Sabtu, 27 Agustus 2011

Sejarah PT Freeport Indonesia

Forbes Wilson (kanan) bersama rekannya anggota
tim geologist Freeport di Erstberg, 1967
Sejarah PT Freeport Indonesia (PTFI) bermula saat seorang manajer eksplorasi Freeport Minerals Company; Forbes Wilson, melakukan ekspedisi pada tahun 1960 ke Papua setelah membaca sebuah laporan tentang ditemukannya Ertsberg atau Gunung Bijih; sebuah cadangan mineral, oleh seorang geolog Belanda; Jean Jacques Dozy, pada tahun 1936.
    Setelah ditandatanganinya Kontrak Karya pertama dengan Pemerintah Indonesia bulan April 1967, PTFI memulai kegiatan eksplorasi di Ertsberg pada Desember 1967. Konstruksi skala besar dimulai bulan Mei 1970, dilanjutkan dengan ekspor perdana konsentrat tembaga pada bulan Desember 1972.
    Setelah para geolog menemukan cadangan kelas dunia Grasberg pada tahun 1988, operasi PTFI menjadi salah satu proyek tambang tembaga/emas terbesar di dunia. Di akhir tahun 1991, Kontrak Karya kedua ditandatangani dan PTFI diberikan hak oleh Pemerintah Indonesia untuk meneruskan operasinya selama 30 tahun.
Dalam tahun 2005, PTFI telah menghasilkan dan menjual konsentrat yang mengandung 1,7 miliar pon tembaga dan 3,4 juta ons emas.
    PTFI merupakan salah satu pembayar pajak terbesar bagi negara. Sejak tahun 1992 sampai dengan 2005, manfaat langsung dari operasi perusahaan terhadap Indonesia dalam bentuk dividen, royalti dan pajak mencapai sekitar 3,9 miliar dolar AS. Selain itu, PTFI juga telah memberikan manfaat tidak langsung dalam bentuk upah, gaji dan tunjangan, reinvestasi dalam negeri, pembelian barang dan jasa, serta pembangunan daerah dan donasi.

JJ. Dozy (kanan) bersama rekannya Frits J. Wissel
dan pimpinan ekspedisi, Dr. Anton H. Coljin.
Riwayat PT. Freeport
·    1936, Ekspedisi Colijn, termasuk Jean-Jacques Dozy, merupakan kelompok luar pertama yang mencapai gunung gletser Jayawijaya dan menemukan Ertsberg.
·    1960, Ekspedisi Freeport dipimpin Forbes Wilson & Del Flint menje-lajah Ertsberg.
·    1963, Serah terima Nederlands Nieuw-Guinea dari pihak Belanda ke PBB, yang pada gilirannya mengalih-kannya ke Indonesia, Rencana proyek tambang ditangguhkan akibat kebijaksanaan rezim Soekarno.
·    1966, Peralihan kekuasaan penuh dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Pembentukan pemerintahan baru yang mendorong investasi sektor swasta serta langkah-langkah reformasi ekonomi lainnya. Freeport diundang ke Jakarta untuk pembicaraan awal mengenai kontrak tambang di Ertsberg.
·    1967, Penandatanganan Kontrak Karya untuk masa 30 tahun, yang menjadikan PTFI sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 10 km persegi.
·    1969, Negosiasi kontrak penjualan jangka panjang dan perjanjian proyek pendanaan. Studi kelayakan selesai dan disetujui.
·    1970, Pembangunan proyek berskala penuh dimulai.
·    1972, Uji coba pengapalan pertama ekspor konsentrat tembaga dari Ertsberg.
·    1973, Peluncuran proyek, dan lokasi kota dinamakan Tembagapura. Proyek Ertsberg mulai beroperasi.
·    1975, Kegiatan eksplorasi dimulai atas cadangan bawah tanah tembaga pada Gunung Bijih Timur (GBT).
·    1976, Pemerintah Indonesia membeli 8,5% saham PTFI dari Freeport Minerals Company dan investor lain.
·    1978, Studi kelayakan proyek tambang bawah tanah GBT disetujui.
·    1981, Tambang bawah tanah GBT mulai beroperasi.
·    1985, Tambahan cadangan tembaga bawah tanah ditemukan di bawah tambang bawah tanah GBT.
·    1987, Setelah mengalami beberapa kali pengembangan produksi rata-rata meningkat menjadi 16.400 ton/hari dua kali lipat dari rencana awal pada tahun 1967 cadangan total menjadi 100 juta ton metrik.
·    1988, Cadangan Grasberg ditemu-kan, melipatgandakan cadangan total menjadi 200 juta ton metrik.
·    1989, Perluasan hingga 32.000 ton/hari disetujui, dan kajian untuk perluasan hingga 52.000 selesai. Pemerintah Indonesia mengeluarkan izin untuk melakukan eksplorasi tambahan di atas 61.000 hektar.
·    1990, Pekerjaan konstruksi berlanjut atas perluasan hingga 52.000 ton/hari.
Jan Ruygrok, anggota tim Wilson, seorang mantan
 AL Belanda, mengayuh pedal utnk generator listrik
agar dapat menyalakan radio untuk mengirimkan
laporan serta meminta bantuan logistik.

·    1991 Penandatanganan Kontrak Karya baru dengan masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun ditandatangani bersama Pemerintah Indonesia. Hingga akhir tahun, total cadangan berjumlah hampir 770 juta ton metrik.
·    1992, Kajian perluasan hingga 90.000 ton/hari disetujui. Sementara produksi rata-rata sebesar 58.000 ton/hari, pekerjaan berlanjut untuk meningkatkan kapasitas hingga 66.000 ton/hari.
·    1993, PTFI melakukan privatisasi atas beberapa aset non-tambang tertentu. Peningkatan hingga 115.000 ton/hari disetujui. FCX membeli RTM (pabrik peleburan di Spanyol). Hingga akhir tahun, total cadangan mencapai hampir 1,1 miliar ton metrik.
·    1994, Studi Dampak Lingkungan Hidup 160.000 ton/hari PTFI disetujui. Pengumuman tentang usaha patungan pabrik peleburan PT Smelting di Gresik.
·    1995, PTFI menandatangani kerjasama dengan Rio Tinto. Kota baru di dataran rendah, Kuala Kencana, diresmikan. Bersamaan dengan Konsentrator #3, pening-katan hingga 125.000 ton/hari yang melebihi rencana selesai sebelum waktunya dan di bawah anggaran. Kegiatan eksplorasi berlanjut yang bersebelahan dengan kegiatan operasional mengidentifikasi daerah-daerah baru yang memiliki potensi mineralisasi yang signifikan, yakni "Segitiga Emas". Penambahan tambang bawah tanah Grasberg meningkatkan cadangan menjadi 1,9 miliar ton metrik hingga akhir tahun.
·    1996, Upaya eksplorasi memberi ha-sil sangat baik dengan penambahan cadangan Kucing Liar; hingga akhir tahun, total cadangan mencapai lebih 2 miliar ton metrik. PTFI mulai ikut serta di dalam Rencana Pengem-bangan Timika Terpadu dari Peme-rintah, dengan sumbangan satu persen dari pendapatan setiap tahun (dana 1%). PTFI melakukan audit sosial dan lingkungan hidup secara sukarela dengan hasil yang positif. Komitmen membangun sarana-sarana bagi Pemerintah Indonesia menghasilkan peningkatan penga-manan bagi personil dan kegiatan operasional. Perluasan Konsentrator # 4 disetujui.
·    1997, Audit Sosial oleh Labat Anderson diserahkan kepada PTFI dan Kementerian Lingkungan Hidup, dan revisi dilakukan terhadap penyelenggaraan FFIJD agar lebih tanggap terhadap kebutuhan pem-bangunan di desa-desa. PTFI men-dapatkan izin perluasan hingga 300.000 ton/hari. Pekerjaan perluasan Konsentrator # 4 berlanjut. Tambahan cadangan hingga akhir tahun terdiri dari 2,6x produksi tembaga dan 3x produksi emas untuk tahun 1997, terutama tambahan dari Kucing Liar.
·    1998, PT Smelting yang 25% kepemilikannya dikuasai PTFI mulai beroperasi di Jawa Timur. PTFI me-masok seluruh kebutuhan konsen-tratnya. Perluasan Konsentrator #4 selesai dan mulai beroperasi. PTFI melakukan program operasional "Hunker Down and Go" (Bertahan dan Maju) di tengah iklim harga komoditas rendah, dengan mencapai rata-rata lebih 196.000 ton/hari, dan produksi logam mencapai rekor, serta biaya produksi tunai neto yang rendah. Tambahan cadangan yang cukup signifikan berasal dari DOZ dan Kucing Liar meningkatkan cadangan total menjadi hampir 2,5 miliar ton metrik.
Ertsberg, 1967.

·    1999, Audit Lingkungan Hidup oleh Montgomery-Watson selesai, yang menemukan bahwa sistem penge-lolaan lingkungan hidup yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh PTFI merupakan "teladan dan contoh bagi industri pertambangan." Kegiatan operasional mencetak rekor produksi logam serta biaya tunai satuan. Proyek bawah tanah DOZ dengan kapasitas 25,000 ton/hari disetujui dan diluncurkan.
·    2000, MoU tentang sumber daya sosial ekonomi, HAM, hak ulayat, dan hak lingkungan hidup diumum-kan oleh pimpinan LEMASA (lem-baga masyarakat suku Amungme), LEMASKO (lembaga masyarakat suku Kamoro) dan PTFI. Pemba-ngunan tambang bawah tanah DOZ dimulai. Produksi tembaga mencapai rekor dengan lebih 1,64 miliar pon tembaga.
·    2001, FCX dan PTFI menanda-tangani perjanjian sukarela khusus Dana Perwalian bersama warga Amungme dan Kamoro yang tinggal dekat wilayah kegiatan tambang, dengan menyumbang jumlah awal sebesar $2,5 juta AS, dan selanjutnya $1 juta AS setiap tahun. Tingkat produksi pabrik pengolahan (mill) mencapai rekor dengan hampir 238.000 ton/hari serta produksi emas rata-rata setiap tahun mencapai hampir 3,5 juta ons.
·    2002, Produksi tembaga mencapai rekor dengan 1,8 miliar pon tembaga. Tambang bawah tanah DOZ mencapai produksi berkelanjutan sebesar 25.000 ton/hari. PTFI menyerahkan kepada Pemerintah Indonesia hasil kajian Penilaian Resiko Lingkungan Hidup dari sistem pengelolaan tailing yang menetapkan bahwa dampak lingkungan hidup sesuai dengan yang diperkirakan pada AMDAL 1997, dan disetujui oleh Pemerintah.
Ekspedisi Wilson menggunakan 14 perahu kano dan
44 pendayung Kamoro untuk mengangkut manusia dan barang melalui
Sungai Mawati ke arah hulu di kaki pegunungan.

·    2003, Peningkatan DOZ hingga 35.000 ton/hari disetujui dan selesai. Peristiwa longsor di tambang terbuka Grasberg berdampak terhadap kegiatan Kuartal 4. Biaya produksi tunai netto rata-rata mencatat rekor kredit sebesar 2¢ per pon tembaga.
·    2004 Kegiatan pembersihan di tambang terbuka Grasberg selesai, dan kegiatan operasional dilanjutkan dengan penambangan pada bagian berkadar tinggi tambang Grasberg. DOZ beroperasi pada tingkat 43.600 ton/hari, melebihi kapasitas rancangan sebesar 35.000 ton/hari; peningkatan hingga 50.000 ton/hari disetujui.
·    2005 Hasil berkadar tinggi dari Grasberg menyebabkan jumlah produksi yang hampir mencapai rekor sebesar 1,6 miliar pon tembaga dan 3,4 juta ons emas. DOZ tetap beroperasi pada tingkat 42.000 ton/hari, melebihi kapasitas rancang. Pengembangan cadangan Big Gossan disetujui. Audit lingkungan hidup eksternal tiga tahunan yang dilakukan Montgomery-Watson-Harza menyimpulkan bahwa praktek pengelolaan lingkungan hidup perusahaan masih berdasarkan (dan dalam berbagai hal mewakili) praktek pengelolaan terbaik untuk industri pertambangan tembaga dan emas secara internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar