Selasa, 23 Agustus 2011

Eksistensi Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945





Sejak bulan April tahun 1967 Freeport telah memulai kegiatan eksplorasinya di Papua yang diperkirakan mengandung cadangan bijih emas terbesar di dunia sebanyak 2,5 miliar ton melalui Kontrak Karya I. Sepanjang tahun 1998, PT Freeport Indonesia menghasilkan agregat penjualan 1,71 miliar pon tembaga dan 2,77 juta ons emas (Lihat : Sabili edisi 16/Februari/2006). Tahun 1992 hingga 2002 Freeport memproduksi 5,5 juta ton tembaga, 828 ton perak dan 533 ton emas (Lihat : Catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Alam). Dengan penghasilan itu Freeport mengantongi keuntungan triliunan rupiah sepanjang tahun.
    Tahun 1973 PT. Freeport yang dulunya perusahaan tambang kecil berhasil mengantongi perolehan bersih US$ 60 juta dari tembaga yang ditambangnya itu. Itu belum termasuk hasil tambang ikutannya seperti emas, perak, dan yang lainnya. Itu juga belum ditambah penemuan lokasi tambang baru (tahun 1988) di Pegunungan Grasberg yang mempunyai timbunan emas, perak, dan tembaga senilai US$ 60 juta miliar.
    Pencemaran lingkungan dari hasil penambangan oleh Freeport telah menghasilkan galian berupa potential acid drainase (air asam tambang) dan limbah tailling (butiran pasir alami yang halus hasil pengolahan konsentrat). Sehari-hari Freeport memproduksi tidak kurang dari 250 ribu metrik ton bahan tambang. Material bahan yang diambil hanya 3%-nya. Inilah yang diolah menjadi konsentrat yang kemudian diangkut ke luar negeri melalui pipa yang dipasang ke kapal pengangkut di Laut Arafuru.
    Sisanya, sebanyak 97% berbentuk tailing. Akibatnya, sungai-sungai di sana tidak lagi disebut sungai karena berwarna coklat lumpur tempat pembuangan limbah tailing. Limbah Freeport juga telah menghancurkan fenetasi hutan daratan rendah seperti yang terjadi di Dusun Sagu, masyarakat Kamoro di Koprapoka, dan beberapa dataran rendah di wilayah Timika. Selain itu, Danau Wanagon pernah jebol dan menelan korban jiwa karena kelebihan kapasitas pembuangan dan terjadinya perubahan iklim mikro akibat penambangan terbuka.
    Sebuah lembaga audit lingkungan independen Dames & Moore melaporkan pada tahun 1996 dan disetujui oleh pihak Freeport bahwa ada sekitar 3,2 miliar ton limbah yang bakal dihasilkan tambang tersebut selama beroperasinya. Faktanya, telah terjadi pencemaran dan linkungan baik hutan, danau dan sungai maupun kawasan tropis seluas 11 mil persegi.
    Dampak sosial dari keberadaan Freeport tidak bisa dipandang remeh. Berlimpahnya dana yang beredar di sana justru melahirkan bisnis prostitusi. Sebagai misal di Timika, kota tambang Freeport, sebagaimana hasil investigasi sebuah LSM, disebutkan bahwa Timika adalah kota dengan penderita HIV/AIDS terbanyak di Indonesia (Lihat: Sabili, edisi 16/Februari/2006).

Freeport dalam Kontrak Karya
    Kontrak Karya yang menjadi payung hukum bagi beroperasinya Freeport Indonesia. Bagaimana tidak? Kontrak Karya tersebut hanya mencan-tumkan soal tembaga saja, Sementara emas, perak, dan yang lainnya tidak disebut secara definitif. Akibatnya, nilai keuntungan hasil penjualan hasil tambang selain tembaga yang justru lebih besar lagi nilainya tidak pernah dihitung. Padahal secara geologis tembaga, emas, perak, dan tambang penting lainnya tidak bisa dipisahkan. Belum lagi dalam Kontrak Karya tersebut sama sekali tidak dicantumkan  kewajiban Freeport untuk menangani tailling.
    Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3) adalah : Bumi, Air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
    Kata dikuasai dalam pasal ini, didalam hukum perdata dikenal tentang hak-hak kebendaan tentang Bezit dan Eigendom (diambil dari Buku Pokok-Pokok Hukum Perdata oleh Prof. Subekti S.H). Bezit adalah Suatu keadaan lahir , dimana seseorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Kata Bezit berasal dari perkataan “zitten” sehingga secara letterlijk berarti “menduduki”. Untuk bezit diharuskan adanya dua anasir, yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk memiliki benda tersebut.
    Dari bezit harus dibedakan “detentie”, dimana seorang menguasai suatu benda berdasarkan suatu hubungan hukum dengan seorang lain, ialah pemilik atau bezziter dari benda itu. Pada seorang “detentor” (misalnya seorang penyewa) dianggap bahwa kemauan untuk memiliki benda yang dikuasainya itu tidak ada.
    Sedangkan Eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Seorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar Undang-Undang atau hak orang lain. Memang dahulu hak eigendom dipandang sebagai sungguh-sungguh “mutlak”, dalam arti tak terbatas, tetapi dalam zaman terakhir ini di mana-mana timbul pengertian tentang asas kemasyarakatan hak milik itu dengan menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Kita sudah tidak dapat berbuat sewenang-wenang lagi dengan hak milik Kita sendiri. Sekarang suatu perbuatan yang pada hakekatnya berupa suatu pelaksanaan hak milik dapat di pandang sebagai berlawanan dengan hukum, jika perbuatan itu dilakukan dengan tiada kepentingan yang patut, dengan maksud semata-mata untuk mengganggu atau sebagai suatu “misbruik van recht”.

Landasan Hukum Kontrak Karya (Menurut H. Salim., S.H.,M.S. dalam Buku Hukum Pertambangan di Indonesia Edisi Revisi)
    Kegiatan usaha pertambangan merupakan kegiatan yang syarat dengan investasi. Tanpa adanya in-vestasi  yang besar, usaha pertambangan umum tidak mungkin akan dapat dilakukan secara besar-besaran. Oleh karena itu, peraturan yang mengaturnya erat kaitannya dengan undang-undang investasi. Peraturan perundangan-dangan yang mengatur tentang kontrak karya, dapat dilihat dan dibaca pada berbagai peraturan perundang-undangan berikut ini :
1.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing Jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal asing;
Undang-Undang ini ditetapkan pada tanggal 10 Januari 1967. Undang-undang ini terdiri atas 13 Bab dan 31 pasal. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi pengertian penanaman modal asing, bentuk usaha modal asing, tenaga kerja, pemakaian tanah, kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungut-an lain, jangka waktu penanaman modal asing, hak transfer dan repatriasi, nasionalisasi dan kom-pensasi, kerja sama modal asing modal nasional, kewajiban-kewa-jiban lain bagi penanaman modal asing, ketentuan-ketentuan lain, dan ketentuan peralihan. Keten-tuan-ketentuan yang berkaitan dengan kontrak karya dapat kita baca dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang penanaman Modal Asing, yang berbunyi sebagai berikut :
(1)    Penanaman modal asing di bidang pertambangan dida-sarkan pada suatu kerja sama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)    Sistem kerja sama atas dasar kontrak karya atau dalam bentuk lain dapat dilak-sanakan dalam bidang-bidang usaha lain yang aklan diten-tukan oleh pemerintah.
Apabila kita perhatikan ketentuan ini, kerja sama dalam bidang pertambangan dapat dilakukan dalam bentuk kontrak karya, dan lainnya.
2.    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam negeri Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
3.    Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 yang berbunyi sebagai berikut.
(1)    Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaaj-pekerjaan yang belum atau tidak dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintahan atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan.
(2)    Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud dalam ayat(1) pasal ini Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara harus berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang diberikan oleh menteri.
(3)    Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini mulai berlaku sesudah disahkan oleh pemerintah setelah berkon-sultasi dengan Dewan Perwakilan rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a sepanjang mengenai bahan-bahan galian yang ditentukan dalam Pasal 13 undang-undang ini dan atau yang perjanjian kerjanya berbentuk penanaman modal asing.
   
    Ada tiga hal yang diatur dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok pertambangan, yaitu :
a.    Pemerintah/menteri dapat menun-juk kontraktor untuk melaksa-nakan pekerjaan yang berkaitan dengan eksplorasi maupun ekspoitasi;
b.    Perjanjian dituangkan dalam bentuk kontrak karya; dan
c.    Momentum perjanjian setelah disahkan oleh pemerintah.
    Dalam penjabaran lebih lanjut dari undang-undang itu dituangkan dalam berbagai Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Men-teri, Keputusan Menteri, dan peraturan lainnya. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Poko Pertambangan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pleaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Keten-tuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, serta Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral  Nomor 1614 Nomor 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya Perusahaan Pertambangan Batubara dalam Rangka Penanaman Modal Asing.




FREEPORT - PAPUA
Merupakan penghasil terbesar konsentrat tembaga dari bijih mineral yang juga mengandung emas dalam jumlah yang berarti. Dunia membutuhkan tembaga yang kami hasilkan guna menopang dan menumbuhkan ekonomi.
Bahwa kebutuhan ekonomi tersebut perlu diimbangi dengan kebutuhan sosial dan lingkungan hidup, sehingga dalam memenuhi tuntutan generasi masa kini, tidak mengganggu kesinambungan kehidupan generasi di masa datang. Hal ini merupakan inti dari konsep pembangunan berkelanjutan yang dilakukan.
Dengan berkarya guna mencapai pembangunan berkelanjutan dalam kegiatan dan program usaha, kami ikut menjamin lingkungan hidup dan masyarakat yang sehat di wilayah kerja kami dan masyarakat di sekitar kami, yang menjadi sangat penting bagi keberhasilan di masa depan.


Dari LKTRI : Dengan lahirnya UU RI No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU RI No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU RI No. 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU RI No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, semua harus diharmonisasi dan disinkronisasikan didalam perjanjian pengelolaannya.

PETERNAKAN SAPI LEMBANG

Peternakan Sapi 




(saran dari Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia)
PERDA RUTR yang menyangkut masalah Peternakan diharapkan isinya memuat  jarak kandang hewan ternak dengan penduduk, kesehatan ternak, dekat dengan dokter hewan, serta limbah hewan ternak agar tidak dibuang langsung ke saluran air yang bermuara ke sungai, tetapi dapat di daur ulang kembali menjadi pupuk dan gas bio yang dapat dimanfaatkan. Hal ini harus ada pengawasan dari Dinas atau Instansi terkait, sehingga kesehatan masyarakat terjamin sesuai dengan amanah UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

untuk melihat UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Klik di sini

Pasca Longsor TPA Leuwigajah

TPA Leuwigajah



Harus ada kerjasama dari semua pihak yang terkait dalam mengembalikan Tata Ruang dan fungsi lahan bekas lahan pembuangan sampah agar dapat ditanami serta menjadi asri kembali. /LKTRI





BAB III
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG


Pasal 5
Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Pasal 6
Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan;
b. pelindungan masyarakat dari dampak bencana;

c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.
Pasal 7
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah;
d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain;
e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana;
f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala nasional.
(2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat indikator yang meliputi:
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan presiden.
Pasal 8 
Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b. pelindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan belanja daerah yang memadai.
Pasal 9 
Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
c. pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;
d. pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya;
e. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan
f. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala provinsi, kabupaten/kota.

PERKEBUNAN PERCOBAAN MANOKO

Kelanggengan alam membutuhkan kelestarian
Sesuai dengan  Q.S. An-Nahl ayat 44

Perkebunan Manoko Lembang - Bandung Barat

H. Adnan Firdaos
   Segala Puji bagi Allah, Dzat yang Maha Mencukupi, Shalawat dan Salam semoga dilimpahkan kepada Muhammad SAW, dan kepada sanak keluarga serta para Sahabat dari mereka yang benar Imannya dan setia dalam perjuangan.
    Dalam Hal ini Allah menciptakan alam untuk kelestarian hidup manusia, mereka harus bersyukur pada penciptanya.
   Dari yang sudah direncanakan oleh pemerintah Sebagai Masterplane dan sudah dikukuhkan dalam peraturan sebagai bahan penjelasan bagi semua pihak
    Kelanggengan Alam butuh kelestarian untuk diketahui generasi yang akan datang, meski beranekaragam suku bangsa dan Agama yang berbeda, tetapi kita tetap berada di alam dunia yang sama demi terjalinnya persatuan dan kesatuan bangsa untuk menjaga kelestarian alam. (oleh : H. Adnan Firdaos)

Penambangan Citatah Harus Perhatikan Tata Ruang Lingkungan

Citatah Kabupatan Bandung Barat


Lokasi Penambangan - Citatah (Kabupaten Bandung Barat


Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia :
Perlu adanya PERDA yang mengatur tentang Pengelolaan Pertambangan Umum yang mengacu pada UURI No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan diharmonisasikan dengan UURI No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UURI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lngkungan Hidup. Karena pasca explorasi dan exploitasi pertambangan daerahnya akan dijadikan apa..? juga harus mengatur batas kedalamannya. Di beberapa daerah lain, bekas tambang di Indonesia ditinggalkan dalam keadaan rusak parah.

Candi Cangkuang

CANDI CANGKUANG
Garut Kota Intan
Dari LKTRI :
Bukti Penataan Ruang masa lalu sudah mencerminkan Ruang terbuka hijau sebagaimana amanah UU RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang khususnya masalah  kawasan Pasal 1 butir 21 : Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian  lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.