Sabtu, 10 September 2011

KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA JAKARTA DALAM RANGKA PENGADAAN RUANG TERBUKA HIJAU

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini tengah gencar untuk menambah perluasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Meski sejak 10 tahun lalu RTH sudah ditetapkan 13,9% dari luas wilayah Jakarta, namun hingga kini belum dapat tercapai. RTH di Jakarta saat ini baru mencapai 9% dari luas wilayah ibukota 650 kilometer persegi. Selain itu juga banyak daerah resapan air atau RTH yang berubah fungsi menjadi perkantoran, pusat bisnis, perumahan, dan peruntukan lahan lainnya yang tidak sesuai dengan rencana tatakota. Upaya Pemprov DKI Jakarta tersebut bergayung sambut dengan telah disahkannya Undang-Undang nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ini, mengatur sistem penataan ruang secara menyeluruh. Yakni, mencakup perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Kewenangan penataan ruang itu diberikan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hampir semua daerah di Indonesia telah memiliki rencana tata ruang wilayah. Hanya, pengaturannya kurang terperinci dan sanksi yang diberikan lemah.
Seluruh rencana tata ruang, baik tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten, maupun Kota, harus dibuat untuk proyeksi 20 tahun. Salah satu ketentuan penting yang diatur undang-undang Penataan Ruang yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mengatur mengenai keberadaan ruang terbuka hijau (RTH).
Proporsi RTH pada wilayah kota ditetapkan paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. RTH itu terbagi atas ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau publik merupakan RTH yang dimiliki dan dikelola pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Hal itu meliputi taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Yang masuk ruang terbuka hijau privat adalah kebun atau halaman rumah atau gedung milik masyarakat atau swasta yang ditanami tumbuhan.
Besaran RTH publik itu paling sedikit 20% di antara luas wilayah kota, sedangkan untuk RTH privat paling sedikit 10%. Untuk memenuhi tuntutan keselarasan lingkungan hidup perkotaan yang telah dituangkan dalam UU penataan ruang tersebut, pemerintah hendaknya memulai dengan melibatkan berbagai pihak dalam penataan ruang kota.
Sedikitnya ada 4 pihak yang dapat dilibatkan dalam pelaksanaan pengelolaan ruang terbuka hijau kota Jakarta, yaitu: pertama, masyarakat kota yang berkepentingan terhadap tersedianya ruang terbuka hijau dengan berbagai fungsi lingkungannya (ekologis-nya); ke dua, masyarakat pendatang, yang cenderung memanfaatkan ruang terbuka hijau sebagai lahan tempat tinggal dan tempat usaha ekonomi; ke tiga, para pengusaha (swasta), sebagai pelaku yang melihat ruang terbuka hijau sebagai lahan yang kurang berfungsi dan berusaha memanfaatkannya dengan penggunaan peruntukan lain yang lebih ekonomis; dan pihak ke empat adalah media massa, yang dapat membantu untuk membentuk pandangan masyarakat terhadap fungsi dan manfaat serta keberadaan ruang terbuka hijau kota.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat mengajak keempat pihak tersebut untuk bersama-sama mewujudkan ruang terbuka hijau. Selain itu, tak kalah pentingnya juga adalah dengan memaksimalkan keberadaan Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota (DPKK) DKI Jakarta dalam peran dan fungsinya.
Dalam pengelolaan ruang terbuka hijau, DPKK DKI Jakarta semestinya ditunjang dengan anggaran yang memadai agar mereka tidak kedodoran dalam mengelola, merawat, dan memelihara ruang terbuka hijau di Jakarta. Untuk itu, sejak tahun 2000 telah dijajaki pengembangan pengelolaan ruang terbuka hijau dengan sistem kemitraan (public private partnership). Pengelolaan ruang terbuka hijau dengan pendekatan kemitraan masyarakat tersebut harus terus dikembangkan.
Hal penting yang perlu di ingat juga adalah membangun kerjasama antarwilayah, karena DKI Jakarta bagaimanapun tak dapat bergerak sendiri dalam menata tata ruang kotanya. Terakhir, tentang perizinan pemanfaatan ruang kota hendaknya diwujudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang. Izin yang dikeluarkan harus diatur dan diterbitkan pemerintah. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan konsep tataruang, baik yang dilengkapi izin maupun tidak berizin, harus dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan sanksi pidana denda dengan tegas. Semua itu demi mewujudkan kualitas hidup masyarakat kota Jakarta.
Awal tahun 2008 ini Jakarta diwarnai dengan penggusuran. Mulai dari penggusuran usaha Kaki-5 hingga pemukiman miskin. Argumentasi pemerintah kali ini berkait dengan “kebutuhan” akan adanya ruang terbuka Hijau (RTH) di Jakarta. Apabila bicara tentang Ruang terbuka Hijau, maka dapat dikatakan bahwa luas RTH di Jakarta saat ini belum sesuai dengan target sebagaimana diatur dalam RTRW 2010 di mana RTH ditargetkan sebesar 13.94% dari luas Jakarta atau sebesar 9.544 H.
Untuk “menutupi” angka tersebut maka Pemerintah DKI Jakarta melakukan serangkaian kebijakan, salah satunya adalah penggusuran, yang ditujukan untuk mengembalikan kembali RTH tersebut. Untuk tahun 2008, Dinas Pertamanan DKI Jakarta menargetkan penambahan ruang terbuka hijau (RTH) mencapai 4-5 hektare. Untuk penambahan RTH seluas itu, Dinas Pertamanan mengajukan anggaran pada Rancangan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) 2008 sebesar Rp 40 miliar.
Ada beberapa pola untuk memenuhi target penambahan RTH di DKI Jakarta yaitu: Mempertahankan RTH seperti taman atau lahan hijau yang sudah ada dan Membeli lahan hijau milik warga, meski luasnya tidak seberapa. Selain dua langkah tersebut, pemerintah DKI Jakarta juga mengambil langkah lain yaitu penggusuran. Penggusuran PKL dan juga pemukiman miskin, yang sering disebut sebagai pemukiman liar oleh Pemerintah.
Ketika kebutuhan akan RTH dirasakan sebagai kebutuhan bersama, seiring dengan fenomena banjir besar yang menenggelamkan Jakarta tiap tahunnya, perspektif untuk melihat mana yang penting menjadi kabur. Kebutuhan akan adanya RTH mengalahkan kebutuhan dasar warga untuk bermukim. Untuk memiliki tempat tinggal.
Dalam master plan DKI 1965-1985, RTH masih 27,6 persen. Kemudian proyeksi versi pemerintah pada tahun 1985-2005, RUTR DKI masih menyisakan RTH 26,1 persen. Tahun 2000-2010, menurut RUTR, DKI hanya memproyeksikan RTH 13 persen. Target RTH DKI pada tahun 2010 itu adalah 9.544 hektare. Padahal realisasi tahun 2003 hanya 7.390 hektare. Ini menunjukkan adanya eksploitasi besar-besaran terhadap RTH.
Dari data tersebut terlihat bahwa ini terjadi pada tahun 1997 dan mengalami peningkatan tajam pada tahun 1999-2001. Contoh alih fungsi yang tampak kasat mata adalah pembangunan apartemen di wilayah Selatan Jakarta, serta hutan kota di Cibubur yang dijual untuk dikonversi menjadi pembangunan kawasan komersial.
Selain dialokasikan untuk pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, dan jugakawasan komersil, RTH yang berwujud taman publik pun semakin berkurang jumlahnya. Alih fungsi RTH menjadi bangunan-bangunan apartemen, mall, pom bensin, dan pembangunan kawasan komersial menunjukan keberpihakan pemerintah kepada para pemodal. Dengan alasan pembangunan, “warna” peruntukan lahan bisa diubah-ubah. Yang semula hijau bisa menjadi kuning atau bahkan pink. Alih fungsi lahan pun terjadi. Keistimewaan bagi pemodal terus difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. Ketika banjir terjadi, Pemerintah Daerah justru mengalihkan sasaran tembak ke rakyat miskin kota yang bermukin di wilayah-wilayah yang dianggap ilegal oleh Pemerintah, seperti bantaran sungai dan kolong tol/jembatan, dan bukan kepada para pemodal yang dengan inventasinya telah mengokupasi RTH di wilayah Jakarta.
Pada kenyataannya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kesulitan menambah luasan ruang terbuka hijau (RTH) dan mengembalikan fungsi taman yang ada di Jakarta. Di DKI, banyak RTH yang sudah berubah fungsi menjadi pusat perdagangan, pusat bisnis, dan permukiman. Sementara taman-taman yang ada di DKI juga banyak dikuasai pedagang kaki lima (PKL). Warga tidak lagi memiliki ruang terbuka hijau untuk sekadar berekreasi dan berinteraksi.
Muhamad Dahroni, SH

AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) alam Sistem Hukum Lingkungan Di Indonesia dan Negara Asia Tenggara



Nama  Penyusun     YUDISTIRO, S.H., M.H.
Profesi                    :  Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung
Penerbit                  Pasundan Law Faculty Alumnus Press Bandung
Judul                       :  AMDAL (Analisis Mengenai Dampak  Lingkungan  Hidup) alam Sistem Hukum 
                                 Lingkungan Di  Indonesia dan  Negara Asia   Tenggara 
Kota Penerbit          :  Bandung
Bulan Tahun Terbit   :   Juli 2011
Jumlah Halaman      :  293 Halaman.         
ISBN                      :   978-979-16720-2-3.


AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.  (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup). Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perizinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perizinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan izin usaha/kegiatan. Seiring dengan era kemajuan pembangunan di segala bidang, banyak menyisakan bencana kerusakan lingkungan yang mencengangkan di Indonesia  ini. Seperti halnya dengan polusi dan kerusakan lingkungan di perkotaan dan pedesaan saat ini. Banjir, tanah longsor, erosi, pencemaran air, udara, dan berbagai kerusakan lainnya merupakan satu mata rantai yang dapat meruntuhkan keberlangsungan kehidupan manusia seutuhnya. Perubahan iklim lingkungan tersebut sangat terkait dengan menipisnya kesadaran dan kepedulian terhadap dampak negatif aktivitas manusia dan pembangunan yang semakin meningkat.
Penanganan dampak dengan program AMDAL itu hanya sebatas pada dimensi prosedural belaka. Tidak adanya keseriusan secara utuh bahwa institusi Negara maupun swasta yang menyelenggarakan pembangunan fisik seharusnya sadar dan penuh tanggung jawab terhadap konsekuensi logis akibat dari keberlanjutan aktivitas ekonomi tersebut. Kondisi ini akan menjadi permasalahan serius bagi perwujudan keberhasilan penanganan dampak lingkungan kalau terus dibiarkan. Indikator dari kondisi tersebut berawal dari kurang jelasnya konsep dan sinergisitas antara Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan swasta sebagai media pelaksana proyek dalam merumuskan kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan. Di lain hal faktor keikutsertaan seluruh stakeholder dalam proses penanganan dampak negatif maupun positif penyelenggaraan pembangunan tumpuan utamanya adalah masyarakat. Karena wujud dari tujuan pembangunan itu sendiri semata-mata demi kepentingan masyarakat luas.
Selama ini, Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sering dikesampingkan. Imbasnya berujung pada penanganan dampak lingkungan dari sebuah pembangunan infrastruktur, supra struktur. Dimana kepercayaan tingkat elit Pemerintah hanya melibatkan kaum pemodal (swasta) mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasannya yang kurang efektif dan tidak efisien. Artinya kesatuan hidup masyarakat dan lingkungannya seharusnya menjadi bagian terpenting subjek dari orientasi pembangunan sama sekali tidak mendapat posisi yang jelas.
Alhasil, dualisme tujuan antara pembangunan yang berwawasan manusia serta lingkungan hidupnya dan pembangunan yang berorientasi fisik dan ekonomi pasar. Ini menyebabkan realisasi penerapan AMDAL pada proyek pembangunan bersifat setengah hati dan tidak berpihak pada masyarakat dan lingkungan. Realitas sosial saat ini, banyaknya program AMDAL, Pemerintah melalui instansi-instansinya di seluruh Indonesia terkesan tidak sinergis dan koordinatif dengan kondisi riil di lapangan. Dokumen mengenai analisis dampak lingkungan yang mungkin masih dipertanyakan , apakah muncul dari hasil identifkasi, observasi maupun elaborasi yang kritis. Malahan makin diragukan tahap implementasinya bisa terealisasi dengan baik. Bias permasalahan mengenai arti dampak sosial pembangunan dapat memperparah kesatuan manusia dan lingkungan hidup sekitarnya. Artinya pembangunan keberlanjutan jangan sampai menistakan dampak sosial, kesehatan, dampak positif, dampak negatif yang secara fisik dan naluriah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan alam Nusantara.
Dalam Buku ini penyusun membandingan pelaksanaan AMDAL Di Indoneasia dan di beberapa negara Asia Tenggara seperti : Malaysia, Philipina dan Singapura. Dalam kesempatan ini, saya menyadari sepenuhnya bahwa uraian yang tedapat dalam buku ini masih terdapat kekurangan, kelemahan dan ketidak sempurnaan dalam pemaparan dan penyajiannya, sehingga sudah tentu akan mendatangkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak yang sangat diharapkan

Yudistiro, SH.MH

KERETAKAN TANAH ADALAH SALAH SATU BUKTI GERAKAN TANAH

Gambar keretakan tanah 1

Gambar keretakan tanah
Sesuai dengan UURI No 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 bahwa : “Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain,”
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hokum,” Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal.
AMDAL adalah kajian analisis mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.” Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan,” Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Tanah secara umum merupakan suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat, cair, gas, dan mempunyai sifat serta perilaku yang dinamik. Tanah merupakan akumulasi tubuh alam yang bebas yang menduduki sebagian besar permukaan bumi dan mempunyai sifat-sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan organisme yang bekerja pada batuan induk pada relief tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Dari berbagai unsur yang terkandung, tanah merupakan unsur yang penting dalam Geografi.Kerusakan tanah salah satunya terjadi sebagai dampak negatif pembangunan. Dampak kerusakan tanah tersebut merupakan masalah bagi pembangunan yang pada akhirnya akan mempengaruhi jalannya proses pembangunan itu sendiri.
Kerusakan tanah secara garis besar terjadi oleh pengaruh proses erosi, penjernihan tanah, kehilangan unsur hara, serta terakumulasinya zat pencemar dalam tanah. Proses-proses tersebut terjadi diantaranya dipicu oleh adanya pembangunan yang tidak memperhatikan segi lingkungan.Kerusakan tanah terjadi sebagai akibat eksplorasi lahan yang tidak terkontrol dan kurang memperhatikan unsur lingkungan guna mendukung jalannya pembangunan.
Pembangunan dalam realitanya sering kali lebih mengutamakan nilai ekonomis dan mengabaikan aspek lingkungan. Secara lebih lanjut pembangunan berjalan ekspansif, diantaranya menyangkut segi pemanfaatan ruang / lahan. Dalam pemanfaatannya sering kali aspek tata guna lahan yang sesuai dan seimbang terabaikan sehingga pada akhirnya akan menimbulkan terganggunya kestabilan ekosistem alam dan permasalahan lingkungan, diantaranya kerusakan dan pencemaran tanah serta keretakan tanah.Terjadinya kerusakan tanah merupakan akibat proses alam yang berjalan tidak seimbang sehingga bersifat destruktif.
Ketidakseimbangan tersebut muncul salah satunya dipengaruhi oleh adanya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dan tidak terkendali. Pembangunan gedung-gedung serta infrastuktur lain di daerah peresapan / tangkapan hujan serta pembangunan infrastruktur di daerah buffer yang melebihi kapasitas maksimal kepadatan,hal ini akan berujung pada dampak terjadinya banjir dimana air hujan yang seharusnya dapat meresap terhalang dan menjadi suatu aliran permukaan.
Terjadinya banjir tersebut pada akhirnya akan menimbulkan erosi yang pada akhirnya akan membawa dampak pada kerusakan tanah. Sebagai contoh kasus pembangunan vila-vila, dan infrastruktur lain di daerah dataran tinggi, serta pertambangan yang sudah berlebihan dengan menggunakan bahan peledak ini bisa menimbulkan getaran yang menyebabkan terjadinya  keretakan tanah.
Eksplorasi lahan yang tidak terkendali menyangkut pembukaan lahan hutan secara tidak terkendali guna mendukung pembangunan infrastruktur serta kepentingan industri, pada akhirnya akan menimbulkan terganggunya kestabilan ekosistem alam yang berujung pada kerusakan lingkungan diantaranya juga kerusakan tanah,sebagai contoh pembuatan jalan tol lingkar Nagreg yang pembuatannya dengan cara membelah gunung dan membuka lahan hutan.Beberapa ulah manusia yang baik secara langsung maupun tidak langsung membawa dampak pada kerusakan lingkungan hidup antara lain :
  1. Penebangan hutan secara liar (penggundulan hutan).
  2. Perburuan liar.
  3. Merusak hutan bakau.
  4. Penimbunan rawa-rawa untuk pemukiman.
  5. Pembuangan sampah di sembarang tempat.
  6. Bangunan liar di daerah aliran sungai (DAS).
  7. Pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan di luar batas.
Mengacu pada UURI no 32 tahun 2009 pasal 3 tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah :
  1. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
  2. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
  3. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
  4. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
  5. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
  6. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
  7. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
  8. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
  9. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
  10. mengantisipasi isu lingkungan global.
Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.
Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) adalah salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang amdal.
KUS/TRI