Jumat, 26 Agustus 2011

SUKU DAYAK KANAYATAN


Suku Dayak dikatakan sebagai salah satu kelompok etnis tertua di Kalimantan. Menurut mitos, nenek moyang orang Dayak berasal dari Kalimantan. Catatan sejarah tentang orang Dayak sebelum tahun 1850 sebenarnya sangat nihil, dan orang Dayak Kanayatan sendiri hanya mempunyai sejarah lisan. Ada beberapa hipotesis dari para ahli, seperti dari Kern dan Bellwood yang menunjukkan bahwa orang pada zaman sekarang di Nusantara mungkin berasal dari Yunan, Tiongkok yang datang ke Nusantara secara bergelombang beberapa milenium sebelumnya.
Pada tahun 1938 ditemukan tengkorak Homo Sapiens yang berumur sekitar 38.000 tahun di salah satu gua di Niah, yang terletak di pantai utara Sarawak. Tengkorak itu mirip tengkorak suku Dayak Punan pada zaman sekarang (Avé 1996 : 6).
Menurut Sellato (2002 : 128) aktivitas orang Dayak sebenarnya beradaptasi dengan lingkungannya dan juga tergantung sosialisasi dengan suku tetangganya. Dia berpendapat bahwa kelompok nomaden, hunter and gathers, yang tinggal di pelosok secara pindah-pindah, dan juga tinggal jauh dari kelompok lain mereka senantiasa berswadaya.
Kelompok Dayak lain juga beradaptasi dengan lingkungannya tetapi mereka tidak berswadaya secara menyeluruh seperti kelompok yang disebut di atas. Ada juga kelompok ketiga, yang berasimilasi total dengan pendatang baru, mereka tetap bertani dan membudidayakan binatang-binatang tertentu dan mungkin juga mengadopsi bahasa dari imigran sekitarnya.
Bahasa Dayak menurut para ahli linguistik diklasifikasikan seba-gai Malayo Polynesia dari keluarga bahasa Austronesia (www.ethno-logue.com : 2004). Menurut hipotesis Adelaar, Borneo dilihat sebagai homeland, daerah asal, bahasa Malay(ic) (Adelaar 2004 : 4). Ada ahli bahasa lain yang berpendapat bahwa homeland bahasa Malayic berada sekitar 100 kilometer dari hulu sungai Sambas, tetapi pendapat itu harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena belum cukup data yang mendukung hipotesis itu, menurut Adelaar.
Walaupun ada persamaan keluarga bahasa, namun tidak harus memiliki persamaan etnis. Belum cukup temuan arkeologis yang didapat untuk membuktikan asal usul orang Dayak. Hipotesis-hipotesis dan tulisan tersebut di atas hanya mengindikasikan bahwa suku Dayak sudah lama berada di Kalimantan.
Tampaknya sekitar abad ke-11 suku Melayu masuk (atau kembali) ke Sambas, Mempawah, Sanggau, Sintang dan kemudian menyebar ke tempat lain. Menurut pendapat umum agama Islam menyebar ke Kalimantan sekitar abad ke-15. Ini menunjukkan bahwa Islam masuk setelah orang Melayu dan Jawa membawa unsur-unsur agama Hindu dan budaya dari zaman Sriwijaya dan juga dari zaman Majapahit ke Kalimantan.
Salah satu Kerajaan Hindu tertua di Kutai didirikan sekitar abad keempat, tepatnya di Kalimantan Utara. Disebutkan bahwa di candi Borobudur ada gambar laki-laki dengan telinga panjang yang sepertinya menggunakan sumpit yang panjang. Relief ini mungkin melukiskan orang Dayak (Avé 1986 : 13). Menurut Kühr (1995 : 53) dewa-dewi orang Dayak yang tinggal di pinggir sungai Kapuas, sebenarnya diberi nama dewa-dewi Hindu-Jawa yang didayakkan seperti; Petara (Batara), Jubata (Déwata) dan Sengiang (Sang Hyang).
Di samping back migration (merantau kembali) orang Melayu, etnis Tionghoa berlayar ke pantai Asia Timur pada abad ketiga untuk perdagangan dan kembalinya melalui Kalimantan dan Filipina dengan memanfaatkan angin musim. Etnis Tionghoa adalah kelompok yang cukup penting dalam sejarah Kali-mantan, sehingga sejarah mereka penting disorot.
Sekitar abad ketujuh orang Tionghoa mulai menetap di Kali-mantan tetapi mereka tetap bercorak Cina dan hubungan dengan negeri leluhur mereka selalu dipelihara. Pada tahun 1292 pasukan Kubilai Khan dalam perjalanannya untuk menghukum raja Kertanegara dari Majapahit di Jawa singgah di pulau Karimata yang terletak tidak terlalu jauh dari Pontianak. Kawasan tersebut termasuk jaringan lalu lintas rute pelayaran dari daratan Asia ke Asia selatan.
Pasukan Tartar dari Jawa menderita kekalahan total dalam pertempuran dengan pasukan Kubilai Khan. Ada kemungkinan bahwa sebagian besar pasukannya lari dan menetap di Kalimantan karena mereka takut dihukum oleh pejabat Kubilai Khan yang masih ada di Jawa.
Agama Islam di Kalimantan juga ikut disebarkan oleh orang Tionghoa. Pada tahun 1407 berdiri perkumpulan masyarakat Tionghoa Hanafi yang menganut Islam di Sambas. Laksamana Cheng Ho seorang Hui adalah penganut Islam dari Yunan yang atas perintah Cheng Tsu dan anak buahnya masuk untuk menguasai daerah tersebut. Dia menetap di sana dan menikah dengan penduduk setempat, serta menye-barkan agama Islam kepada pen-duduk lokal.
Pada tahun 1609 Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang aktif dari tahun 1602-1799 menjalin peniagaan dengan kerajaan Sambas, yang pada waktu itu masih di bawah kedaulatan kerajaan Johor. Dalam waktu yang relatif pendek perselisihan terjadi dan beberapa orang Belanda dibunuh oleh masya-rakat Sambas. Pada tahun 1612 tindakan pembalasan oleh VOC terjadi, sebuah kampung di Sambas juga dibakar.
Pada abad ke-17 sudah ada dua rute laut dari Cina melalui Indo-Cina ke Nusantara. Pertama yang terus ke Malaya dan pantai Sumatra Timur lalu ke Bangka-Belitung serta pantai Kalbar, terutama Sambas dan Mempawah. Rute laut kedua melalui Borneo Utara terus ke Sambas dan pedalaman Sambas dan Mempawah Hulu.
Pada tahun 1745 gelombang besar masyarakat Tionghoa datang dengan persetujuan Sultan Sambas untuk membuka tambang-tambang emas. Pada waktu itu sepertujuh produksi emas dunia diperkirakan berasal dari Kalbar. Orang Tionghoa membentuk kongsi di Montrado dan di Mandor, kongsi itu semakin lama semakin kuat. Perkongsian itu menetap di daerah tersebut dan wajib membayar upeti kepada sultan Melayu.
Pembayaran itu menga-kibatkan sultan memberi izin kepada orang Tionghoa untuk mengatur daerah sendiri, seperti urusan pemerintahan lokal dan punya pengadilan sendiri. Orang Dayak yang tidak merasa cocok dengan kekuatan orang Tionghoa berpindah ke luar daerah kekuasaan kongsi tersebut.
Gelombang perantau baru dari Tiongkok masuk karena hidup di Kalimantan aman dan ada cukup kesempatan untuk mencari emas, intan, perak dan juga karena tanahnya cukup subur. Pada tahun 1777, orang Tionghoa dari suku Tio Ciu dan suku Khe yang mencari emas di Mandor dan Montrado mendirikan Republik Lan Fong di Mandor, enam tahun setelah kota Pontianak didirikan.
Pada umumnya hanya laki-laki Tionghoa yang merantau, ini dikarenakan mereka cepat berbaur dan bisa memperistri wanita Dayak atau Melayu. Kelompok Tionghoa cepat berkembang sehingga jumlah mereka mencapai 30.000 jiwa. Pada waktu itu, setelah mereka berkembang mereka berani melawan pemerintahan sultan. Beberapa pertempuran terjadi antara kongsi-kongsi dan pangeran dari Sambas.
Pada tahun 1818 bendera Belanda dikibarkan di Sambas dan atas alasan perjanjian Belanda dengan Sultan, kepala-kepala Tionghoa sebenarnya berada di bawah kekuasaan Belanda. Setelah beberapa pertempuran berat terjadi, kekuasaan kongsi-kongsi Tionghoa dibubarkan di seluruh daerah Kalimantan Barat dan Republik Lan Fong Mandor yang berkuasa selama 107 tahun dan Republik Montrado yang berkuasa selama 100 tahun diakhiri (Lontaan 1975 : 256).
Sekitar 18 bulan setelah G30S meletus di Jawa, yang menyebabkan Soeharto menjadi pemimpin Indonesia, orang Dayak mengusir sekitar 45.000 jiwa Tionghoa dari pelosok dan membunuh ratusan jiwa Tionghoa, sebagai aksi politik untuk mengimbangi masalah pada zaman dahulu (Schwarz 2004 : 21). Dari tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial mempengaruhi kehidupan orang Dayak, dan juga bahwa sejarah orang Tionghoa, Melayu dan Dayak sangat terjalin.
Apa yang sudah disebutkan di atas, orang Melayu masuk dari Sumatra dan dari Semenanjung Malaka sekitar abad ke-11 atau ke-12 dan berbaur dengan orang Dayak. Pada umumnya mereka mendiami daerah  pinggir laut dan menjadi perantara orang luar dan orang Dayak yang ingin menukar atau menjual hasil hutan.
Orang Melayu juga berbaur dengan keturunan orang Jawa yang sudah masuk sebelumnya. Seorang Ratu dari keturunan Hindu Majapahit yang memerintah daerah Sambas pindah ke agama Islam untuk memudahkan perniagaan dan mengembangkan hubungan baik dengan Johor dan Brunei yang sudah masuk Islam. Dewasa ini istilah Melayu digunakan sebagai kontras Dayak dengan Melayu. Istilah Melayu tidak digunakan sebagai referensi etnis tetapi sebagai referensi Islam kontras non-Islam.
Peningkatan jumlah besar orang Melayu di Kalimantan dise-babkan oleh orang asli atau Dayak yang memeluk Islam dan bukan karena jumlah besar orang Melayu yang merantau ke Kalimantan. Orang Dayak yang memeluk Islam tidak berarti bahwa mereka selalu memeluk secara penuh tetapi mungkin hanya secara nominal.
Pada zaman dahulu, orang Dayak yang tidak mau dikuasai oleh suku lain terdesak dari pantai ke pedalaman Kalbar. Tergantung kekuatan suku Dayak tertentu, mereka membayar upeti atau tidak.
Upeti dibayar dalam bentuk hasil hutan kepada sultan yang dibawa dengan sampan oleh pedagang Melayu ke hilir, ke pusat perdagangan di pinggir laut. Ada juga suku Dayak yang bertahan yang disebut “Dayak merdeka” dan mereka tidak dikuasai langsung oleh kerajaan Melayu pada zaman dahulu.
Aktivitas perniagaan menye-babkan aspek baru muncul seperti pembayaran dengan uang atau mem-bayar dengan kredit atau pinjaman dengan jaminan. Institusi sejenis “budak hutang” (pandeling) muncul sebagai jaminan diri sendiri terhadap hutang yang ada, setelah mendapat barang perniagaan tanpa menukar dengan duit atau barang hasil hutan (Mallinckrodt 1928 :136).
Selama “budak hutang” tidak mengembalikan hutangnya atau tidak mampu melunasi, dia dipaksa kerja untuk orang yang memberi pinjaman atau kreditor. Pada tahun 1892 secara resmi diundangkan penghapusan sistem perbudakan (King 1978 : 27).
(sumber : Makalah Studi Lapangan oleh Johan Weintre : Beberapa Penggal Kehidupan Dayak Kanayatan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar