Senin, 29 Agustus 2011

UMUR 3 BENDUNGAN (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) DI JAWA BARAT PERLU PERHATIAN SERIUS.

DAS Citarum mempunyai peranan penting dalam mendukung aktivitas ekonomi di Propinsi JawaBarat dan DKI Jakarta. Selain menjadi sumber pemenuhan kebutuhan air untuk sektor irigasi, industri dan air bersih, DAS Citarum juga memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan energi listrik. Sungai Citarum dengan tiga bendungan (DAM) telah menjadi tulang punggung produksi energi listrik untuk memenuhi kebutuhan penduduk Jawa dan Bali. Peranan dan potensi pemanfaataan yang cukup besar dari DAS Citarum tersebut belum didukung oleh upaya-upaya yang optimal untuk menjaga keberlanjutan pasokan air di masa yang akan datang. 

Terjadinya kerusakan lingkungan, terutama di daerah hulu sungai Citarum, telah menyebabkan terjadinya penurunan kuantitas pasokan air. Padahal DAS Citarum merupakan satu wilayah sungai yang paling tereksploitasi di Propinsi Jawa Barat. Beban berat yang harus ditanggung oleh DAS Citarum ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi dan pesatnya perkembangan penduduk di wilayah yang dilaluinya. Kedua faktor ini menyebabkan beban permintaan air Citarum oleh sektor-sektor pengguna mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ketahun. Besarnya tingkat penggunaan air Citarum tersebut telah diikuti oleh ekternalitas negatif berupa pencemaran, sehingga kualitas pasokan air menjadi menurun. Beberapa temuan penting dari penelitian ini antara lain:

Trend total permintaan air Citarum mengalami peningkatan yang cukup tajam. Menurut sektoral, permintaan air oleh sektor irigasi (pertanian) cenderung stabil akibat tidak adanya penambahan lahan pertanian peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ketahun.  Besarnya tingkat penggunaan air Citarum tersebut telah diikuti oleh ekternalitas negatif berupa pencemaran, sehingga kualitas pasokan air menjadi menurun. permintaan air oleh sektor irigasi (pertanian) cenderung stabil akibat tidak adanya penambahan lahan pertanian yang harus diairi. Sedangkan trend permintaan air bersih oleh PDAM dan sektor industri mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Permintaan air bersih (PAM) ini mengalami peningkatan tajam di Bekasi dan DKI Jakarta. Kedepan, pulihnya kondisi ekonomi dan semakin berkembangnya penduduk di sekitar DAS Citarum akan mendorong peningkatan permintaan air.

DAS Citarum mengalami permasalahan yang cukup serius dari sudut pandang kuantitas dan kualitas. Kuantitas pasokan DAS Citarum cenderung mengalami penurunan dan terlebih lagi pada musim-musim kering. Hal ini disebabkan oleh rusaknya hutan dan lingkungan di daerah hulu yang menjadi pendukung sumber air Sungai Citarum. Kualitas air DAS Citarum juga mengalami penurunan akibat limbah-limbah domestik (rumah tangga) dan limbah industri yang dibuang ke sungai. Kesadaran pengguna untuk menjaga menggunakan air Citarum secara efisien masih sangat rendah, terutama di kalangan petani. Hal ini tercermin dari kurangnya disiplin petani dalam mengikuti rencana pola tanam yang ditetapkan oleh Komisi Irigasi. 

Ketidakdisiplinan ini menimbulkan terjadinya pemborosan penggunaan air. Kesadaran pengguna untuk menjaga kualitas air Citarum juga masih kurang. Buktinya pencemaran DAS Citarum mengalami peningkatan akibat pembuangan limbah ke sungai. Konflik-konflik pemanfaatan banyak terjadi dalam aktivitas distribusi air DAS Citarum. Hal ini disebabkan oleh wewenang distribusi oleh PJT II ini banyak berbenturan dengan kepentingan masing-masing wilayah dalam pemanfaatan DAS Citarum. Perkembangan otonomi daerah memberikan pengaruh pada menguatnya pandangan masing-masing daerah terhadap kepemilikan DAS Citarum. Konflik yang terjadi antara PJT H dan pihak-pihak PDAM kabupaten-kebupaten yang dilintasi Sungai Citarum merupakan salah satu contoh yang dapat diangkat. Konflik ini terjadi akibat pemda yang dilalui Citarum memiliki pemahaman bahwa PJT II tidak berwewenang dalam menentukan tarif air untuk PDAM. 

Bentuk konflik yang lain adalah perselisihan antar sektor pengguna. Konflik ini banyak terjadi antara sektor industri dan sektor irigasi. Permasalahaannya timbul akibat menurunnya pasokan air DAS Citarum pada musim-musim kering dan penggunaan saluran distribusi yang sama oleh kedua sektor. Dari permasalahan-permasalahan yang timbul kelihatan bahwa sumber utamanya adalah menurunnya kuantitas dan kualitas air DAS Citarum. Sumber permasalahan lainnya adalah sistem pengelolaan oleh satu pihak, dalam hai ini PJT II, telah menimbulkan konflik dalam pemanfaatan DAS Citarum. Oleh karena itu perlu dicarikan sistem pengelolaan yang lebih baik dan komprehensif. (Laporan Penelitian Perhitungan Ekonomi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum).

Jawa Barat yang memiliki 3 (tiga) Bendungan besar di DAS Citarum (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) perlu memperhitungkan serta memberikan pengamanan ekstra ketat terhadap umur ketiga bendungan tersebut. Hal tersebut harus dilakukan mengingat kondisi ketiga bendungan tersebut pada saat sekarang ini masuk dalam kondisi memprihatinkan. Sebagai contohnya di bendungan Saguling yang masuk ke Wilayah Kabupaten Bandung Barat, adalah merupakan sebuah bendungan yang menjadi filter awal Daerah Aliran Sungai Citarum bagi kedua bendungan yang lainnya. (Cirata dan Jatiluhur).

Waduk Saguling
Bendungan Saguling
Sebagai filter pertama, Bendungan Saguling seyogianya harus memiliki ketahanan maksimal dalam mengantisipasi permasa lahan yang dapat menimbulkan bencana. Menyangkut memiliki katahanan maksimal disini da lam artian bahwa, dapatkah usia bendungan tersebut bertahan sesuai   dengan perhitungan yang telah direncanakan? Mengingat begitu banyaknya persoalan yang menyangkut pencemaran air di DAS Citarum pada saat sekarang ini. Dengan adanya UU RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 13, kiranya Pemerintah bersama pihak terkait perlu memberikan perhatian yang sangat serius dalam menyelesaikan persoalan menyangkut penyelamatan tiga bendungan di DAS Citarum ini. Kemungkinan rendahnya komitmen pelaksanaan pengelolaan lingkungan oleh industri yang mengeluarkan limbah ataupun masyarakat yang membuang limbah domestik ke Citarum yang memberi kontribusi besar pada penurunan kualitas air dan pendangkalan (sedimentasi) sungai tersebut, menyebabkan tercemarnya Sungai Citarum oleh limbah industri dan limbah rumah tangga merupakan pemantik terjadinya penurunan mutu air. Bagi Saguling, kondisi tersebut berdampak pada berkurangnya usia PLTA. 

Sedimentasi Sungai Citarum akibat lahan kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu mencapai empat juta ton per tahun. Selain menyebabkan banjir di sejumlah wilayah di Kab. Bandung, tingginya sedimentasi pada aliran Sungai Citarum juga mengancam tiga waduk utama di Jawa Barat, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur. Laju degradasi kawasan hutan di DAS Citarum Hulu telah melebihi upaya rehabilitasi yang dilakukan sejumlah pihak. Upaya penghijauan tidak sepadan dengan luasnya lahan kritis yang menyebabkan sedimentasi di Sungai Citarum, ada baiknya apabila ungkapan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kab. Bandung pada rapat penanganan DAS Citarum Hulu bulan Juni kemarin bahwa luas lahan kritis di Kab. Bandung saat ini tercatat 22.076,68 hektare. 

Lahan kritis tersebut tersebar di Kec. Rancabali, Nagreg, Cikancung, Paseh, Kertasari, Pangalengan, Cimenyan, Cilengkrang, Cicalengka, Margahayu, Baleendah, Arjasari, Ciparay, Pasirjambu, Ciwidey, Banjaran, dan Soreang. Penanganan lahan kritis disesuaikan dengan anggaran yang sering terbatas jumlahnya. Belum lagi dengan integrasi antar instansi ataupun dengan masyarakat sehingga hasilnya belum begitu memuaskan. Menurut Tisna, DAS Citarum Hulu menyimpan banyak kepentingan, seperti penyelamatan usia pakai Waduk Saguling dengan kapasitas 982 juta meter kubik, Waduk Cirata (2.165 juta meter kubik), dan Waduk Jatiluhur (3.000 juta meter kubik). Jika aliran Sungai Citarum lenyap akibat di kawasan hulunya hancur, daya listrik 5.000 giga watt/jam atau setara BBM 16 juta ton per tahun senilai Rp 20 triliun per tahun, akan hilang. Kerugian yang sama akan diderita para petani karena hasil panen padi sawah seluas 300.000 hektare atau senilai Rp 5,25 triliun per tahun bisa lenyap.

Saat ini, sedimentasi Sungai Citarum sudah parah, mencapai empat juta ton per tahun sehingga mengancam usia pakai ketiga waduk tersebut. Pemkab Bandung tidak bisa sendirian menangani DAS Citarum Hulu meski sebagian besar berada di Kab. Bandung. Kerusakan Waduk Saguling yang luasnya men capai 4.869 hektare itu secara garis besar dise babkan semakin parahnya sedimentasi dan kualitas air. Transportasi  sedimentasi yang ter jadi saat ini sudah me lebihi dari perencanaan, di dalam perencanaan, transportasi sedimentasi seharusnya maksimal empat juta meter kubik per tahun. Namun, saat ini sudah mencapai 4,2 juta meter kubik per tahun. Hal tersebut menyebabkan sedimentasi di Saguling saat ini sudah memakan 38,6 persen atau 64.740.206 meter kubik (dari 167.700.000 meter kubik) volume dead storage.  

Kondisi tersebut menyebabkan ketinggian (elevasi) muka air Saguling semakin tahun semakin tinggi. Selain sedimentasi yang semakin parah, kualitas air di Saguling pun kini hanya bisa digunakan untuk industri. Sementara untuk air minum, bahan baku air minum, dan perikanan sudah dalam kategori buruk  yang selanjutnya dapat menyebabkan menurunnya jumlah keramba jaring apung (KJA) dan produksi ikan per tahun. Secara signifikan. Manajer Sipil Lingkungan PT Indonesia Power UBP Saguling Pitoyo Punu mengatakan bahwa persoalan di Saguling tersebut, belum bisa diselesaikan secara kuratif. Untuk mengeruk sedimen per tahun sebesar 4,2 meter kubik misalnya, dibutuhkan dua ratus hektare lahan. "Sulit untuk menemukan lahan yang tidak bermasalah, apalagi sedimennya sudah mengandung polutan."

Secara garis besar, terganggunya potensi air dan waduk Saguling terjadi dikarenakan tata guna lahan yang tidak konsisten, pengelolaan lahan yang salah, dan pola hidup masyarakat yang merusak lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan, ditambah dengan tingginya angka pemukiman di Cekungan Bandung yang pada 2010 ini yang jumlahnya diperkirakan mencapai kurang lebih 7.867.006 jiwa (idealnya 3-4 juta), merambat kepada persoalan berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik dan selanjutnya akan mengarah pada permasalahan alih fungsi lahan konservasi menjadi pertanian, permukiman, dan industri.

Berdasarkan data dari UBP Saguling, lahan hutan di hulu DAS Citarum yang pada tahun 2000 mencapai 71,750 hektare, pada 2009 tersisa 9,899 hektare. Sementara untuk permukiman meningkat pesat dari 81,685 hektare (2000) menjadi 176,441.5 (2009). Melihat kondisi seperti itu, tidak heran apabila air yang turun ke bumi akan langsung dialirkan ke sungai tanpa penyerapan (infiltrasi). Kini kondisi lingkungan di waduk saguling cukup memprihatinkan sehingga pemerintah tidak lagi merekomendasikan kegiatan perikanan disana. Beberapa jaring ikan tidak beroperasi lagi. 

Di samping itu fungsi waduk Saguling sebagai PLTA pun makin berkurang. Diperkirakan, bila laju sedimentasi yang ada sekarang (yaitu 4,2 juta meter kubik per tahun) tidak bisa dikurangi maka umur pembangkit listrik tinggal 24 tahun lagi. Karena itu pihak Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling melakukan kegiatan penghijauan daerah aliran sungai dan pengerukan dengan 70 alat berat, namun hal ini cukup sulit dilakukan dan memakan biaya besar. Oleh karena itu, sebaiknya ada cara atau langkah efektif yang harus ditempuh dengan  mengantisipasi penyebab kerusakan bendungan di daerah tangkapan air (catchment area) Saguling di hulu DAS Citarum. Salah satunya dengan penanaman tanaman keras. Catchment area tersebut mencapai sepertiga dari luas DAS Citarum atau 2.283 meter persegi dari Gunung Wayang, Majalaya, Soreang, Bandung, dan Padalarang.

Bendungan Cirata
Bendungan Cirata
Rupa bumi ereal PLTA Cirata tidak terlepas dari terjadinya peristiwa kompressi dan delatasi akibat gempatektonik tersebut sehingga tercapai keseimbangan (relatif) Keadaan setimbang sewaktu-waktu dapat berubah bila di daerah tersebut terjadi lagi pelepasan energi mapun penimbunan energi akibat aktifitas manusia sehingga Instalasi PLN (al. PLTA Cirata) yang berada pada zona yang memiliki resiko terhadap keamanan konstruksi, perlu diberikan perhatian khusus. Timbulnya kelongsoran tanah di sekitar Switchyard, kelainan pada Parapet Wall Dam/bendungan PLTA Cirata pada bulan Agustus 1990 membuktikan adanya indikasi pelepasan energi tersebut. Pelepasan energi dalam bentuk gempa (mikro maupun makro) dapat terjadi saat pelaksanaan pekerjaan galian dalam volume yang besar (contoh pekerjaan galian trowongan) sedangkan penimbunan energi yang besar saat pengisian waduk (impounding) maupun saat bendungan dibangun. 

Penelitian bertujuan memastikan bahwa permasalahan stabilitas tanah di Cirata bersifat regional atau lokal dan kemungkinan dampaknya terhadap integritas konstruksi. Salah satu langkahnya adalah menentukan karakteristik & besaran secara kuantitatif nilai deformasi di permukaan berdasarkan geodetik. Pada saat penelitian peralatan pamantau gempa (Seismograph) sudah beberapa tahun tidak beroperasi lagi sehingga data gempa di PLTA Cirata tidak terpantau lagi. Karena terdapat korelasi antara gempa dan deformasi di kulit bumi, meskipun data kegempaan tidak tercatat namun hasil pengukuran arah tiga dimensi jaringan survey topografi PLTA Citara mengindikasikan bahwa telah terjadinya pelepasan energi berupa gempa yang ditunjukkan dengan adanya perubahan (deformasi) di titik titik pengamatan.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa : - telah terjadinya perubahan (displacement) arah sumbu X, Y dan Z yang melengkapi hasil peneliti terdahulu bahwa deformasi geotektonik di daerah sekitas PLTA Cirata ini telah berlangsung sejak kala Oligosen atau 38 juta tahun yang lalu dan diduga terus berlangsung sampai saat ini untuk mencapai kesetimbangan (relatif). - Hasil monitoring menjadi bukti terjadinya jejak energi gerak mikro pada daerah penelitian (areal PLTA Cirata). - Prermasalahan stabilitas tanah di PLTA Cirata bersifat kombinasi yaitu bersifat regional atau lokal - Dampaknya terhadap integritas konstruksi masih dalam taraf yang belum membahayakan karena bendungan Cirata Rockfill Dam yang bersifat elastik dengan deformasi yang ralatif kecil Untuk membuktikan adanya pelepasan energi baik mikro maupun dari jejak yang terlacak di lokasi penelitian disarankan untuk memasang accelerograph sebagai pembuktian adanya percepatan dengan arah tiga dimensi pada tempat yang teridentifikasi dari hasil penelitian sekarang. Selain itu disarankan pula perlu penelitian lanjuan untuk mengetahui batas elastisitas bendungan untuk mengetahui sejauh mana batas roleransi bendungan terhadap deformasi yang akan terjadi. Penulis : Ir. Zulfarida Faluzy, Ir. Moch. Choliq, MT, Ir. Tonny Sarief, MT, Sutantiyo, ST


Berada di tengah-tengah sistem kaskade Sungai Citarum menjadikan Waduk Cirata berfungsi sebagai filter kedua dari daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Jika semua "kotoran" dari hulu Citarum telah tersaring terlebih dahulu di Waduk Saguling, seharusnya kondisi Waduk Cirata jauh lebih baik daripada Saguling, namun pada kenyataannya tidak demikian, kerusakan yang hampir sama pun terjadi di Cirata. Soalnya, aktivitas di catchment area (daerah tangkapan air) Waduk Cirata tak kalah mengkhawatirkan.

Catchment area Waduk Cirata meliputi tiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu Purwakarta, Cianjur, dan Bandung Barat. Ada lima anak Sungai Citarum yang bermuara pada waduk Cirata, yaitu Cimeta, Citarum, Cisokan, Cikundul, dan Cibaladung. Kondisi area itu tidak jauh dari hutan gundul dan alih fungsi lahan menjadi permukiman dan pertanian. Di Puncak misalnya, sebagai hulu dari Sungai Cibaladung lebih kaya akan palawija sehingga tidak ada penahan erosi. Alhasil, Sungai Cibaladung menyumbang sedimentasi besar kepada Cirata.

Kepala PT Pembangkit Jawa Bali Badan Pengelola Waduk Cirata (PJB BPWC) Suhata E. Putra menuturkan, faktor penyebab sedimentasi lainnya di Cirata adalah endapan pakan ikan tak termakan yang mencapai ketinggian hingga tiga meter sejak sekitar 1990. Masih relatif baiknya kualitas air di Cirata memang menyebabkan jumlah keramba jaring apung (KJA) di sana melebihi normal. Menurut Suhata, seharusnya jumlah KJA adalah 1 persen dari luas Cirata atau hanya mencapai 12.000 petak jaring apung. Namun, saat ini terdapat hingga 50.000 petak jaring apung. Banyaknya pakan ikan yang menjadi sampah diperparah dengan dibuangnya perkakas tak terpakai dari jaring apung, seperti styrofoam, drum, dan bambu ke dalam waduk.

Kondisi demikian menyebabkan volume sedimen Waduk Cirata hingga 2007 mencapai 146 juta meter kubik dengan rata-rata laju sedimen 3,9 milimeter/tahun. Rata-rata laju tersebut tiga kali lebih cepat daripada rata-rata laju perencanaan yang hanya mencapai 1,2 milimeter/tahun. Dengan memperhatikan laju sedimen di waduk berusia 22 tahun itu, Suhata mengatakan bahwa Cirata harus kehilangan dua puluh tahun masa hidupnya. Desain Cirata seharusnya memungkinkannya hidup selama seratus tahun. "Seharusnya, umur Cirata delapan puluh tahun lagi. Akan tetapi, dengan kondisi sekarang, usianya tinggal enam puluh tahun," kata Suhata.

Selain usianya termakan oleh sedimentasi, Cirata juga saat ini "sakit" akibat menurunnya kualitas air. Di hulu waduk tersebut, tepatnya dekat Sungai Cimeta, terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti sebagai pusat sampah dari segala penjuru Bandung raya. Menurut Suhata, lindi dari TPA Sarimukti merupakan sumber pencemar air paling besar di Cirata. Berdasarkan hasil penelitian, di muara Sungai Cimeta terkandung 2,4 juta sel bakteri merugikan E-Coli per seratus mililiter yang mengalir ke Cirata. Normalnya, dalam seratus mililiter terdapat dua ratus sel.

Memasuki musim kemarau nanti (sekitar Mei-September), bisa dipastikan bau khas amonia dari lindi akan menusuk hidung pengunjung Cirata. Namun, pada April ini baunya relatif tidak tercium karena lindi yang tergenang telah terbawa oleh arus air yang melimpas pada Maret lalu. Dengan banyaknya polutan air, ikan yang dihasilkan tak lagi sepenuhnya sehat karena mengandung logam berat. Menurut Suhata, sejauh ini ikan Cirata dipasarkan ke Bandung dan Jakarta. "Diharapkan, masyarakat mengatur pola konsumsi ikan dari waduk ini," ujarnya.

Suhata menuturkan, kualitas air yang buruk pun menyebabkan terjadinya korosi dan pelapukan. Kandungan polutan air yang tinggi, seperti amonia, menurut dia, menyebabkan terjadinya korosi dalam sistem pembangkit terutama di radiator dan pipa-pipa pendingin. "Tentunya itu akan sangat merugikan dari sisi biaya pemeliharaan. Terlebih jika dari radiator sudah menyerang mesin," kata Suhata. Sementara dari struktur beton bendungan, kata dia, telah terjadi pelapukan 1 hingga 3 sentimeter.

Pakar Lingkungan dari Universitas Padjadjaran Bandung Chay Asdak menuturkan, sejauh ini belum ada teknologi canggih di Indonesia yang mampu menormalkan kembali kualitas air. "Sebenarnya eceng gondok bisa mengurangi logam berat. Akan tetapi, nantinya justru akan menambah populasi eceng gondok dan ujungnya juga merusak kualitas air," katanya. Kalaupun ada teknologinya, menurut dia, belum tentu secara anggaran bisa terbayar. Seperti halnya pengelola Waduk Saguling, Suhata pun mengatakan memilih langkah-langkah preventif. Sejak tahun 2000, BPWC telah menanam 230.000 tanaman keras di sepanjang "sabuk hijau" (greenbelt) Cirata. "Selain itu, ada juga kerja sama dengan instansi lain dalam penanaman pohon," katanya.

Langkah preventif dinilai lebih realistis dibandingkan dengan, misalnya, mengeruk sedimentasi yang terkendala dari lahan dan biaya. "Untuk saat ini, jalan satu-satunya adalah membuang ke Jatiluhur. Akan tetapi, apakah Jatiluhur mau?" tuturnya.

Untuk itu, Suhata pun mengharapkan rencana pembangunan 22 danau oleh pemerintah segera terealisasi untuk menahan laju sedimentasi. "Kalau seperti ini terus keadaannya, ya tinggal menunggu waktu," ujarnya.

Bendungan Jatiluhur
Hujan yang terus mengguyur mengaki batkan tinggi muka air waduk Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat, terus me ningkat. ketinggian air saat ini sudah di ambang batas normal, yakni melebihi 108 meter dari yang se harusnya 107 meter. Terus me lubernya waduk Jatiluhur ditam bah meluapnya Sungai Citarum mengaki batkan ratusan rumah dari 540 kepala keluarga di De sa Cikao bandung, Purwakarta, terendam. Banjir yang mencapai 1,5 meter membuat warga mulai di evakuasi. Masyarakat berharap Perum Jasa Tirta II sebagai pengelola waduk Jatiluhur segera merelokasi lantaran hampir setiap tahun mereka menjadi langganan banjir.

Waduk Jatiluhur kritis.  Rawan jebol. Ketinggian air di waduk kini sudah mencapai 108,41 meter di atas permukaan laut (dpl) sehingga mengancam bendungan. Kondisi ini jelas meng khawatirkan. Lantaran itu pula Pemerintah Provinsi Jawa Barat segera menyiapkan langkah antisipasi agar waduk tak jebol. "Salah satunya membuka salah satu pintu air untuk menurunkan beban waduk," ujar Wakil Gubernur Jabar Yusuf Effendi, Kamis (25/3).

Opsi lain yang sedang dipertimbangkan adalah meledakkan tanggul Ubrug supaya air melimpas ke Sungai Cikao. Tapi langkah ini bukan tanpa risiko. Menurut Yusuf, bila air waduk dikurangi desa-desa di kawasan Sungai Cikao akan kebanjiran. Tapi itu lebih baik ketimbang tanggul tiba-tiba jebol. Lebih lanjut Yusuf menjelaskan, ada dua faktor yang menyebabkan pihaknya harus mengambil opsi membuka pintu air atau mele dakkan tanggul Ubrug. Pertama, ketinggian air mendekati 110 meter dpl. Kedua, berdasarkan kajian Badan Geologi, bendungan tidak mampu menahan beban. Personel badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar, aparat Polda Jabar, Kodam III/Siliwangi telah disiagakan untuk menghadapi banjir dari Waduk Jatiluhur. Setiap jam pengelola Waduk Jatiluhur diinstruksikan untuk melaporkan ketinggian air dan kondisi tanggul kepada instansi terkait Pemprov Jabar maupun Kementerian PU. Sementara itu, Dirut Perusahaan Jasa Tirta II selaku pengelola Waduk Jatiluhur Djendam Rajasinga mengaku khawatir dengan kondisii waduk. Sebab dalam tiga hari terakhir, ketinggian waduk terus berada dikisaran 108 meter dpl.

"Dengan kondisi saat ini saja wilayah Karawang sudah mengalami masalah berat. Apalagi kalau bendungan sampai jebol," kata Djendam. Waduk Jatiluhur dirancang untuk menampung air sampai dengan ketinggian 110 meter dpl. Jika melebihi batas maksimal, Waduk Jatiluhur berpotensi jebol. Air sebanyak 3,5 miliar meter kubik bisa menghantam wilayah Karawang sampai Jakarta. Bencana berupa banjir bandang lebih parah lima kali lipat jika dibandingkan dengan bencana luapan Sungai Citarum. Selain menimbulkan bencana dahsyat, jebolnya Waduk Jatiluhur bakal merusak ribuan hektare sawah di wilayah pantai utara (pantura) Jabar serta menganggu pasokan listrik Jawa-Bali. (Ima/TRI)

ELEVASI TIGA BENDUNGAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM MAMPU MENJADI MAKLUMAT SIAGA SATU

Kondisi 3 Bendungan (Saguling, Cirata, Jatiluhur) Menghawatirkan Akibat Kandungan Sedimentasi Lumpur Yang tinggi.



UU NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR

KONSIDERAN :

- sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang  memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang;

- dalam menghadapi ketidak seimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras;

- pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antar sektor, dan antar generasi;

- sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya  air;

- Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undangundangyang baru;

             
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum.
DAS CITARUM yang semula merupakan aliran sungai bersumber dari mata air di Gunung Wayang mengalir sampai ke hilir yang bermuara di tanjung Karawang dengan panjang alur sekitar 300 Km serta luas sekitar 7.400 Km2. Sepanjang  aliran sungai tersebut masuk aliran sungai-sungai kecil (seperti S. Citarik, S. Cirasea, S. Cihaur, S. Ciminyak, S. Ciwidey, S. Cisangkuy, S. Cikapundung serta sungai lainnya. Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa sungai Citarum yang merupakan kebanggaan masyarakat Kabupaten Bandung ini, dimana sepanjang daerah alirannya merupakan bagian dari tempat yang memiliki manfaat usaha ekonomi masyarakat. Kalau kita melihat bahwa bagian hulunya hanya seluas kurang lebih 5 ha, dalam area lahan seluas 7 ha ( istilah Perhutani disebut petak 7,5 yang menampung air dari beberapa mata air dan diberi nama Situ Cisanti terletak di kaki Gunung Wayang, Bandung Selatan dengan ketinggian 1.500 s/d 3.000 meter di atas permukaan laut ).
Disepanjang daerah aliran sungai Citarum terdapat 3 (tiga) bendungan dimana pada tahun 1963 di bangun bendungan Serba Guna Jatiluhur dengan kapasitas 3.000m3 , tahun 1986 dibangun bendungan Saguling dengan kapasitas 982 juta m3, dan pada tahun 1988 dibangun bendungan Cirata dengan kapasitas 2.165 juta m3. Sungai Citarum  merupakan sebuah sungai  terpanjang di Provinsi Jawa Barat, dengan ruang manfaat yang sangat menunjang akan kebutuhan air yang tidak hanya untuk Jawa Barat saja melainkan untuk kebutuhan air baku di DKI Jakarta melalui saluran  Tarum Barat. Kalau kita lihat surat keputusan bersama Menteri Dalam Negeri No. 19/1984; Menteri Kehutanan No. 059 dan Menteri Pekerjaan Umum No. 124/1984, Sungai Citarum adalah merupakan sungai yang masuk ke dalam sungai super prioritas. Luas daerah aliran sungai Citarum yang sekitar 7.400 Km2 secara fisik ekologis terbagi menjadi Tiga bagian, yaitu : (a). Bagian hulu memiliki luas  1.771 Km2, dengan batas antara Majalaya sampai dengan inlet Waduk Saguling; (b). Bagiab tengah dengan luas  4.242 Km2, yaitu dari inlet bendungan Saguling  sampai dengan outlet bendungan Jatiluhur; (c). Bagian hilir yaitu outlet bendungan Jatiluhur sampai dengan muara ke Laut Jawa dengan luas 1.387 Km2 (sumber : Pusat Litbang SDA).

 
Status Mutu Air Sungai Citarum
Menurut hasil pengkajian dari Balai Lingkungan Keairan Pusat Litbang SDA, status mutu air adalah kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan terhadap  Baku mutu air  yang ditetapkan. Banyak cara untuk melakukan penilaian status mutu air pada suatu sumber air, yaitu diantaranya yang disajikan dalam Kep Men LH No. 115/2003, tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, yaitu dengan metode Storet dan Metode Indeks Pencemaran. Namun dalam hal-hal lain yang bersifat umum sering pula hanya dengan menggunakan kelas air yang mengacu pada PP No. 82 tahun 2001.

 Adapun hasil kajian yang telah dilakukan pada tahun 2004, yaitu Pusat Litbang SDA sebagai salah satu nara sumber dalam penyusunan status lingkungan hidup Indonesia (SLHI) pada waktu itu, menghasilkan status mutu air untuk barbagai sungai penting di Indonesia.
Dengan melihat tabel tentang mutu air  tersebut di atas, dapat kita bayangkan betapa sangat menghawatirkannya kondisi Sungai Citarum pada saat sekarang ini, sebab dengan menyandang criteria CB (tercemar berat) secara teknis tentunya air sungai Citarum tidak dapat lagi di gunakan untuk kebutuhan masyarakat lokal seperti untuk mandi, cuci dan lain sebagainya, padahal sungai Citarum merupakan sungai yang selalu digunakan oleh masyarakat  lokal dari mulai Hulu sampai Hilir. Hal ini disebabkan

oleh ulah manusia juga yang selalu mengesampingkan aturan serta larangan yang disampaikan oleh Pemerintah tentang bagaimana menjaga kelestarian alam serta lingkungan dari kehancuran sesuai UU No.32 Th. 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagai contoh kecil dengan membuang sampah atau limbah secara sporadic disepanjang aliran sungai, hal ini terus menerus terjadi sampai saat sekarang dan ahirnya memunculkan suatu permasalahan besar dengan terjadinya mutu kualitas air sungai Citarum tercemar berat. Sungai Citarum  dengan sekitar 71 anak sungai masuk kealiran sungainya merupakan satu ciri tingginya tingkat sedimentasi yang dimiliki oleh sungai Citarum. Diurut dari bagian hulu Citarum dengan anak sungainya yang kurang lebih ada 54 anak sungai sampai dengan bendungan Saguling, dengan membawa kandungan Lumpur ataupun sampah domestic yang terbawa hanyut, belum lagi akibat erosi sepanjang sungai. Akibat lain yang timbul mengarah pada pendangkalan sungai sampai bendungan dimana ahirnya memunculkan permasalan baru seperti Banjir yang terjadi di Wilayah Bandung Selatan sampai sekarang masih belum dapat terantisipasi. Permasalahan yang lainnya berimbas pada terancamnya kapasitas produksi listrik yang dihasilkan 3 (tiga) PLTA  (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) sebagaimana dikatakan oleh Kelompok Riset Cekungan Bandung, T. Bachtiar  “ Kapasitas Kemampuan produksi listrik di 3 (tiga) PLTA tersebut akan terancam apabila kondisi Daerah Aliran Sungai Citarum semakin rusak dimana hal ini diakibatkan penurunan debit air dan sedimentasi Lumpur akibat erosi serta sampah domestik yang diperkirakan kurang lebih 4 juta m3 lumpur masuk ke dalam Waduk Saguling”. Dengan keadaan tersebut lambat laun sungai akan mengalami sedimentasi yang berujung pada proses pendangkalan sungai. Selain itu penggunaan pupuk anorganik serta pestisida yang berlebihan turut mendukung kerusakan kualitas air di sungai Citarum.



BendunganJatiluhur

Bendungan Jatuluhur  dengan elevasi 107m dpl. adalah merupakan bendungan Serba Guna yang difungsikan untuk  PLTA (1.387,5 MW), Pasokan air baku bagi PDAM di Jakarta (17,5 m3/S), air baku industri (110 m3/S), irigasi yang disalurkan melalui saluran Tarum Barat dan Tarum Timur (600 m3/S dengan areal irigasi 242.000 Ha), Perikanan (40.000 unit jala apung dan sekitar 12,3 m3/S untuk kolam biasa dan air deras), penggelontoran, pengendali banjir dan sarana rekreasi (sumber : Pusat Litbang SDA).

Hasil pantauan di bendungan Jatiluhur saat sekarang ini, volume air mencapai hingga 108,2 m dpl, padahal batas ketinggian bendungan hanya 107 m dpl. Kondisi ini memaksa untuk pihak PLTA harus mengalirkan air ke sungai Citarum.




Bendungan Saguling

Bendungan Saguling dengan elevasi 643 m dpl. adalah merupakan bendungan yang terletak di Kabupaten Bandung Barat sekarang (duluWilayah Kab. Bandung) yang membendung Sungai Citarum dibagian hulu Dua bendungan lainnya (bendungan Cirata dan bendungan Jatiluhur). Pada awal perencanaan, bendungan Saguling diperuntukkan untuk kebutuhan tenaga listrik dimana pada tahap awal PLTA ini menghasilkan kapasitas 700 MW  yang kemudian dapat ditingkatkan sampai 1.400 MW.  Namun dalam perjalanan waktu yang relative singkat dengan memperhitungkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan, bendungan ini mendapat penataan kembali yang kemudian dijadikan sebagai bendungan bersifat multiguna dengan tidak melepas kepentingan/kebutuhan masyarakat sekitar hingga kepentingan Pemerintah lainnya, seperti sarana objek Wisata, Kolam terapung, transportasi sungai dan masih banyak pemanfaatan lainnya, namun masyarakat lokal pun turut pula memberikan andil dengan berbagai aktivitas yang berakibat pada meningkatnya tingkat pencemaran air bendungan. Jelasnya kalau merujuk pada undang-undang yang baru yakni UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya air Pasal 1 (7), yang berbunyi “Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air”. Hal tersebut terjadi karena sebagai pintu pertama Sungai Citarum, di Saguling inilah semua kotoran “disaring” untuk pertama kali sebelum kemudian disaring kembali oleh bendungan Cirata dan terakhir oleh bendungan Jatiluhur. Daerah di sekitar bendungan Saguling berupa perbukitan, dengan banyak sumber air yang berkontribusi pada bendungan. Hal tersebut membuat bentuk bendungan Saguling sangat tidak beraturan dengan banyak teluk. Bendungan Saguling sebelumnya adalah merupakan daerah pertanian. Sementara sekarang hasilan perikanan dari Saguling harus berhadapan dengan dorongan kuat dari populasi penduduk. Hal tersebut terjadi karena setengah dari jumlah penduduknya terdiri dari petani dengan tingkat pertumbuhan tinggi. Peningkatan populasi petani tersebut mengakibatkan berkurangnya lahan yang dapat diolah sehingga memaksa mereka mengembangkan lahan pertanian mereka dengan melakukan pembabatan hutan. Yang seharusnya tidak perlu terjadi jikalau merujuk pada Perundangan yang lahir setelah bendungan dibuat, yaitu UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Pasal 47 (a,b). Sebagai konsekuensinya, muncul masalah banjir dan longsor di musim hujan. Institut Ekologi di Bandung telah mempelajari hal ini sejak tahun 1978, terutama tentang kondisi dasar daerah ini dan pemantauan serta pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan standar hidup penduduk.

Bendungan Cirata

Bendungan Cirata dengan elevasi 220m dpl, adalah sebuah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang terletak di Desa Cadas Sari, Plered, Purwakarta, Jawa Barat. Pembangkit ini mulai beroperasi pada tahun 1988. Pembangkit Listrik Cirata mengoperasikan 8 pembangkit dengan kapasitas total 1.008 MW. Energi didapat dari bendungan Cirata dengan volume 2.163 m3, yang kemudian didistribusikan melalui Sistem Interkoneksi Jawa-Bali. Unit Pembangkitan Cirata merupakan PLTA terbesar di Asia Tenggara. Sebetulnya Danau Cirata adalah danau buatan atau bendungan yang dibuat untuk menggerakan turbin agar menghasilkan listrik, atau sering kita sebut PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Tapi danau cirata memiliki keeksotikan baik dari alam maupun bangunannya. PLTA ini dibuat pada tahun 1982-1987, konstruksi jembatan atau bendungan berbentuk pyramid, serta terdapat turbin, PLTA yang memiliki bangunan (power House) dimana masyarakat menyebut bangunan tersebut dengan sebutan Gedung Buleud (Sd.) Setelah kita melihat sekilas tentang perkembangan yang ada pada DAS Sungai Citarum dimana sarat dengan kegiatan yang memanfaatkan sungai Citarum dari mulai Citarum Hulu sampai dengan Citarum Hilir, dikaitkan dengan permasalahan yang sekarang sedang terjadi seperti musibah banjir dimana-mana, sepertinya ada sesuatu yang salah dalam menuangkan konsep kebijakkan penataan ruang dalam arti luas, seyogianya apabila yang memiliki kepentingan  (terutama Pemerintah) dapat memperhitungkan “apa dan bagaimana yang akan terjadi ke depan’” apabila pemanfaatan Sungai Citarum dilakukan dengan pola yang kurang tepat, terutama mengenai teknis pengendalian Daerah Aliran Sungai Citarum.

Kapasitas Debit Air di 3 Bendungan (Saguling,Cirata,Jatiluhur) meningkat

Akibat pendangkalan sungai serta curah hujan yang tinggi, debit air di 3 Bendungan (Saguling, Cirata, Jatiluhur) yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum kini dalam keadaan menghawatirkan terutama Bendungan Jatiluhur dimana pada saat sekarang ini telah masuk dalam kondisi menghawatirkan, hal ini disebabkan curah hujan yang sangat tinggi sehingga daya tampung air di tiga Bendungan tersebut mengalami situasi di atas normal dan mengakibatkan aliran air yang dikeluarkan dari ketiga bendungan tersebut lebih besar dari pada biasanya, seperti dikatakan oleh Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC) Mujiadi “Ketinggian air pada Bendungan Jatiluhur  telah mencapai 108 m lebih dpl. Dimana batas maksimalnya berada pada angka 107 m dpl, hal ini akan mengakibatkan jumlah keluaran air menjadi lebih banyak, dan air yang dikeluarkan ke sungai Citarum dari bendungan yang bermuara langsung ke laut Jawa mencapai kurang lebih 600m3/dtk. Begitu pula dengan kondisi dua bendungan lainnya (Saguling dan Cirata) sama-sama membuang air lebih besar dari kondisi normal.

Permasalahan Daerah Aliran Sungai Citarum

Kondisi Kawasan Bandung Selatan yang mengalami musibah banjir besar pada saat sekarang ini tidak lepas dari akibat meluapnya Sungai Citarum yang kondisinya sudah sangat kritis, ditambah dengan penyebab hujan yang turun terus menerus di bagian hulu sungai Citarum. Berdasarkan pantauan Banjir Bandung Selatan, banjir di wilayah Kec. Bale Endah serta Kec. Dayeuh Kolot pada saat-saat sekarang berkisar pada angka ketinggian kurang lebih 660 m dpl.  Dengan terjadinya kondisi seperti tersebut di atas, kiranya pihak pemerintah melalui dinas terkait harus dapat dengan segera memikirkan bagaimana memilih cara yang tepat dan efisien untuk mengantisipasi keadaan yang dapat mengakibatkan dampak negative kedepan terutama di kawasan hulu sungai Citarum yang cenderung masih terjadinya perambahan hutan yang berakibat gundulnya hutan di wilayah hulu Sungai Citarum. Padahal kalau melihat UU No 41 Th. 1999 tentang Kehutanan  BAB I dalam Ketentuan Umum Bagian Kesatu. Pengertian Pasal 1; Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Lalu apa yang terjadi dengan kenyataan sekarang sampai dapat mengakibatkan terjadinya  kondisi yang memprihatinkan di bagian hulu? Tentunya ini merupakan bagian dari pemerintah untuk dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi di bagian hulu sungai Citarum. Begitu pula dengan kejadian banjir yang menimpa bagian hilir  (Kab. Krawang dan Bekasi) yang ada kaitannya dengan PLTA Jati Luhur. Kondisi air yang ada di Waduk JatiLuhur secara teknis masih dalam tatanan yang direncanakan. Pelimpahan air memang telah terjadi tapi pelimpah yang disediakan ada di bawah 7 meter dari bendungan, dimana air limpasan berkisar antara 400-500 m3/dtk. Hasil pantauan, di Waduk Jatiluhur, volume air mencapai hingga 108,2 meter diatas permukaan laut. Padahal batas ketinggian pelimpah bendungan hanya 107 meter. Kondisi ini memaksa pihaknya harus mengalirkan air ke Sungai Citarum. Dengan terendamnya wilayah Karawang akibat tingginya curah hujan tahun sekarang ini, Menteri PU mengakui, banjir memang sudah seharusnya terjadi lantaran dikarenakan; tingginya curah air hujan yang turun beberapa hari lalu. Kedua, kerusakan daerah hulu turut memperparah keadaan sehingga wilayah genangan banjir semakin bertambah. Disebutkan pula, banjir yang terjadi dihilir (Kab. Karawang, Bekasi) akibat adanya tambahan dari Sungai Cikao selain dari Sungai Citarum. Ditegaskan pula bahwa yang menjadi perhatian serius pemerintah terkait dengan pembuangan air waduk  yaitu untuk menyelamatkan bangunan bendungan serta mengendalikan banjir agar tidak meluas ke beberapa daerah. Kepada Pers Djoko Kirmanto juga menyanggah dengan munculnya isu sms yang beredar di masyarakat Karawang dimana isi pesannya menyebutkan bahwa banjir yang menimpa sebagian Jawa Barat diakibatkan dari luapan bendungan Jatiluhut yang kapasitasnya mencapai 5000 m3/dtk. Hal itu dikatakan tidak benar dan bisa meresahkan masyarakat. Menyikapi hal tersebut Menteri PU berharap agar  masyarakat  tidak begitu saja mempercayainya. Tidak ketinggalan pula Direktur PSDW (Pengelolaan Sungai, Danau dan Waduk) Widagdo memberikan komentar bahwa kejadian banjir yang menggenangi sebagian Jawa Barat diakibatkan dari tingginya curah hujan yang turun pada bagian hulu yang terus menerus. Sehubungan dengan bencana ini, Widagdo berharap agar masyarakat dapat  lebih waspada dalam mengantisipasi tindak penyelamatan. Setelah melihat bentuk permasalah yang dimiliki Daerah Aliran Sungai  (DAS) Citarum,, terlihat bahwa manusia adalah salah satu faktor penyebab paling dominan dalam permasalahan ini disamping faktor alam yang (sebetulnya) tidak selalu mengganggu dalam setiap saat. Dimana pada dasarnya permasalahan yang timbul dapat diantisipasi apabila segala sesuatunya selalu mengacu pada aturan baku yang telah tertuang melalui perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini terkesan ada aturan yang tidak termaksimalkan dalam pengimplementasiannya, secara teknis mungkin saja terselesaikan dengan baik, namun apabila melihat kejadian yang ada pada saat sekarang, tentunya semua pihak  juga dapat memberikan penilaian, seperti apa kiranya dan seperti apa juga akibat yang terjadi pada DAS Citarum yang berakibat dapat mengganggu aktivitas masyarakat di sebagian Jawa Barat ini. Sebenarnya kalau semua aturan yang tertuang di dalam Perundang-undangan yang berlaku, ditambah dengan peraturan-peraturan sampai dengan peraturan daerah (Perda) di implementasikan dengan baik tanpa ada yang dikesampingkan, pasti segala permasalahan yang ada pada tatanan yang dibangun dalam program yang menyangkut pemanfaatan DAS Citarum melalui pola penataan ruang yang tepat sesuai dengan UU No. 26 Th. 2007 tentang Penataan Ruang, akan terselesaikan dengan jauh dari segala bentuk permasalahan yang ada sekarang ini.  Begitu pula dengan beberapa peraturan Perundangan yang tidak bisa lepas dari program pemanfaatan DAS Citarum, walaupun UU tersebut lahir setelah bendungan di buat seyogianya tetap harus merujuk pada Undang-undang baru tersebut, seperti :

- UU No. 26 Th. 2007 Tentang Penataan Ruang

- UU No. 32 Th. 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

- UU No. 7 Th. 2004 Tentang Sumber Daya Air

- UU No. 41 Th. 1999 Tentang Kehutanan

- UU No. 5 Th. 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Sepertinya kecil kemungkinan akan terjadinya permasalahan yang sekarang dihadapi oleh pemerintah khususnya dalam menangani kawasan DAS Citarum. (ima/TR).



Rencana Tata Ruang Riau: Perencanaan Kehutanan dan Rencana Tata Ruang di Provinsi Riau

Setangkai Mawar Putih

Sinar Matahari keluar di balik Gunung Tangkuban Parahu
Setangkai bunga mawar putih, kami persembahkan kepada para pembaca kami yang setia mengikuti dari mulai awal sampai dengan saat ini. Segala kesalahan di dalam kata-kata yang kami persembahkan semata-mata karena masalah teknis saja. Dengan tidak mengurangi makna dan tujuan dari cita-cita yang termaktup dalam pembukaan UUD 1945  alinea ke-4, yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Memang.., untuk dapat mencapai “keadilan sosial“ sangatlah sulit, untuk itu, diperlukan filsafat hukum  dalam memahami pasal 1,27,28,31,33 serta 4 aturan peralihan dan 2 aturan tambahan.

Tujuan pembentukan LKTRI adalah mengkaji dan meneliti masalah sosialisasi peraturan per-Undang-undangan, Program Pemerintah serta Peran Serta Masyarakat khususnya menyangkut Tata Ruang Indonesia, baik yang bersumber dari dalam juga dari luar negeri, agar menjadikan masukan bagi pihak eksekutif dan legislatif, dunia pendidikan, dunia usaha, Para peneliti, Pemerhati Lingkungan Hidup, Industriawan, Wartawan, Investor, Develover, Konsultan, Kontraktor, Petani, Nelayan, umumnya masyarakat luas. Sebagai bahan kajian, masukan serta gambaran Pembangunan yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Bagimu Negeri” adalah motto kami dalam setiap menjalankan pekerjaan ini, sehingga apabila ada banyak kekurangan dan kekhilafan mohon dimaafkan.

Dunia lahir karena cinta, cinta dari Yang Maha Esa. Wahai hati penuh cinta jagalah api cinta dunia dengan kata maaf sebagai perantara. “Kemenangan sesungguhnya adalah perubahan sejati dalam diri kita untuk menjadi karakter dan hati yang suci”. Kembali ke ”Fitri” adalah tujuan akhir Ramadhan, smoga kita bisa meraihnya.

Kami dari Seluruh Jajaran Lembaga dan Media
Kajian Tata Ruang Indonesia Mengucapkan :
Selamat Hari Raya Iedul Fitri 1432 H
Semoga Amal Ibadah Kita Diterima oleh Allah SWT
amin ya robbal alamin