DAS Citarum mempunyai peranan penting dalam mendukung aktivitas ekonomi di Propinsi JawaBarat dan DKI Jakarta. Selain menjadi sumber pemenuhan kebutuhan air untuk sektor irigasi, industri dan air bersih, DAS Citarum juga memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan energi listrik. Sungai Citarum dengan tiga bendungan (DAM) telah menjadi tulang punggung produksi energi listrik untuk memenuhi kebutuhan penduduk Jawa dan Bali. Peranan dan potensi pemanfaataan yang cukup besar dari DAS Citarum tersebut belum didukung oleh upaya-upaya yang optimal untuk menjaga keberlanjutan pasokan air di masa yang akan datang.
Terjadinya kerusakan lingkungan, terutama di daerah hulu sungai Citarum, telah menyebabkan terjadinya penurunan kuantitas pasokan air. Padahal DAS Citarum merupakan satu wilayah sungai yang paling tereksploitasi di Propinsi Jawa Barat. Beban berat yang harus ditanggung oleh DAS Citarum ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi dan pesatnya perkembangan penduduk di wilayah yang dilaluinya. Kedua faktor ini menyebabkan beban permintaan air Citarum oleh sektor-sektor pengguna mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ketahun. Besarnya tingkat penggunaan air Citarum tersebut telah diikuti oleh ekternalitas negatif berupa pencemaran, sehingga kualitas pasokan air menjadi menurun. Beberapa temuan penting dari penelitian ini antara lain:
Sedimentasi Sungai Citarum akibat lahan kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu mencapai empat juta ton per tahun. Selain menyebabkan banjir di sejumlah wilayah di Kab. Bandung, tingginya sedimentasi pada aliran Sungai Citarum juga mengancam tiga waduk utama di Jawa Barat, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur. Laju degradasi kawasan hutan di DAS Citarum Hulu telah melebihi upaya rehabilitasi yang dilakukan sejumlah pihak. Upaya penghijauan tidak sepadan dengan luasnya lahan kritis yang menyebabkan sedimentasi di Sungai Citarum, ada baiknya apabila ungkapan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kab. Bandung pada rapat penanganan DAS Citarum Hulu bulan Juni kemarin bahwa luas lahan kritis di Kab. Bandung saat ini tercatat 22.076,68 hektare.
Terjadinya kerusakan lingkungan, terutama di daerah hulu sungai Citarum, telah menyebabkan terjadinya penurunan kuantitas pasokan air. Padahal DAS Citarum merupakan satu wilayah sungai yang paling tereksploitasi di Propinsi Jawa Barat. Beban berat yang harus ditanggung oleh DAS Citarum ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi dan pesatnya perkembangan penduduk di wilayah yang dilaluinya. Kedua faktor ini menyebabkan beban permintaan air Citarum oleh sektor-sektor pengguna mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ketahun. Besarnya tingkat penggunaan air Citarum tersebut telah diikuti oleh ekternalitas negatif berupa pencemaran, sehingga kualitas pasokan air menjadi menurun. Beberapa temuan penting dari penelitian ini antara lain:
Trend total permintaan air Citarum mengalami peningkatan yang cukup tajam. Menurut sektoral, permintaan air oleh sektor irigasi (pertanian) cenderung stabil akibat tidak adanya penambahan lahan pertanian peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ketahun. Besarnya tingkat penggunaan air Citarum tersebut telah diikuti oleh ekternalitas negatif berupa pencemaran, sehingga kualitas pasokan air menjadi menurun. permintaan air oleh sektor irigasi (pertanian) cenderung stabil akibat tidak adanya penambahan lahan pertanian yang harus diairi. Sedangkan trend permintaan air bersih oleh PDAM dan sektor industri mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Permintaan air bersih (PAM) ini mengalami peningkatan tajam di Bekasi dan DKI Jakarta. Kedepan, pulihnya kondisi ekonomi dan semakin berkembangnya penduduk di sekitar DAS Citarum akan mendorong peningkatan permintaan air.
DAS Citarum mengalami permasalahan yang cukup serius dari sudut pandang kuantitas dan kualitas. Kuantitas pasokan DAS Citarum cenderung mengalami penurunan dan terlebih lagi pada musim-musim kering. Hal ini disebabkan oleh rusaknya hutan dan lingkungan di daerah hulu yang menjadi pendukung sumber air Sungai Citarum. Kualitas air DAS Citarum juga mengalami penurunan akibat limbah-limbah domestik (rumah tangga) dan limbah industri yang dibuang ke sungai. Kesadaran pengguna untuk menjaga menggunakan air Citarum secara efisien masih sangat rendah, terutama di kalangan petani. Hal ini tercermin dari kurangnya disiplin petani dalam mengikuti rencana pola tanam yang ditetapkan oleh Komisi Irigasi.
Ketidakdisiplinan ini menimbulkan terjadinya pemborosan penggunaan air. Kesadaran pengguna untuk menjaga kualitas air Citarum juga masih kurang. Buktinya pencemaran DAS Citarum mengalami peningkatan akibat pembuangan limbah ke sungai. Konflik-konflik pemanfaatan banyak terjadi dalam aktivitas distribusi air DAS Citarum. Hal ini disebabkan oleh wewenang distribusi oleh PJT II ini banyak berbenturan dengan kepentingan masing-masing wilayah dalam pemanfaatan DAS Citarum. Perkembangan otonomi daerah memberikan pengaruh pada menguatnya pandangan masing-masing daerah terhadap kepemilikan DAS Citarum. Konflik yang terjadi antara PJT H dan pihak-pihak PDAM kabupaten-kebupaten yang dilintasi Sungai Citarum merupakan salah satu contoh yang dapat diangkat. Konflik ini terjadi akibat pemda yang dilalui Citarum memiliki pemahaman bahwa PJT II tidak berwewenang dalam menentukan tarif air untuk PDAM.
Bentuk konflik yang lain adalah perselisihan antar sektor pengguna. Konflik ini banyak terjadi antara sektor industri dan sektor irigasi. Permasalahaannya timbul akibat menurunnya pasokan air DAS Citarum pada musim-musim kering dan penggunaan saluran distribusi yang sama oleh kedua sektor. Dari permasalahan-permasalahan yang timbul kelihatan bahwa sumber utamanya adalah menurunnya kuantitas dan kualitas air DAS Citarum. Sumber permasalahan lainnya adalah sistem pengelolaan oleh satu pihak, dalam hai ini PJT II, telah menimbulkan konflik dalam pemanfaatan DAS Citarum. Oleh karena itu perlu dicarikan sistem pengelolaan yang lebih baik dan komprehensif. (Laporan Penelitian Perhitungan Ekonomi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum).
Ketidakdisiplinan ini menimbulkan terjadinya pemborosan penggunaan air. Kesadaran pengguna untuk menjaga kualitas air Citarum juga masih kurang. Buktinya pencemaran DAS Citarum mengalami peningkatan akibat pembuangan limbah ke sungai. Konflik-konflik pemanfaatan banyak terjadi dalam aktivitas distribusi air DAS Citarum. Hal ini disebabkan oleh wewenang distribusi oleh PJT II ini banyak berbenturan dengan kepentingan masing-masing wilayah dalam pemanfaatan DAS Citarum. Perkembangan otonomi daerah memberikan pengaruh pada menguatnya pandangan masing-masing daerah terhadap kepemilikan DAS Citarum. Konflik yang terjadi antara PJT H dan pihak-pihak PDAM kabupaten-kebupaten yang dilintasi Sungai Citarum merupakan salah satu contoh yang dapat diangkat. Konflik ini terjadi akibat pemda yang dilalui Citarum memiliki pemahaman bahwa PJT II tidak berwewenang dalam menentukan tarif air untuk PDAM.
Bentuk konflik yang lain adalah perselisihan antar sektor pengguna. Konflik ini banyak terjadi antara sektor industri dan sektor irigasi. Permasalahaannya timbul akibat menurunnya pasokan air DAS Citarum pada musim-musim kering dan penggunaan saluran distribusi yang sama oleh kedua sektor. Dari permasalahan-permasalahan yang timbul kelihatan bahwa sumber utamanya adalah menurunnya kuantitas dan kualitas air DAS Citarum. Sumber permasalahan lainnya adalah sistem pengelolaan oleh satu pihak, dalam hai ini PJT II, telah menimbulkan konflik dalam pemanfaatan DAS Citarum. Oleh karena itu perlu dicarikan sistem pengelolaan yang lebih baik dan komprehensif. (Laporan Penelitian Perhitungan Ekonomi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum).
Jawa Barat yang memiliki 3 (tiga) Bendungan besar di DAS Citarum (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) perlu memperhitungkan serta memberikan pengamanan ekstra ketat terhadap umur ketiga bendungan tersebut. Hal tersebut harus dilakukan mengingat kondisi ketiga bendungan tersebut pada saat sekarang ini masuk dalam kondisi memprihatinkan. Sebagai contohnya di bendungan Saguling yang masuk ke Wilayah Kabupaten Bandung Barat, adalah merupakan sebuah bendungan yang menjadi filter awal Daerah Aliran Sungai Citarum bagi kedua bendungan yang lainnya. (Cirata dan Jatiluhur).
Waduk Saguling |
Bendungan Saguling
Sebagai filter pertama, Bendungan Saguling seyogianya harus memiliki ketahanan maksimal dalam mengantisipasi permasa lahan yang dapat menimbulkan bencana. Menyangkut memiliki katahanan maksimal disini da lam artian bahwa, dapatkah usia bendungan tersebut bertahan sesuai dengan perhitungan yang telah direncanakan? Mengingat begitu banyaknya persoalan yang menyangkut pencemaran air di DAS Citarum pada saat sekarang ini. Dengan adanya UU RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 13, kiranya Pemerintah bersama pihak terkait perlu memberikan perhatian yang sangat serius dalam menyelesaikan persoalan menyangkut penyelamatan tiga bendungan di DAS Citarum ini. Kemungkinan rendahnya komitmen pelaksanaan pengelolaan lingkungan oleh industri yang mengeluarkan limbah ataupun masyarakat yang membuang limbah domestik ke Citarum yang memberi kontribusi besar pada penurunan kualitas air dan pendangkalan (sedimentasi) sungai tersebut, menyebabkan tercemarnya Sungai Citarum oleh limbah industri dan limbah rumah tangga merupakan pemantik terjadinya penurunan mutu air. Bagi Saguling, kondisi tersebut berdampak pada berkurangnya usia PLTA.
Sedimentasi Sungai Citarum akibat lahan kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu mencapai empat juta ton per tahun. Selain menyebabkan banjir di sejumlah wilayah di Kab. Bandung, tingginya sedimentasi pada aliran Sungai Citarum juga mengancam tiga waduk utama di Jawa Barat, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur. Laju degradasi kawasan hutan di DAS Citarum Hulu telah melebihi upaya rehabilitasi yang dilakukan sejumlah pihak. Upaya penghijauan tidak sepadan dengan luasnya lahan kritis yang menyebabkan sedimentasi di Sungai Citarum, ada baiknya apabila ungkapan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kab. Bandung pada rapat penanganan DAS Citarum Hulu bulan Juni kemarin bahwa luas lahan kritis di Kab. Bandung saat ini tercatat 22.076,68 hektare.
Lahan kritis tersebut tersebar di Kec. Rancabali, Nagreg, Cikancung, Paseh, Kertasari, Pangalengan, Cimenyan, Cilengkrang, Cicalengka, Margahayu, Baleendah, Arjasari, Ciparay, Pasirjambu, Ciwidey, Banjaran, dan Soreang. Penanganan lahan kritis disesuaikan dengan anggaran yang sering terbatas jumlahnya. Belum lagi dengan integrasi antar instansi ataupun dengan masyarakat sehingga hasilnya belum begitu memuaskan. Menurut Tisna, DAS Citarum Hulu menyimpan banyak kepentingan, seperti penyelamatan usia pakai Waduk Saguling dengan kapasitas 982 juta meter kubik, Waduk Cirata (2.165 juta meter kubik), dan Waduk Jatiluhur (3.000 juta meter kubik). Jika aliran Sungai Citarum lenyap akibat di kawasan hulunya hancur, daya listrik 5.000 giga watt/jam atau setara BBM 16 juta ton per tahun senilai Rp 20 triliun per tahun, akan hilang. Kerugian yang sama akan diderita para petani karena hasil panen padi sawah seluas 300.000 hektare atau senilai Rp 5,25 triliun per tahun bisa lenyap.
Saat ini, sedimentasi Sungai Citarum sudah parah, mencapai empat juta ton per tahun sehingga mengancam usia pakai ketiga waduk tersebut. Pemkab Bandung tidak bisa sendirian menangani DAS Citarum Hulu meski sebagian besar berada di Kab. Bandung. Kerusakan Waduk Saguling yang luasnya men capai 4.869 hektare itu secara garis besar dise babkan semakin parahnya sedimentasi dan kualitas air. Transportasi sedimentasi yang ter jadi saat ini sudah me lebihi dari perencanaan, di dalam perencanaan, transportasi sedimentasi seharusnya maksimal empat juta meter kubik per tahun. Namun, saat ini sudah mencapai 4,2 juta meter kubik per tahun. Hal tersebut menyebabkan sedimentasi di Saguling saat ini sudah memakan 38,6 persen atau 64.740.206 meter kubik (dari 167.700.000 meter kubik) volume dead storage.
Kondisi tersebut menyebabkan ketinggian (elevasi) muka air Saguling semakin tahun semakin tinggi. Selain sedimentasi yang semakin parah, kualitas air di Saguling pun kini hanya bisa digunakan untuk industri. Sementara untuk air minum, bahan baku air minum, dan perikanan sudah dalam kategori buruk yang selanjutnya dapat menyebabkan menurunnya jumlah keramba jaring apung (KJA) dan produksi ikan per tahun. Secara signifikan. Manajer Sipil Lingkungan PT Indonesia Power UBP Saguling Pitoyo Punu mengatakan bahwa persoalan di Saguling tersebut, belum bisa diselesaikan secara kuratif. Untuk mengeruk sedimen per tahun sebesar 4,2 meter kubik misalnya, dibutuhkan dua ratus hektare lahan. "Sulit untuk menemukan lahan yang tidak bermasalah, apalagi sedimennya sudah mengandung polutan."
Secara garis besar, terganggunya potensi air dan waduk Saguling terjadi dikarenakan tata guna lahan yang tidak konsisten, pengelolaan lahan yang salah, dan pola hidup masyarakat yang merusak lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan, ditambah dengan tingginya angka pemukiman di Cekungan Bandung yang pada 2010 ini yang jumlahnya diperkirakan mencapai kurang lebih 7.867.006 jiwa (idealnya 3-4 juta), merambat kepada persoalan berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik dan selanjutnya akan mengarah pada permasalahan alih fungsi lahan konservasi menjadi pertanian, permukiman, dan industri.
Berdasarkan data dari UBP Saguling, lahan hutan di hulu DAS Citarum yang pada tahun 2000 mencapai 71,750 hektare, pada 2009 tersisa 9,899 hektare. Sementara untuk permukiman meningkat pesat dari 81,685 hektare (2000) menjadi 176,441.5 (2009). Melihat kondisi seperti itu, tidak heran apabila air yang turun ke bumi akan langsung dialirkan ke sungai tanpa penyerapan (infiltrasi). Kini kondisi lingkungan di waduk saguling cukup memprihatinkan sehingga pemerintah tidak lagi merekomendasikan kegiatan perikanan disana. Beberapa jaring ikan tidak beroperasi lagi.
Di samping itu fungsi waduk Saguling sebagai PLTA pun makin berkurang. Diperkirakan, bila laju sedimentasi yang ada sekarang (yaitu 4,2 juta meter kubik per tahun) tidak bisa dikurangi maka umur pembangkit listrik tinggal 24 tahun lagi. Karena itu pihak Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling melakukan kegiatan penghijauan daerah aliran sungai dan pengerukan dengan 70 alat berat, namun hal ini cukup sulit dilakukan dan memakan biaya besar. Oleh karena itu, sebaiknya ada cara atau langkah efektif yang harus ditempuh dengan mengantisipasi penyebab kerusakan bendungan di daerah tangkapan air (catchment area) Saguling di hulu DAS Citarum. Salah satunya dengan penanaman tanaman keras. Catchment area tersebut mencapai sepertiga dari luas DAS Citarum atau 2.283 meter persegi dari Gunung Wayang, Majalaya, Soreang, Bandung, dan Padalarang.
Bendungan Cirata |
Bendungan Cirata
Rupa bumi ereal PLTA Cirata tidak terlepas dari terjadinya peristiwa kompressi dan delatasi akibat gempatektonik tersebut sehingga tercapai keseimbangan (relatif) Keadaan setimbang sewaktu-waktu dapat berubah bila di daerah tersebut terjadi lagi pelepasan energi mapun penimbunan energi akibat aktifitas manusia sehingga Instalasi PLN (al. PLTA Cirata) yang berada pada zona yang memiliki resiko terhadap keamanan konstruksi, perlu diberikan perhatian khusus. Timbulnya kelongsoran tanah di sekitar Switchyard, kelainan pada Parapet Wall Dam/bendungan PLTA Cirata pada bulan Agustus 1990 membuktikan adanya indikasi pelepasan energi tersebut. Pelepasan energi dalam bentuk gempa (mikro maupun makro) dapat terjadi saat pelaksanaan pekerjaan galian dalam volume yang besar (contoh pekerjaan galian trowongan) sedangkan penimbunan energi yang besar saat pengisian waduk (impounding) maupun saat bendungan dibangun.
Penelitian bertujuan memastikan bahwa permasalahan stabilitas tanah di Cirata bersifat regional atau lokal dan kemungkinan dampaknya terhadap integritas konstruksi. Salah satu langkahnya adalah menentukan karakteristik & besaran secara kuantitatif nilai deformasi di permukaan berdasarkan geodetik. Pada saat penelitian peralatan pamantau gempa (Seismograph) sudah beberapa tahun tidak beroperasi lagi sehingga data gempa di PLTA Cirata tidak terpantau lagi. Karena terdapat korelasi antara gempa dan deformasi di kulit bumi, meskipun data kegempaan tidak tercatat namun hasil pengukuran arah tiga dimensi jaringan survey topografi PLTA Citara mengindikasikan bahwa telah terjadinya pelepasan energi berupa gempa yang ditunjukkan dengan adanya perubahan (deformasi) di titik titik pengamatan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa : - telah terjadinya perubahan (displacement) arah sumbu X, Y dan Z yang melengkapi hasil peneliti terdahulu bahwa deformasi geotektonik di daerah sekitas PLTA Cirata ini telah berlangsung sejak kala Oligosen atau 38 juta tahun yang lalu dan diduga terus berlangsung sampai saat ini untuk mencapai kesetimbangan (relatif). - Hasil monitoring menjadi bukti terjadinya jejak energi gerak mikro pada daerah penelitian (areal PLTA Cirata). - Prermasalahan stabilitas tanah di PLTA Cirata bersifat kombinasi yaitu bersifat regional atau lokal - Dampaknya terhadap integritas konstruksi masih dalam taraf yang belum membahayakan karena bendungan Cirata Rockfill Dam yang bersifat elastik dengan deformasi yang ralatif kecil Untuk membuktikan adanya pelepasan energi baik mikro maupun dari jejak yang terlacak di lokasi penelitian disarankan untuk memasang accelerograph sebagai pembuktian adanya percepatan dengan arah tiga dimensi pada tempat yang teridentifikasi dari hasil penelitian sekarang. Selain itu disarankan pula perlu penelitian lanjuan untuk mengetahui batas elastisitas bendungan untuk mengetahui sejauh mana batas roleransi bendungan terhadap deformasi yang akan terjadi. Penulis : Ir. Zulfarida Faluzy, Ir. Moch. Choliq, MT, Ir. Tonny Sarief, MT, Sutantiyo, ST
Berada di tengah-tengah sistem kaskade Sungai Citarum menjadikan Waduk Cirata berfungsi sebagai filter kedua dari daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Jika semua "kotoran" dari hulu Citarum telah tersaring terlebih dahulu di Waduk Saguling, seharusnya kondisi Waduk Cirata jauh lebih baik daripada Saguling, namun pada kenyataannya tidak demikian, kerusakan yang hampir sama pun terjadi di Cirata. Soalnya, aktivitas di catchment area (daerah tangkapan air) Waduk Cirata tak kalah mengkhawatirkan.
Catchment area Waduk Cirata meliputi tiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu Purwakarta, Cianjur, dan Bandung Barat. Ada lima anak Sungai Citarum yang bermuara pada waduk Cirata, yaitu Cimeta, Citarum, Cisokan, Cikundul, dan Cibaladung. Kondisi area itu tidak jauh dari hutan gundul dan alih fungsi lahan menjadi permukiman dan pertanian. Di Puncak misalnya, sebagai hulu dari Sungai Cibaladung lebih kaya akan palawija sehingga tidak ada penahan erosi. Alhasil, Sungai Cibaladung menyumbang sedimentasi besar kepada Cirata.
Kepala PT Pembangkit Jawa Bali Badan Pengelola Waduk Cirata (PJB BPWC) Suhata E. Putra menuturkan, faktor penyebab sedimentasi lainnya di Cirata adalah endapan pakan ikan tak termakan yang mencapai ketinggian hingga tiga meter sejak sekitar 1990. Masih relatif baiknya kualitas air di Cirata memang menyebabkan jumlah keramba jaring apung (KJA) di sana melebihi normal. Menurut Suhata, seharusnya jumlah KJA adalah 1 persen dari luas Cirata atau hanya mencapai 12.000 petak jaring apung. Namun, saat ini terdapat hingga 50.000 petak jaring apung. Banyaknya pakan ikan yang menjadi sampah diperparah dengan dibuangnya perkakas tak terpakai dari jaring apung, seperti styrofoam, drum, dan bambu ke dalam waduk.
Kondisi demikian menyebabkan volume sedimen Waduk Cirata hingga 2007 mencapai 146 juta meter kubik dengan rata-rata laju sedimen 3,9 milimeter/tahun. Rata-rata laju tersebut tiga kali lebih cepat daripada rata-rata laju perencanaan yang hanya mencapai 1,2 milimeter/tahun. Dengan memperhatikan laju sedimen di waduk berusia 22 tahun itu, Suhata mengatakan bahwa Cirata harus kehilangan dua puluh tahun masa hidupnya. Desain Cirata seharusnya memungkinkannya hidup selama seratus tahun. "Seharusnya, umur Cirata delapan puluh tahun lagi. Akan tetapi, dengan kondisi sekarang, usianya tinggal enam puluh tahun," kata Suhata.
Selain usianya termakan oleh sedimentasi, Cirata juga saat ini "sakit" akibat menurunnya kualitas air. Di hulu waduk tersebut, tepatnya dekat Sungai Cimeta, terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti sebagai pusat sampah dari segala penjuru Bandung raya. Menurut Suhata, lindi dari TPA Sarimukti merupakan sumber pencemar air paling besar di Cirata. Berdasarkan hasil penelitian, di muara Sungai Cimeta terkandung 2,4 juta sel bakteri merugikan E-Coli per seratus mililiter yang mengalir ke Cirata. Normalnya, dalam seratus mililiter terdapat dua ratus sel.
Memasuki musim kemarau nanti (sekitar Mei-September), bisa dipastikan bau khas amonia dari lindi akan menusuk hidung pengunjung Cirata. Namun, pada April ini baunya relatif tidak tercium karena lindi yang tergenang telah terbawa oleh arus air yang melimpas pada Maret lalu. Dengan banyaknya polutan air, ikan yang dihasilkan tak lagi sepenuhnya sehat karena mengandung logam berat. Menurut Suhata, sejauh ini ikan Cirata dipasarkan ke Bandung dan Jakarta. "Diharapkan, masyarakat mengatur pola konsumsi ikan dari waduk ini," ujarnya.
Suhata menuturkan, kualitas air yang buruk pun menyebabkan terjadinya korosi dan pelapukan. Kandungan polutan air yang tinggi, seperti amonia, menurut dia, menyebabkan terjadinya korosi dalam sistem pembangkit terutama di radiator dan pipa-pipa pendingin. "Tentunya itu akan sangat merugikan dari sisi biaya pemeliharaan. Terlebih jika dari radiator sudah menyerang mesin," kata Suhata. Sementara dari struktur beton bendungan, kata dia, telah terjadi pelapukan 1 hingga 3 sentimeter.
Pakar Lingkungan dari Universitas Padjadjaran Bandung Chay Asdak menuturkan, sejauh ini belum ada teknologi canggih di Indonesia yang mampu menormalkan kembali kualitas air. "Sebenarnya eceng gondok bisa mengurangi logam berat. Akan tetapi, nantinya justru akan menambah populasi eceng gondok dan ujungnya juga merusak kualitas air," katanya. Kalaupun ada teknologinya, menurut dia, belum tentu secara anggaran bisa terbayar. Seperti halnya pengelola Waduk Saguling, Suhata pun mengatakan memilih langkah-langkah preventif. Sejak tahun 2000, BPWC telah menanam 230.000 tanaman keras di sepanjang "sabuk hijau" (greenbelt) Cirata. "Selain itu, ada juga kerja sama dengan instansi lain dalam penanaman pohon," katanya.
Langkah preventif dinilai lebih realistis dibandingkan dengan, misalnya, mengeruk sedimentasi yang terkendala dari lahan dan biaya. "Untuk saat ini, jalan satu-satunya adalah membuang ke Jatiluhur. Akan tetapi, apakah Jatiluhur mau?" tuturnya.
Untuk itu, Suhata pun mengharapkan rencana pembangunan 22 danau oleh pemerintah segera terealisasi untuk menahan laju sedimentasi. "Kalau seperti ini terus keadaannya, ya tinggal menunggu waktu," ujarnya.
Bendungan Jatiluhur
Hujan yang terus mengguyur mengaki batkan tinggi muka air waduk Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat, terus me ningkat. ketinggian air saat ini sudah di ambang batas normal, yakni melebihi 108 meter dari yang se harusnya 107 meter. Terus me lubernya waduk Jatiluhur ditam bah meluapnya Sungai Citarum mengaki batkan ratusan rumah dari 540 kepala keluarga di De sa Cikao bandung, Purwakarta, terendam. Banjir yang mencapai 1,5 meter membuat warga mulai di evakuasi. Masyarakat berharap Perum Jasa Tirta II sebagai pengelola waduk Jatiluhur segera merelokasi lantaran hampir setiap tahun mereka menjadi langganan banjir.
Waduk Jatiluhur kritis. Rawan jebol. Ketinggian air di waduk kini sudah mencapai 108,41 meter di atas permukaan laut (dpl) sehingga mengancam bendungan. Kondisi ini jelas meng khawatirkan. Lantaran itu pula Pemerintah Provinsi Jawa Barat segera menyiapkan langkah antisipasi agar waduk tak jebol. "Salah satunya membuka salah satu pintu air untuk menurunkan beban waduk," ujar Wakil Gubernur Jabar Yusuf Effendi, Kamis (25/3).
Opsi lain yang sedang dipertimbangkan adalah meledakkan tanggul Ubrug supaya air melimpas ke Sungai Cikao. Tapi langkah ini bukan tanpa risiko. Menurut Yusuf, bila air waduk dikurangi desa-desa di kawasan Sungai Cikao akan kebanjiran. Tapi itu lebih baik ketimbang tanggul tiba-tiba jebol. Lebih lanjut Yusuf menjelaskan, ada dua faktor yang menyebabkan pihaknya harus mengambil opsi membuka pintu air atau mele dakkan tanggul Ubrug. Pertama, ketinggian air mendekati 110 meter dpl. Kedua, berdasarkan kajian Badan Geologi, bendungan tidak mampu menahan beban. Personel badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar, aparat Polda Jabar, Kodam III/Siliwangi telah disiagakan untuk menghadapi banjir dari Waduk Jatiluhur. Setiap jam pengelola Waduk Jatiluhur diinstruksikan untuk melaporkan ketinggian air dan kondisi tanggul kepada instansi terkait Pemprov Jabar maupun Kementerian PU. Sementara itu, Dirut Perusahaan Jasa Tirta II selaku pengelola Waduk Jatiluhur Djendam Rajasinga mengaku khawatir dengan kondisii waduk. Sebab dalam tiga hari terakhir, ketinggian waduk terus berada dikisaran 108 meter dpl.
"Dengan kondisi saat ini saja wilayah Karawang sudah mengalami masalah berat. Apalagi kalau bendungan sampai jebol," kata Djendam. Waduk Jatiluhur dirancang untuk menampung air sampai dengan ketinggian 110 meter dpl. Jika melebihi batas maksimal, Waduk Jatiluhur berpotensi jebol. Air sebanyak 3,5 miliar meter kubik bisa menghantam wilayah Karawang sampai Jakarta. Bencana berupa banjir bandang lebih parah lima kali lipat jika dibandingkan dengan bencana luapan Sungai Citarum. Selain menimbulkan bencana dahsyat, jebolnya Waduk Jatiluhur bakal merusak ribuan hektare sawah di wilayah pantai utara (pantura) Jabar serta menganggu pasokan listrik Jawa-Bali. (Ima/TRI)