidak terpakai sebelum dilimpahkan kepada perusahaan perkebunan yang mendapat hak konsesi.

    Kondisi ini menempatkan posisi politis para elite lokal menjadi seolah-olah lebih penting, dan di beberapa daerah para elite itu bahkan mengalami peningkatan status dari sekedar “kepala mukim”, “kepala kampung”, atau kepala wilayah menjadi raja atau sultan, yang menurut konsep state domain berkuasa atas tanah yang ada.

    Keadaan itu juga menim-bulkan distorsi dalam konteks politik, ketika satuan unit kekuasaan dari para kepala mukim, kepala kampung, atau kepada wilayah yang mengalami mobilitas sosial semu itu tiba-tiba dipahami sebagai kerajaan dalam pengertian negara. Padahal secara teoretik konseptual, kedudukan para elite itu paling tinggi hanya dapat disetarakan dengan bupati. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tradisi historiografi Indonesia sampai saat ini tidak bisa membedakan dengan jelas antara konsep chiefdom dengan kingdom dalam membahas para elite itu.

    Berbeda dengan kenyataan para elite di Jawa yang memiliki kemampuan mengerahkan tenaga kerja melalui jaringan tradisionalnya untuk memenuhi kepentingan perkebunan, para elite di lingkungan kedua itu ternyata tidak memiliki kekuasaan untuk mengerahkan tenaga kerja penduduk yang ada di bawah kekua-saannya.

    Hal itu tentu saja memperkuat pendapat bahwa sesungguhnya para elite itu tidak lebih dari elite semu, yang menempati posisi tersebut karena kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang ingin melegalisir pemindahan hak atas tanah adat kepada perusahaan perkebunan melalui prinsip state domain. Kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja dari luar, sementara jarang sekali penduduk penduduk di sekitarnya yang bekerja sebagai buruh. Pengerahan tenaga kerja luar ini dapat dijelaskan karena rendahnya tingkat populasi di sekitar lokasi perkebunan baru itu dan penduduk setempat sudah memiliki kesempatan ekonomi alternatif.

    Di Sumatera Timur misalnya, kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja kontrak yang berasal dari Cina, yang pada awal abad ke-20 mencapai 2/3 dari seluruh pekerja yang ada. Pada akhir dekade pertama abad ke-20, jumlah pekerja kontrak yang berasal dari Jawa terus meningkat sehingga jumlah pekerja Cina di Sumatera Timur menurun lebih dari separuh.

    Peningkatan jumlah kuli kontrak dari Jawa itu juga mulai merubah komposisi buruh yang bekerja di perkebunan menurut jenis kelamin dan komposisi umur, yang menun-jukkan semakin banyaknya pekerja wanita dan kemudian anak-anak. Selain melalui sistem kontrak, kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan di beberapa tempat seperti Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung dipenuhi melalui program kolonisasi.
  
Berbeda dengan prinsip dasarnya yang direncanakan untuk pengembangan pertanian pangan, sebagian besar dari orang yang dipindahkan dari daerah miskin dan bencana di Jawa itu ternyata lebih banyak yang dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan, di samping untuk proyek-proyek pembangunan lainnya yang dilakukan pemerintah.     Kebutuhan tenaga kerja dari luar yang besar itu kemudian menarik para pendatang dari berbagai wilayah ke sekitar perkebunan, baik sebagai pekerja maupun bukan. Hal ini berbeda dengan lingkungan pertama yang sudah dihuni oleh penduduk ketika perkebunan dibuka, kehadiran pendatang sangat terbatas.

    Jika pun ada, kedatangan pendatang itu hanya bersifat musiman, dan hanya sedikit yang memutuskan untuk menetap. Namun di lingkungan tipe kedua, daerah sekitar perkebunan dipenuhi oleh para pendatang yang menetap. Seperti yang terjadi di banyak tempat di Sumatera Timur dan Lampung, penduduk pendatang yang berasal dari luar lingkungan adat setempat menjadi lebih dominan. Pada awalnya mereka membuka lahan-lahan yang ada di luar tanah konsesi perkebunan baik untuk pemukiman maupun lahan produksi.

    Dalam perkembangan waktu, para pendatang ini mulai mengolah lahan-lahan yang telah ditetapkan sebagai tanah konsesi perkebunan, termasuk di lahan-lahan produksi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menimbulkan persoalan yang kompleks dalam masalah pertanahan antara perkebunan dengan masyarakat.

    Di dalam konteks yang lain, dua lingkungan perkebunan ini dapat dilihat dari kualitas ekonomi komunitas perkebunan. Eksploitasi, diskriminasi, kemiskinan, dan penderitaan meru-pakan cerita utama yang ada di sekeliling masyarakat perkebunan di Indonesia pada masa kolonial sampai saat ini.

    M. Said, Jan Breman, dan A.L. Stoler misalnya menggambarkan begitu rupa tentang kehidupan masya-rakat perkebunan, khususnya di Sumatera Timur yang harus menanggung beban yang sangat luar biasa. Kondisi yang sama juga masih dihadapi oleh para buruh di perkebunan-perkebunan tembakau di Besuki sampai saat ini. Para pekerja perempuan dan anak-anak khususnya harus menghadapi diskri-minasi sosial, ekonomi dan bahkan kekerasan seksual secara terus menerus diwarisi dari satu generasi ke generasi-generasi berikutnya.

    Sebuah kajian yang paling akhir tentang perkebunan pada masa kolonial menunjukkan telah terjadi peningkatan kualitas non fisik seperti kesehatan dan perlakukan kasar para mandor dan tuan kebun yang semakin berkurang, namun pendapatan riil para pekerja di Sumatera Timur tidak mengalami perubahan yang berarti sejak awal pembukaan perkebunan sampai tahun 1920.

    Sampai tahun 1910 sebagai contoh, setiap pekerja laki-laki Jawa menerima 30 sen per hari, dan jumlah ini meningkat 60% pada tahun 1920. Kenaikan ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kenaikan biaya hidup, khususnya kenaikan harga beras yang juga mencapai 60%. Selain itu biarpun angka kematian pekerja turun pada tahun 1910-an dibandingkan dengan kondisi di tahun-tahun awal pembukaan, dalam kenyataannya fluktuasi angka kematian ini tetap menunjukkan kecenderungan yang tinggi mencapai 20 per 2.000 orang, seperti yang terjadi sepanjang dekade kedua abad ke-20.

    Gambaran yang agak berbeda tentang perkebunan akan didapat jika komunitas perkebunan dilihat sebagai sebuah totalitas.  Ketika banyak pekerja yang diberhentikan, perusahaan merugi, dan para pemegang saham tidak menerima deviden pada masa depresi ekonomi tahun 1930-an, sebagian pekerja perkebunan yang berada pada tingkat tertentu masih menikmati tantiem dalam jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata penghasilan penduduk dan pegawai pemerintah atau swasta umumnya. Ironisnya, warisan kolonial ini ternyata tidak hilang ketika Indonesia mencapai kemerdekaan, dan perkebunan tidak lagi dikelola oleh orang asing.

    Pada masa pascasaproklamasi kemerdekaan, berbagai fasilitas dan sistem yang menguntungkan para elite perkebunan terus dipertahankan. Dalam konteks ini, kemerdekaan dan berakhirnya kolonialisme dapat dikatakan tidak mempengaruhi keberlanjutan eksploitasi dan ketimpangan yang telah menjadi ciri komunitas perkebunan pada masa-masa sebelumnya. Bagi sebagian besar komu-nitas perkebunan, kemerdekaan hanya sebuah jargon politik yang tidak pernah menjadi bagian dari realitas kehidupan mereka sehari-hari. Seperti pada masa-masa sebelumnya, akses mereka terhadap tanah juga terbatas, kalau tidak mau disebut tertutup.

    Oleh karena itu tidak mengherankan jika konflik pertanahan tetap merupakan sesuatu yang laten dalam komunitas perkebunan paska prokla-masi kemerdekaan, dan bahkan dalam beberapa hal menjadi lebih buruk. Sistem jaluran yang dipraktekkan di perkebunan Sumatera Timur pada masa kolonial yang memungkinkan adanya akses terbatas terhadap tanah bagi para buruh sebagai contoh, ternyata tidak berlanjut dengan reformasi agraria yang memberi pengakuan hak atas tanah kepada para penggarapnya ketika Indonesia menjadi sebuah negara merdeka.

    Bahkan beberapa bukti menunjukkan akses para buruh terhadap tanah menjadi semakin terbatas, dan bahkan hilang sama sekali ketika terjadi Indonesianisasi terhadap perkebunan. Di tempat lain, lahan masyarakat yang telah mengambil alih pengelolaan lahan perkebunan pada masa Jepang dan awal kemerdekaan, terpaksa harus kecewa atau berada pada ketidakpastian secara terus menerus ketika harus berhadapan dengan pengelola baru yang dianggap resmi oleh pemerintah setelah kebi-jakan nasionalisasi atau Indonesianisasi tahun 1950-an.

    Hal itu menunjukkan dua lingkungan di atas tidak hanya telah membentuk sebuah struktur melainkan juga sebuah kultur komunitas perkebunan pada masa yang secara politik berbeda itu. Hampir sama dengan cerita tentang masyarakat miskin perkotaan di Amerika Latin yang telah terjerat oleh culture of poverty seperti yang dikemukakan oleh Oscar Lewis.

    Secara historis komunitas perkebunan di Indonesia juga telah menciptakan struktur sekaligus kultur perkebunan yang sangat sulit untuk diubah. Baik para pekerja kuli maupun pekerja mandor dan pekerja menejer telah terjerat dalam sebuah lingkaran setan atau tejebak di dalam kotak Pandora, yang mereka sendiri tidak tahu atau pura-pura tidak tahu pangkal dan ujung serta cara mencari jalan keluarnya.

    Jikalau terjadi perubahan, maka perubahan itu tidak terjadi secara struktural melainkan hanya parsial dan tidak berkelanjutan. Mereka yang tertindas saat ini harus menghadapi kenyataan historis bahwa nenek buyut mereka dulu juga tertindas biarpun para penindas saat kemudian ternyata bukan keturunan para penindas dahulu.

    Perkebunan sebagai sebuah komunitas tetap hidup dalam realitas yang sama ketika komunitas lain telah berhasil memutuskan identitas mereka dari masa lalu yang tidak menyenangkan itu. Persoalannya tidak lagi dapat dijelaskan dalam konteks ekploitasi kapitalis terhadap proletar melainkan produk dari upaya untuk membangun hegemoni kultural dan memanfaat-kannya untuk kepentingan ekonomis yang tidak mengenal batas kelas, aliran atau konsep-konsep lain yang setara.

    Interelasi yang melibatkan banyak variabel telah menghasilkan orang tertindas dan penindas yang hampir-hampir permanen tanpa memerlukan terus hadirnya colonized dan colonizer. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana cara memutus-kan diri dari belenggu masa lalu itu? Tentu saja tidak ada resep instan yang dapat digunakan.

    Salah satu cara adalah mema-hami secara benar perkembangan historis masyarakat perkebunan dari masa lalu hingga saat ini sebagai sebuah keberlanjutan struktural maupun kultural. Jika pemahaman itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi komunitas perkebunan untuk keluar dari warisan sejarah yang hanya menyenangkan segelintir anggotanya saja dan menyengsarakan sebagian besar yang lain.

    Berdasarkan penelitian terhadap sejarah ekonomi perkebunan rakyat di Jawa maupun di pulau-pulau lainnya pada masa kolonial, terdapat sebuah alur perkembangan yang berbeda dibandingkan dengan sejarah perkebunan besar.

    Jika selama ini dikatakan bahwa para pekebun kecil itu tidak rasional dalam mengusahakan perke-bunannya dan perkebunan kecil juga tidak mampu bersaing dengan perkebunan besar, sejarah perkebunan karet rakyat di Kalimantan, Palembang, Jambi, Sumatera Timur, dan Kaliman-tan Selatan misalnya memberi gambaran yang bertolak belakang. Para pekebun kecil itu ternyata mampu menimbulkan frustrasi berkepanjangan pada para pemilik perkebunan besar.

    Dalam banyak kenyataan memang kebun yang memiliki struktur dan sistem yang berbeda itu tidak mampu mendukung perubahan ekonomi secara structural. Namun satu hal yang sering dilupakan bahwa hal itu bukan karena kebun tidak kompetitif secara ekonomis, dan komunitas kebun tidak mampu menghasilkan keputusan-keputusan ekonomi yang rasional.
   
    Dari berbagai kajian yang telah dilakukan terbukti bahwa kebun merupakan korban dari perkebunan ketika para pemilik modal, penguasa dan kelompok-kelompok kepentingan luar lainnya ikut campur dalam proses produksi dan pasar. Kebun secara sistematis mengalami marginalisasi untuk membuka kesempatan kepada para pemilik modal besar atau untuk membangun citra politik penguasa. Padahal seperti juga pekarangan, kebun memiliki potensi ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat.
   
    Sayangnya, historiografi Indonesia tidak memberi tempat yang layak kepada historisitas kebun dan pekarangan berserta komunitasnya yang sebenarnya mampu menghadir-kan rakyat sebagai “pahlawan”, namun sebaliknya memberikan ruang yang sangat besar kepada perkebunan yang hanya menggambarkan rakyat sebagai korban dan “pecundang” dan secara langsung sekali lagi melegitimasi peran penting orang asing dalam sejarah Indonesia di masa kolonial seperti yang menjadi ciri utama kolonialsentrisme.

Sumber
-    Bambang Purwanto, “The Economy of Indonesian Smallholder Rubber, 1890s-1940”, J.Th. Lindblad, ed., Historical Foundation of a National Economy in Indonesia, 1890s-1990. (Amsterdam: KNAW, 1996).
-    Booth, Anne, Agricultural Development in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin, 1988.
-    Booth, Anne et al., ed., Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988.
-    Breman, Jan, Taming the Coolie Beast. New Delhi: Oxford University Press, 1989.
-    Elson, R.E., Javanese Peasant and the Colonial Sugar Industry. Impact and Change in an East Java Residency, 1830-1940. Singapore: Oxford University Press, 1984.
-    Houben, Vincent J.H., “Private Estates in Java in the Nineteenth Century. A Reaprisal”, J.Th. Lindblad, ed., New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia. Leiden: Programme of Indonesian Studies, 1993.
-    Houben, V.J.H., Thomas Lindblad, et al., Coolie Labour in Colonial Indonesia. A Study of Labour Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag, 1999.
-    Mubyarto et al., Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yogyakarta: Aditya Media, 1992.
-    Pelzer, Karl J., Toean Keboen dan Petani. Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
-    ---, Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Sinar Harapan, 1991.
-    Sartono Kartodirdjo & Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
-    Soegijanto Padmo, Tobacco Plantations and Their Impact on Peasant Society and Economy in Surakarta Residency:1860-1980s. Yogyakarta: Aditya Media, 1999.
-    Van der Eng, Pierre, Agricultural Growth in Indonesia Since 1880. Groningen: Universiteitsdrukkerij Rijkuniversitiet Groningen, 1993.

Sabang dan Nol Kilometer

    Kota Sabang adalah salah satu kota di Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Kota ini berupa kepulauan di seberang utara pulau Sumatera, dengan Pulau Weh sebagai pulau terbesar.

    Kota Sabang merupakan zona ekonomi bebas Indonesia, ia sering disebut sebagai titik paling barat Indonesia, tepatnya di Pulau Benggala. Kota Sabang sebelum Perang Dunia II adalah kota pelabuhan terpenting dibandingkan Temasek (sekarang Singapura). Sabang telah dikenal luas sebagai pelabuhan alam bernama Kolen Station oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1881.

    1887, Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan.

    Era pelabuhan bebas di Sabang dimulai pada tahun 1895, dikenal dengan istilah vrij haven dan dikelola Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station yang selanjutnya dikenal dengan nama Sabang Maatschaappij.

    Perang Dunia II ikut mempengaruhi kondisi Sabang dimana pada tahun 1942 Sabang diduduki pasukan Jepang, kemudian dibom pesawat Sekutu dan mengalami kerusakan fisik hingga kemudian terpaksa ditutup. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Sabang menjadi pusat pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh dari pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/MP/50.

    Semua aset pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia. Kemudian pada tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan UU No 10/1965 dan dirintisnya gagasan awal untuk membuka kembali sebagai Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas.

    Gagasan itu diperkuat dengan terbitnya UU No 3/1970 tentang Perdagangan Bebas Sabang dan UU No 4/1970 tentang ditetapkannya Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dan atas alasan pembukaan Pulau Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.

    Sabang dimatikan berdasarkan UU No 10/1985. Kemudian pada tahun 1993 dibentuk Kerja Sama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang membuat Sabang sangat strategis dalam pengembangan ekonomi di kawasan Asia Selatan.

    Tahun 1997 di Pantai Gapang, Sabang, berlangsung Jambore Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yang diprakarsai BPPT dengan fokus kajian ingin mengembangkan Sabang. Kemudian tahun 1998 Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang bersamasama KAPET lainnya, diresmikan oleh Presiden BJ Habibie dengan Kepres No. 171 tahun 1998 pada tanggal 28 September 1998.

    Era baru untuk Sabang, tahun 2000 terjadi Pencanangan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid di Sabang dengan diterbitkannya Inpres No. 2 tahun 2000 pada tanggal 22 Januari 2000. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2000 tanggal 1 September 2000 disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

    Aktivitas Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang pada tahun 2002 mulai berdenyut dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke kawasan Sabang. Tahun 2004 aktivitas ini terhenti karena Aceh ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer. Sabang juga mengalami Gempa dan Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, namun karena palung-palung di Teluk Sabang yang sangat dalam mengakibatkan Sabang selamat dari tsunami.

    Sabang dijadikan sebagai tempat transit udara dan laut yang membawa bantuan untuk korban tsunami di daratan Aceh. Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias menetapkan Sabang sebagai tempat transit untuk pengiriman material konstruksi dan lainnya yang akan dipergunakan di daratan Aceh.

Jembatan Barelang - Batam

Salah satu ikon wisata kota Batam adalah jembatannya yang tinggi dan megah, yaitu Jembatan Barelang yang juga berfungsi menghubungkan 3 pulau, yaitu Batam, Rempang dan Galang. Masyarakat setempat menyebutnya "Jembatan Barelang", namun ada juga yang menyebutnya "Jembatan Habibie", karena Habibielah yang memprakarsai pembangunan jembatan itu untuk menfasilitasi ketiga pulau yang dirancang untuk dikembangkan menjadi wilayah industri di Kepulauan Riau. Ketiga pulau itu sekarang termasuk Provinsi Kepulauan Riau, Kepri. 

    Jembatan ini merupakan rangkaian dari enam jembatan. Keenam jembatan itu memiliki nama yang diambil dari nama raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Melayu-Riau pada abad 15 sampai 18. 

    Pertama adalah jembatan Tengku Fisabilillah, yaitu jembatan yang menghubungkan P. Batam dengan P. Tonton dan memiliki lebar tinggi 642 x 350 x 38 meter.

    Kedua adalah jembatan Narasinga, yaitu jembatan yang menghubungkan P. Tonton dengan P. Nipah. Jembatan ini berbentuk lurus tanpa lengkungan dan memiliki panjang lebar tinggi 420 x 160 x 15 meter.

    Jembatan ketiga adalah jembatan Ali Haji yang menghubungkan P. Nipah dengan P. Setokok dan memiliki panjang lebar tinggi 270 x 45 x 15 meter.
    Keempat adalah jembatan Sultan Zainal Abidin, yang menghubungkan P. Setokok dengan P. Rempang dan memiliki panjang lebar tinggi 365 x 145 x 16.5 meter.
   
    Kelima adalah jembatan Tuanku Tambusai; menghubungkan P.Rempang dengan P. Galang dan memiliki panjang lebar tinggi 385 x 245 x 31 meter.

    Jembatan keenam adalah Jem-batan Raja Kecil yang menghubungkan P. Galang dengan P. Galang Baru dan memiliki panjang lebar tinggi 180 x 45 x 9.5 meter.

    Jembatan Barelang adalah salah satu objek wisata yang sering diidentikkan dengan Batam dan telah menjadi trade mark Pulau Batam.

(Sumber : vibzlife.com)

Sejarah Dasar Hukum Tata Ruang di Indoensia

Berdasarakan pada landasan konstitusional pasal 33 ayat (3) UUD 1945, TAP MPR No.1/MPR/1988 tentang GBHN memuat rencana pengembangan tata ruang nasional. Selanjutnya konsep tata ruang berdasarkan UUPA No. 5 Tahun 1960 yaitu Pasal 2, Pasal 14, dan Pasal 15.

Kemudian konsep hukum tata ruang di Indonesia tentang ketentuan kekayaan alam (bumi, air dan ruang angkasa), yaitu UU RI No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, UU RI No. 11 Tahun 1967 tetang Pertambangan, UU RI No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Lalu yang bersifat komprehensif dikaitkan dengan pembangunan, diatur dalam UU RI No. 4 Tahun 1982 tentang KKPPLH (UULH).
Kajian konsep hukum tata ruang Indonesia secara menyeluruh mengandung 4 (empat) konsep dasar :
1. Ruang sebagai tempat sumber daya alam (kekayaan alam)
2. Ruang sebagai konsep kewilayahan (yurisdiksi)
3. Ruang sebagai sistem pendukung kehidupan (ekosistem)
4. Ruang sebagai perwujudan hak-hak yang perwujudannya dilakukan oleh sistem kelembagaan (institusi)
Dengan berlakunya UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang menjadi landasan hukum peruntukan ruang.
(Dikutip dari Buku Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Hidup oleh Prof Dr. M. daud Silalahi, S.H. Penerbit Alumni 2001 Bandung Edisi ke-3, Edisi Revisi tahun 2001).

Dengan lahirnya UU RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai dasar hukum dari penatan ruang di Indonesia saat ini. Kemudian diatur Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 dengan Tujuan Penataan Ruang Wilayah Nasional sesuai dengan 

Pasal 2 :
Penataan ruang wilayah nasional bertujuan untuk mewujudkan :
a.    ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
b.    keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
c.    keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
d.    keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e.    keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam rangka pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang;
f.    pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat;
g.    keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah;
h.    keseimbangan dan keserasian kegiatan antar sektor; dan
i.     pertahanan dan keamanan negara yang dinamis serta integrasi nasional.

Selanjutnya diatur dalam Permendagri No. 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan.
(dikutip dari Buku Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Penerbit Fokusmedia Tahun 2008)

TATA RUANG INDONESIA

SOSIALISASI PERATURAN  PERUNDANG-UNDANGAN, PROGRAM PEMERINTAH SERTA  PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN

Peraturan Perundang-unadngan Wujud Harga Diri Bangsa Indonesia

Dari semua kesalahan, ada satu satu yang dicari, yaitu kebenaran hukum yang benar-benar dibutuhkan untuk menyelesaikan semua masalah.Penegakan aturannya secara adil, tidak pandang bulu, dan bersifat responsif.
Semua itu bergantung kepada kemauan kita untuk melaksanakannya secara murni dan konsekuen.




Niti Abdul Karim (Alm)
Pesan dari Niti Abdul Karim (Alm) / Sribawono Mataram Baru Lampung timur

Semasa hidupnya mengabdikan diri untuk Konsep Indonesia.  Beliau berpesan kepada Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia yang ditanyakan oleh Tim Penyusun : "Berkat Pertolongan Allah
Lanjutkan Pengisian dan Pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekwen..!!"

 








Isa Prawiranata, S.H
Beliau mengabdikan diri untuk Konsep Pendidikan dan membangun POLITEKNIK se-Indonesia (PEDC) dan POLITEKNIK POS Indonesia, dimasa pensiunnya masih memimpin yayasan POLITEKNIK BANDUNG. Berpesan kepada Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia yang ditanyakan oleh Tim Penyusun, Beliau berkata :

Kudu Jalan Euy...!!
yang dalam bahasa Indonesia nya Berarti  
"Harus Jalan, harus Maju"

MERAUKE - PAPUA

Dwight David Eisenhower, terlahir David Dwight Eisenhower (lahir di Denison, Texas, 14 Oktober 1890 – meninggal di Washington, D.C., 28 Maret 1969 pada umur 78 tahun), atau juga dikenal dengan nama panggilan "Ike", tentara dan politikus Amerika. Ia menjabat Presiden Amerika Serikat ke-34 (1953–1961). 




I Should Return (Jenderal David Dwight Eisenhower)

Merauke adalah kota paling selatan di Indonesia, yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Disebabkan oleh jaraknya yang dekat dengan Australia, sehingga terdapat kesamaan karak-teristik alam dataran kering. Di sekitar Merauke terdapat savana, pohon kayu putih dan kangguru mengingatkan kita kepada Benua Australia.
    Pohon Sagu, yang merupakan sumber kebutuhan pokok, tumbuh disekitar sungai dan rawa. Merauke sendiri sangat berdebu dan panas. Turis seringkali pergi ke Merauke untuk pergi ke Asmat dengan kapal dan pesawat atau melakukan perjalanan ke kali Bian dan kali Maro. Pada level air tertentu (air pasang), kali maro akan terhubung dengan Tanah Merah, dimana Belanda mengasingkan Soekarno sebagi tahan-an politik.   
    Daerahnya berada diwilayah rendah, berliku-liku dan banyak sungai dan perbukitan disebelah utara yaitu pegunungan Jayawijaya. Pada wilayah pesisir pantai, terdapat pohon bakau dengan pantai yang berlumpur. Merauke merupakan ibukota dari kabupaten merauke. Jumlah penduduk merauke terdiri dari 17 suku setempat dengan perbedaan bahasa dan kebu-dayaan. (www.merauke.go.id)

 APUSE

Apuse kokon dao
Yarabe soren doreri
Wuf lenso bani nema baki pase
Apuse kokon dao
Yarabe soren doreri
Wuf lenso bani nema baki pase
Arafabye aswarakwar
Arafabye aswarakwar



Yamko Rambe Yamko

Hee yamko rambe yamko aronawa kombe
Hee yamko rambe yamko aronawa kombe
Teemi nokibe kubano ko bombe ko
Yuma no bungo awe ade
Teemi nokibe kubano ko bombe ko
Yuma no bungo awe ade
Hongke hongke hongke riro
Hongke jombe jombe riro
Hongke hongke hongke riro
Hongke jombe jombe riro

Pulau Komodo / Pulau Naga

Pada tahun 1910 orang Belanda menamai pulau di sisi selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur ini dengan julukan Pulau Komodo. Letnan Steyn van Hens Broek yang mencoba membuktikan laporan pasukan Belanda tentang adanya hewan besar menyerupai naga di pulau tersebut. Steyn lantas membunuh seekor komodo tersebut dan membawa dokumentasinya ke Museum and Botanical Garden di Bogor untuk diteliti.

    Pulau Komodo adalah sebuah pulau yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara. Pulau Komodo dikenal sebagai habitat asli hewan komodo. Pulau ini juga merupakan kawasan Taman Nasional Komodo yang dikelola oleh Pemerintah Pusat. Pulau Komodo berada di sebelah barat Pulau Sumbawa, yang dipisahkan oleh Selat Sape.

Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pulau Komodo merupakan ujung paling barat Provinsi Nusa Tenggara Timur, berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

    Di Pulau Komodo, hewan komodo hidup dan berkembang biak. Hingga Agustus 2009, di pulau ini terdapat sekitar 1300 ekor komodo. Ditambah dengan pulau lain, seperti Pulau Rinca dan dan Gili Motang, jumlah mereka keseluruhan mencapai sekitar 2500 ekor. Ada pula sekitar 100 ekor komodo di Cagar Alam Wae Wuul di daratan Pulau Flores tapi tidak termasuk wilayah Taman Nasional Komodo.

    Selain komodo, pulau ini juga menyimpan eksotism flora yang beragam, kayu sepang oleh warga sekitar digunakan sebagi obat dan bahan pewarna pakaian, pohon nitak ini atau sterculia oblongata di yakini berguna sebagai obat, bijinya gurih dan enak seperti kacang polong.

(Berbagai Sumber)