Senin, 22 Agustus 2011

Hierarki Perundang-undangan

Menurut UU RI No. 10 tahun 2004.

Pada 24  Mei 2004, DPR dan pemerintah telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi Undang-Undang (UU RI No. 10 Tahun 2004). Undang-Undang ini menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang ini juga memerintahkan untuk menempatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disamping itu, diatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan (Pasal 7). Sebelumnya, hierarki peraturan perundang-undangan dituangkan dalam produk hukum ketetapan MPR/MPRS sebagaimana telah dibahas di atas. Adapun jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 UU tersebut adalah sebagai berikut :





BAB III, diatur mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 14. Menurut UU tersebut, materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal berikut :
a.    Mangatur lebih lanjut ketentuan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang meliputi :
  1.    Hak-hak asasi manusia;
  2.    Hak dan kewajiban warga Negara;
  3.    Pelaksanaan dan penegakkan kedaulatan serta pembagian kekuasaan Negara;
  4.    Wilayah Negara dan pembagian daerah;
  5.    Kewarganegaraan dan kependudukan;
  6.    Keuangan Negara;
b.    Diperintahkan oleh satu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

Materi muatan Perpu sama dengan materi muatan Undang-Undang. Adapun materi muatan peraturan pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi mautan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah. Materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah, serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi muatan peraturan desa yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau setingkat serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi muatan mengenai ketentuan dana hanya dapat dimuat dalam undang-undang Peraturan daerah.

Di dalam UU tersebut Ketetapan MPR/MPRS harus dihapuskan dari hierarki peraturan perundang-undangan dan mengembalikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) setingkat dengan undang-undang. Di samping itu UU ini juga mengakomodir permintaan dari pemerintah agar peraturan menteri masuk dalam hierarki, namun ditolak oleh Komisi II DPR, yakni rumusan dalam pasal 7 ayat (4) yang berbunyi  : “Jenis peraturan perundang-undangan selain yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Penegasan terhadap beberapa hal dalam undang-undang ini merupakan koreksi terhadap pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan yang selama ini pernah berlaku (TAP MPRS NO.XX/MPRS/1966 dan TAP MPR.No.III/MPR/2000). Penghapusan sumber hukum ketetapan MPR dan tata urutan peraturan perundang-undangan dinilai tepat karena menurut Hamid S. Attamimi, Ketetapan MPR tidak tepat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Yang termasuk peraturan perundang-undangan adalah undang-undang ke bawah, UUD, dan TAP MPR harus dilepaskan dalam pengertian peraturan perundang-undangan.

Setelah UUD 1945 mengalami perubahan dengan perubahan pertama sampai dengan keempat, semakin berkembang pengertian bahwa format peraturan dasar ini, terutama menyangkut kedudukan Ketetapan MPR yang sejak lama mendapat kritik dari para ahli Hukum Tata Negara, mengalami perubahan.
Pada hakikatnya Perpu sama dan sederajat dengan undang-undang, hanya syarat pembentukannya yang berbeda. Oleh karena itu, penegasan dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa materi muatan perpu sama dengan materi muatan undang-undang adalah tepat. Menurut Jimly Asshiddiqie, sebagai konsekuensi telah bergeser nya kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) junkto Pasal 5 ayat (1) baru UUD 1945, kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif makin dipertegas.Oleh karena itu, semua peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden haruslah mengacu kepada undang-undang dan UUD, dan tidak boleh lagi bersifat mandiri seperti keputusan Presiden di masa lalu. Jika DPR menolak menyetujui perpu tersebut, menurut ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD 1945, Presiden harus mencabut kembali dengan tindakan pencabutan. Agar lebih tegas, ketentuan pencabutan ini, sebaiknya disempurnakan menjadi “tidak berlaku lagi demi hukum”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar