Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang
darat, ruang
laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam
bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
Soekarno dan Tata ruang
Sejarah kota Jakarta yang bernilai tinggi menjadikannya terpilih sebagai ibukota meskipun keberadaannya merupakan warisan kolonial. Sementara Soekarno sangat membenci hal-hal yang berbau kolonialisme. Untuk alasan itu Soekarno lebih memilih untuk mengubah wajah Jakarta dan menghilangkan unsur-unsur kolonial. Berdasarkan Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959, projek-projek mercusuar Soekarno segera dilaksanakan.
Dalam menyusun rancangannya untuk kota Jakarta Soekarno selalu menengok kota Berlin, Roma, dan Washington DC. Soekarno sangat mengagumi kemegahan Piazza Del Popolo di Roma, dan Mall of Washington DC serta Albert Speer (arsitek Jerman). Pada tahun 1956 Soekarno berkunjung ke India, USA, Kanada, Rusia, Itali, Jerman, Swiss, dan Cina. Soekarno merasa kagum, karena negara-negara itu memiliki bangunan-bangunan yang jauh lebih modern bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan di Indonesia khususnya di kota Jakarta.
Setiap kali melakukan kunjungan Soekarno selalu menyempatkan diri melihat karya-karya arsitektur dan membeli buku tentang arsitektur. Diduga hal ini berkaitan dengan keinginannya untuk membangun kota Jakarta yang awal pembangunannya dimulai pada tahun 1957. Dan alas an lain kenapa soekarno menginginkan Jakarta jadi ibukota Negara adalah :
1. Keberadaan kota Jakarta yang memiliki nilai-nilai sejarah yang sangat tinggi.
2. Desakan dari para duta besar negara-negara sahabat.
3. Agenda Indonesia yang padat untuk segera menyelenggarakan event-event internasional.
Selepas lulus HBS tahun 1920, Soekarno berangkat ke Bandung untuk melanjutkan di THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Pada tahun 1926 atau ketika berumur 25 tahun, Soekarno berhasil menyelesaikan kuliahnya dan berhak menggunakan gelar Civile Ingeniuer (Insinyur Sipil).
Setelah lulus kuliah, Soekarno dan rekannya, Anwari, mendirikan Biro Insinyur Soekarno dan Anwari pada tahun 1928. Kemudian pada Agustus 1932, Ia mendirikan Biro Insinyur Soekarno & Roosseno. Biro itu memberikan jasa perencanaan dan juga menjadi pemborong. Mula-mula biro itu berkantor di Jalan Banceuy Nomor 18, Bandung. Kemudian pindah ke gedung di Jalan Dalem Kaum, Bandung.
Soekarno yang merupakan sarjana lulusan teknik sipil, mendapatkan kemampuan merancang secara otodidak. Semasa kuliah, ia mendapat bimbingan dari Profesor CP Wolff Schoemaker dalam mata kuliah Menggambar Arsitektur. Ia juga sempat magang sebagai juru gambar di biro arsitek milik sang profesor. Pada masa magang inilah, Soekarno diberikan kesempatan mengembangkan desain paviliun Hotel Preanger yang sedang direnovasi.
Pada tahun 1926-1945, selain paviliun Grand Hotel Preanger, karya arsitektur Soekarno dapat dijumpai pada beberapa rumah di sekitar Jl. Gatot Subroto, Jl Palasari, dan Jl. Dewi Sartika, Bandung. Sedangkan salah satu rancangan tata ruang kota karya Soekarno pada tahun 1945-1950 adalah rancangan skema Kota Palangkaraya yang digagas tahun 1957. Pada periode ini ditemukan juga tugu monumental sebagai bagian tata ruang kota seperti Tugu Proklamasi Jakarta, Tugu Muda Semarang, Tugu Alun – Alun Bunder Malang, Tugu Pahlawan Surabaya serta gagasan Tugu Monumen Nasional Jakarta.
Pada 27 Januari 1962, Soekarno dianugerahi gelar doktor oleh almamaternya (ITB). Ada enam jasa Soekarno yang dianggap membuat dia layak diberi gelar doctor honoris causa. Pertama, pembangunan Gedung Pola, tempat mempertontonkan Cetak Biru Pembangunan Semesta Berencana kepada masyarakat. Garis besar fungsi bangunan itu dirancang oleh Soekarno dan diwujudkan oleh arsitek Friedrich Silaban.
Kedua, pembangunan kompleks Asian Games, kompleks olahraga terbagus di Asia pada masa itu. Kemudian pembangunan Hotel Indonesia, pembuatan Jalan Jakarta – Bypass, serta pembangunan Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional. Lalu dibangunlah Hotel Indonesia di Jakarta, Hotel Ambarukmo di Yogyakarta, Samudera Beach Hotel di Pelabuhan Ratu, dan Bali Beach Hotel di Pantai Sanur, Bali. Juga Tugu Selamat Datang dan Monumen Nasional. Untuk menyongsong Asian Games, dibangun kompleks Gelanggang Olahraga Senayan, yang juga dinamakan Gelora Bung Karno.
Presiden Soekarno memberlakukan Perpres No. 13/1963 tentang “Penertiban Pembangunan Bangunan di Sepanjang Jalan antara Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di Luar Batas-batas DKI Jakarta Raya, Daerah Swatantra Tingkat II Bogor dan Daerah Swatantra Tingkat II Cianjur”;
Presiden Soeharto menerbitkan Keppres No. 48/1983 tentang “Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan Pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta -Bogor- Puncak-Cianjur di Luar Wilayah DKI Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur dan Kota Cibinong (Keppres ini kerap disebut Keppres Penataan Ruang Kawasan Puncak);
Presiden B.J Habibie dengan Keppres No. 114 tentang “Penataan Ruang Kawasan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur”.
Soeharto dan Tata Ruang
Istilah Pembangunan sangat lekat pada diri Pak Harto. Dengan merekrut teknokrat dan militer, dia menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I-VII.
Setahun sejak dilantik sebagai presiden ke-2 RI pada 12 Maret 1967, Pak Harto langsung mengumumkan Kabinet Pembangunan I yang terdiri atas pakar, akademisi, dan militer. Setiap kabinet pembangunan (I-VII) bertugas selama lima tahun untuk melaksanakan Repelita I-VII.
Banyak capaian positif dari pembangunan yang dilalukan Pak Harto, terutama dalam menciptakan stabilitas politik dan perekonomian. Bahkan, Indonesia semasa tahun 1980-an sempat disebut sebagai salah satu "Macan Asia" karena pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Indonesia di mata dunia juga cukup disegani.
Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Untuk mengegolkan misinya itu, Pak Harto mengangkat banyak teknokrat dan ekonom yang mayoritas berpendidikan Barat dan liberal.
Keberhasilan awal dari program yang disusun tim ekonomi Soeharto adalah laju inflasi yang bisa melunak dalam waktu tiga tahun berturut-turut. Dari kisaran angka 650% pada 1966, turun menjadi 100% pada 1967, kemudian turun lagi jadi 50% pada 1968. Pada 1969, laju inflasi relatif terkendali di angka 13%.
Laju inflasi menjelang peristiwa G-30-S/PKI sangat luar biasa. Indeks biaya hidup tahun 1960 sampai 1966, naik hingga 438 kali yang mengakibatkan harga-harga di pasaran melonjak drastis. Kerja para ekonom semakin dimantapkan lewat penyusunan program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi. Pemerintah juga membuka diri untuk penanaman modal asing yang dilakukan bertahap.
Kerja keras tersebut membuahkan hasil. Indonesia berhasil meningkatkan hasil pertanian dan memperbaiki kehidupan petani. Produksi beras yang pada tahun 1969 hanya sebesar 12,2 juta ton menjadi lebih dari 25,8 juta ton pada 1984. Inilah titik di mana Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Capaian ini merupakan sebuah prestasi besar. Dari sebelumnya sebagai pengimpor beras terbesar di dunia, Indonesia bisa berswasembada.
Berkat sistem pembangunan yang diterapkannya itu, Soeharto didaulat berpidato di depan Konferensi ke-23 FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) di Roma, Italia, 14 November 1985. Dirjen FAO Dr Edouard Saouma dalam kunjungannya ke Jakarta, Juli 1986, juga menyerahkan penghargaan medali emas FAO atas prestasi tersebut. Atas dasar itu juga, MPR menganugerahi Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan Nasional.
Tidak salah kalau penghargaan ini diberikan kepada Soeharto waktu itu. Pasalnya, Soeharto berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin secara tajam. Dari 70 juta jiwa atau 60% dari jumlah penduduk di era 1970-an, menjadi 26 juta atau hanya 14%, pada 1990-an. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, Soeharto juga mencapai hasil yang mengagumkan.
B.J. Habiebie dan Pembangunan
Ketika mendapat amanah menjadi Presiden RI ke-3, kondisi ekonomi, sosial, stabilitas politik, keamanan di Indonesia berada di ujung tanduk “revolusi”.
Belajar dari kesalahan presiden pendahulunya, Jenderal Soeharto, Presiden Habibie memimpin Indonesia dengan cermat, cepat, telaten, rasional dan reformis. Habibie menunjukkan perhatiannya terhadap keinginan bangsa untuk lebih mengerti dan menerapkan prinsip umum demokrasi. Perhatiannya didasarkan pada pengamatan Habibie pada pemerintahan Orde Lama dan sebagai pejabat pada masa Orde Baru, dimana telah mengarahkan beliau untuk mempelajari situasi yang ada. Melalui proses yang sistematik, menyeluruh, dan menyatu, Habibie mengembangkan sebuah konsep yang lebih jelas, sebuah pengejewantahan dari proaktif dan prediksi preventive atas interpretasi dari demokrasi sebagai sebuah mesin politik. Konsep ini kemudian diimplementasikan dalam berbagai agenda politik, ekonomi, hukum dan keamanan seperti :
- Kebebasan multi partai dalam pemilu (UU 2 tahun 1999)
- Undang Undang anti monopoli (UU 5 tahun 1999)
- Kebijakan Independensi BI agar bebas dari pengaruh Presiden (UU 23 tahun 1999)
- Kebebasan berkumpul dan berbicara, (selanjutnya masyarakat lebih mengenal istilah demonstrasi)
- Pengakuan Hak Asasi Manusia (UU 39 tahun 1999)
- Kebebasan pers dan media,
- Usaha usaha menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme atau dengan kata lain adalah pemerintahan yang baik dan bersih. (Membuat UU Pemberantasan Tindak Korupsi pada tahun 1999)
- Penghormatan terhadap badan badan hukum dan berbagai institusi lainnya yang dibentuk atas prinsip demokrasi;
- Pembebasan tahanan-tahanan politik tanpa syarat, (eg. Sri Bintang Pamungkas dan Muktar Pakpahan)
- Pemisahan Kesatuan Polisi dari Angkatan Bersenjata.
Dalam waktu yang relatif singkat sebagai Presiden RI, Habibie telah memelihara pandangan modern beliau dalam demokrasi dan mengimplementasikannya dalam setiap proses pembuatan keputusan. Peran penting Habibie dalam percepatan proses demokrasi di Indonesia dikenal baik oleh masyarakat nasional ataupun internasional sehingga beliau dianggap sebagai “Bapak Demokrasi“. Komitmen beliau terhadap demokrasi adalah nyata. Ketika MPR, institusi tertinggi di Indonesia yang memiliki wewenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, menolak pidato pertanggung-jawaban Habibie (masalah referendum Timor-Timur), Habibie secara berani mengundurkan diri dari pemilihan Presiden yang baru pada tahun 1999. Beliau melakukan ini, selain penolakan MPR atas pidatonya tidak mengekang beliau untuk terus ikut serta dalam pemilihan, dan keyakinan dari pendukung beliau bahwa beliau akan tetap bisa unggul dari kandidat Presiden lainnya, karena yakin bahwa sekali pidatonya ditolak oleh MPR akan menjadi tidak etis baginya untuk terus ikut dalam pemilihan. Keputusan ini juga dimaksudkan sebagai pendidikan politik dari arti sebuah demokrasi.
Karena “demokratis”-nya Habibie, maka iapun memberikan opsi referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk menentukan sikap masa depannya. Namun, perlu dicatat bahwa Habibie bukanlah orang yang bodoh dengan mudah memberikan opsi referendum tanpa alasan yang jelas dan tepat. Habibie sebagai Presiden RI memberikan opsi referendum kepada rakyat Timor-Timur mengingat bahwa Timor-Timur tidak masuk dalam peta wilayah Indonesia sejak deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara yuridis, wilayah kesatuan negara Indonesai sejak 17 Agustus 1945 adalah wilayah bekas kekuasaan kolonialisme Belanda yakni dari Sabang (Aceh) hingga Merauke (Irian Jaya/ Papua). Ketika Indonesia merdeka, Timor-Timur merupakan wilayah jajahan Portugis, dan bergabung bersama Indonesia dengan dukungan kontak senjata.
Bagi sebagian orang menganggap bahwa masuknya militer Indonesia di Timor-Timur merupakan bentuk neo-kolonialisme baru (penjajahan modern) dari Indonesia pada tahun 1975. Seharusnya Indonesia tidak ikut campur pada proses kemerdekaan Timor-Timur dari penjajahan Portugis. Jadi, kita dapat memahami dibalik landasan Habibie dimana provinsi Timor-Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlu dicatat bahwa kasus Aceh dan Papua berbeda dengan Timor-Timur. Disadur dari: http://nusantaranews.wordpress.com/
Mantan Presiden Indonesia Baharuddin Jusuf Habibie memberikan beberapa masukkan kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo untuk mengatasi berbagai macam masalah yang menjadi momok bagi Ibu Kota. “Saya bertemu dengan Gubernur untuk menanyakan lebih detail permasalahan yang ada di Jakarta,”
Menurut Habibie, dia juga memberikan pertanyaan-pertanyan agar gubernur bisa mengembangkan kemampuan Fauzi. “Pertanyaan saya tadi cukup membuat rangsangan sehingga Gubernur bekerja sesuai dengan ilmu pengetahuan dan knowledge yang dimiliki,” kata Habibie.
Di tempat yang sama, Fauzi Bowo mengatakan, saran Habibie itu antara lain menyangkut masalah pemberlakuan Electronic Road Pricing (ERP). Sebelum sistem itu diterapkan Habibie menyarankan agar pemerintah menyiapkan bus yang memberi kenyamanan kepada masyarakat. Dengan adanya kenyamanan ini orang dengan suka rela beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Saran kedua, kata fauzi, berkaitan dengan masalah banjir di Jakarta. Habibie menyarankan agar penmerintah membuat tendon air yang bisa menjernihkan air secara langsung dari waduk. “Ke depan, kami akan mendesain reklamasi juga dibuatkan tendon-tandon. Sehingga fresh water dari penyaringan air laut bisa dijadikan cadangan air bersih,” ujar Fauzi.
Saran Habibie lainnya adalah membuat pengintegrasian antara desain tata ruang dengan desain transportasi. Dengan pengintegrasian ini, menurut perhitungan Habibie, dapat menghemat biaya dan juga menghemat 1/6 waktu perjalanan dari hunian ke kantor.
Megawati dan Tata Ruang
"Perlu proses belajar lebih matang lagi. Kita sebagai bangsa harus terus belajar. Jadi mereka yang duduk di lembaga legislatif itu haruslah orang-orang yang benar-benar berkualitas dan mampu menghasilkan produk-produk hukum yang berkualitas pula. Siapa yang tidak ingin punya wakil rakyat yang berkualitas.
Oleh karena itu siapapun yang mau maju jadi caleg harus mampu melakukan otokritik pada dirinya sendiri, apakah benar mampu menjadi anggota legislatif yang berkualitas dengan segala kemampuan yang ada atau belum. Saya selalu menekankan agar UU yang dibuat bukanlah untuk menyenangkan sekelompok orang dan berlaku sesaat tapi untuk mensejahterakan banyak orang dan berlaku lama."
Mengenai masalah tata ruang, Hj. Megawati Soekarnoputri berpesan hal ini mesti menjadi fokus perhatian. Menurut beliau, aturan tata ruang selama ini belum dijalankan dengan benar. Padahal tata ruang ini sangat penting dan sangat terkait langsung dengan masalah pangan. “Untuk ketahanan pangan, tanah produktif jangan diganggu.
Lebih lanjut beliau mengatakan dewasa ini banyak daerah yang tadinya lahan subur dan menjadi lumbung pangan malah dialihfungsikan menjadi areal bisnis. Sedangkan daerah yang tak produktif malah dibiarkan begitu saja.
“Daerah Kerawang-Bekasi yang dulu merupakan lumbung pangan, sekarang sudah beralih fungsi dan tak produktif lagi. Pada zaman dulu, Belanda saja tak mengalihfungsikan Kerawang-Bekasi ini karena potensi pangannya,” terang Hj. Megawati Soekarnoputri.
“Saya titip masalah pengelolaan air dan tata ruang wilayah ini kepada Gubernur Jawa Tengah. Bangsa ini dikelilingi banyak air, tetapi minim air bersih,” kata Megawati saat membuka Konferensi Daerah Dewan Pimpinan Daerah PDIP Jawa Tengah, di Semarang, Senin.
Menurut dia, penataan ruang di negara ini tidak jelas. “Dimana saja orang bisa membangun. Masalah ini bahkan sudah dibicarakan di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa,” katanya. Ia menuturkan, jika pola hidup masyarakat dunia terus seperti ini, dikhawatirkan akan terjadi bencana kekurangan pangan.
Ia mengatakan, masyarakat telah teracuni pikiran pragmatis yang hanya memikirkan kepentingan sesaat. Permasalahan sumber daya air dan tata ruang wilayah ini, kata dia, seharusnya dipikirkan di tingkat pusat, namun hingga saat ini belum dibicarakan secara serius.
SBY dan Tata Ruang
Pemerintah menegaskan pembangunan harus memperhatikan lingkungan dan tata ruang. Sebab, sudah banyak lingkungan yang rusak dan terlantar akibat tidak adanya konsep tata ruang dan pengelolaan lahan yang benar.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan kerusakan itu terjadi karena kealpaan penyusunan tata ruang dan pengolahan lain. Sehingga dia mengatakan, pembangunan di sektor kehutanan, penambangan dan lainnya tak bisa dilakukan jika tanpa konsep tata ruang dan pengelolaan lahan yang benar.
Menurutnya, pengelolaan sumber daya alam dan lahan harus mengutamakan kepentingan bersama. "Bukan hanya kepentingan usaha besar, tapi juga usaha menengah, usaha kecil, usaha rakyat," kata Presiden SBY dalam peringatan Hari Agraria Nasional di Istana Bogor.
SBY menambahkan jika tata ruang dan pemanfaatan lahan dilakukan dengan baik sesuai dengan perencanaan dan aturan yang berlaku, maka status hukumnya jelas. Alhasil, jika status hukum dan kepemilikan serta penggunaan tanah jelas, maka menjadi bagian untuk menjaga ketenteraman dalam kehidupan.
SBY juga meminta jajaran pemerintah pusat dan daerah, lembaga-lemabag negara serta masyarakat, mematuhi peraturan perundang-undangan tentang tanah dan tata ruang. "Dengan demikian tidak terjadi tumpang tindih pengakuan atau klaim atas tanah," katanya.