Citatah - Kab. Bandung Barat (foto diambil oleh Tim TATARUANG INDONESIA |
Karst Desa Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa barat memiliki potensi pegunungan kapur dan kondisinya mulai rusak. Tidak hanya kerusakan lingkungan yang merupakan dampak negatif dari adanya kegiatan penambangan. Kesehatan masyarakat pun berdampak langsung dari penambangan kapur. Asap-asap yang dihasilkan dari peledakan dapat menyebabkan gangguan pada pernafasan. Melihat permasalahan yang ada di Karst Citatah, penting diadakan penelitian untuk menganalisis keberadaan penambangan kapur tersebut secara ekonomi dan dampak apa yang dirasakan oleh masyarakat sekitar dengan keberadaan penambangan batu kapur tersebut.
Desa Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat ternyata tidak hanya merupakan kawasan batu gamping, namun juga memiliki fenomena yang langka, yaitu perbukitan kapur (karst) yang unik dan cantik. Selain itu, melimpahnya batu kapur membuat perusahaan meminta pemerintah untuk mengeluarkan izin penambangan batu kapur dengan dalih memanfatkan batu kapur untuk kepentingan masyarakat.
Akibat peledakan bukit kapur ini, menyebabkan rusaknya lingkungan. Hilangnya sumber mata air yang dilindungi, dan asap yang mengepul akibat peledakan dan pembakaran. Akibatnya dapat mengganggu kesehatan masyarakat, khususnya yang berada disekitar lokasi.
Manfaat Aktivitas Penambangan Kapur
Desa Citatah merupakan salah satu desa terletak di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Adapun luas desa adalah 1.300 ha dengan topografi wilayah berbukit-bukit. Jumlah penduduk di Desa Citatah adalah sebanyak 4.436 Kepala Keluarga (KK), yang terdiri dari 7.563 orang laki-laki dan 8.202 orang perempuan. Mata pencaharian masyarakat desa adalah sebagai petani, pengusaha kecil dan menengah, karyawan perusahaan swasta dan buruh. Sedangkan pendidikan rata-rata penduduk desa adalah SD dan SMP (baik tamat maupun tidak).
Desa Citatah memiliki potensi yang paling menonjol adalah pegunungan kapur yang mengelilingi desa. Hingga saat ini potensi tersebut banyak dimanfaatkan dengan melakukan aktivitas penambangan dan penggalian dan produk terbesar adalah batu kapur. Hak kepemilikan atas penmanfaatannya dimiliki oleh swasta dan juga perorangan. Menurut data Profil Desa (2009), jumlah penambangan galian C kerakyatan/ perorangan adalah sebanyaka 19 orang, pemilik usaha pertambangan skala kecil dan besar berjumlah 8 orang, dan masyarakat yang menjadi buruh usaha pertambangan sebanyak 185 orang. Selain itu masyarakat juga ada yang mejadi tukang batu, dari profesi ini mampu menyerap tenaga kerja hingga 142 orang.
Aktivitas penambangan kapur, dan aktivitas lainnya yang berhubungan dengan penambangan seperti pabrik pengolahan memberikan manfaat baik bagi pemerintah desa maupun masyarakat sendiri. Bagi pemerintah desa, aktivitas ini memberikan pemasukan bagi pendapatan asli desa (Tabel 5, lampiran 1). Manfaat juga dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara, 87 persen responden mengatakan bahwa mereka merasakan manfaat dari adanya aktivitas panambangan. Manfaat tersebut berupa, pekerjaan, pendapatan, subsidi tahunan (THR), dan lain-lain. Responden yang mewakili masyarakat merasakan manfaat sebagi pendapatan utama, pendapatan anggota, pendapatan sampingan dari aktivitas penambangan, dan manfaat lain berupa THR, tunjang sosial dan lain sebagainya.
Estimasi manfaat dapat diketahui dengan menjumlahkan pendapatan penduduk yang berkaitan dengan kegiatan penambangan. Hasil pengolahan data yang telah dilakukan diketahui bahwa, nilai pendapatan rata-rata keluarga dari keberadaan penambangan kapur adalah sebesar Rp 31.817.915/tahun baik dari pendapatan utama, pendapatan sampingan dan pendapatan anggota keluarga lain. Selain itu, setiap KK juga memperoleh subsidi berupa THR sebesar Rp 157.750/tahun.
Manfaat keberadaan penambangan kapur ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat sekitar, akan tetapi juga memberikan manfaat bagi pemasukan desa. Pendapatan desa dari keberadaan penambangan kapur ini sebesar Rp 113.500.000/tahun. Bila dari keseluruhan hasil manfaat tersebut dikonversikan dengan jumlah populasi masyarakat,maka akan di dapatkan total manfaat. Total selurh manfaat dari aktivitas penambangan kapur sebesar Rp 33.613.835.788/tahun
Citatah - Kab. Bandung Barat (foto diambil oleh Tim TATARUANG INDONESIA |
Kerugian Akibat Aktivitas Penambangan Kapur
Aktivitas penambangan ataupun pengolahan hasil tambang yang banyak terdapat di sekitar Desa Citatah menimbulkan kerugian-kerugian yang dirasakan masyarakat dan lingkungan sendiri, termasuk kondisi karst. Sebanyak 86,3 persen responden yang berdomisili di Desa Citatah mengatakan bahwa kondisi karst sesudah terjadinya penambangan semakin buruk bila dibandingkan dengan sebelum adanya penambangan. Kerugian yang dirasakan oleh masyarakat berupa kerusakan lingkungan dan gangguan terhadap kesehatan.
Ganguan kesehatan yang dialami masyarakat, sering kali diabaikan. Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap penyakit yang ditimbulkan belum termasuk penyakit berat dan dapat diobati hanya dengan membeli obat warung. Jenis penyakit yang dirasakan masyarakat antara lain gangguan pernapasan (sesak nafas, bronkitis, asma, dan paru-paru), batuk dan kencing batu. Menurut data Puskesmas Kecamatan Cipatat, masyarakat Desa Citatah sering mengeluhkan penyakit pernapasan, dan kebanyakan yang terserang penyakit pernapasan adalah balita dan anak-anak.
Asap-asap yang mengepul keluar dari pabrik-pabrik pengolahan kapur dapat mengganggu pernapasan masyarakat sehingga menyebabkan sakit saluran pernapasan seperti batuk, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan lainnya. Selain itu, penyakit yang pernah diderita masyarakat adalah kencing batu.
Menurut masyarakat yang tinggal di sekitar penambangan dan pabrik, penyakit kencing batu yang banyak terjadi disebabkan karena air yang dikonsumsi oleh masyarakat mengandung zat kapur. Biaya total yang dikeluarkan untuk penyakit batuk sebesar Rp 2.270.500,- dengan rata-rata Rp 75.683,- per KK/tahun.
Sakit saluran pernapasan lainnya, biaya pengobatan yang dikeluarkan sebesar Rp 10.235.000,- dengan rata-rata sebesar Rp 330.161,- per KK/tahun dan sakit kencing batu biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 2.990.000 dengan rata-rata Rp 598.000,- per KK/tahun, sehingga biaya kesehatan yang dikeluarkan sebesar Rp 15.390.500 dengan rata-rata Rp 279.827 per KK/tahun.
Air yang dikonsumsi oleh masyarakat mengandung zat kapur, karena air tanah yang terkontaminasi oleh kapur. Oleh karena itu, masyarakat mencari alternatif lain untuk konsumsi sehari-hari, misalnya pembelian air kemasan galon dan pengaliran air bersih dari mata air lain.
Adapun biaya yang dikeluarkan untuk pembelian air sebesar Rp 7.296.000 dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 128.000 dan pengeluaran untuk biaya pembelian selang sebesar Rp 2.450.000 dengan rata-rata per tahun sebesar Rp 816.000. Sehingga total pengeluaran untuk biaya pengganti sebesar Rp 31.850.000 dengan rata-rata Rp 549.138 per tahun.
Sementara itu Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi.
Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan lempengan lempengan tersebut. Gempa bumi yang paling parah biasanya terjadi di perbatasan lempengan kompresional dan translasional. Gempa bumi fokus dalam kemungkinan besar terjadi karena materi lapisan litosfer yang terjepit kedalam mengalami transisi fase pada kedalaman lebih dari 600 km.
Beberapa gempa bumi lain juga dapat terjadi karena pergerakan magma di dalam gunung berapi. Gempa bumi seperti itu dapat menjadi gejala akan terjadinya letusan gunung berapi. Beberapa gempa bumi (jarang namun) juga terjadi karena menumpuknya massa air yang sangat besar di balik dam, seperti Dam Karibia di Zambia, Afrika. Sebagian lagi (jarang juga) juga dapat terjadi karena injeksi atau akstraksi cairan dari/ke dalam bumi (contoh. pada beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi dan di Rocky Mountain Arsenal. Terakhir, gempa juga dapat terjadi dari peledakan bahan peledak. Hal ini dapat membuat para ilmuwan memonitor tes rahasia senjata nuklir yang dilakukan pemerintah. Gempa bumi yang disebabkan oleh manusia seperti ini dinamakan juga seismisitas terinduksi. (Com/TRI)
Sementara itu Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi.
Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan lempengan lempengan tersebut. Gempa bumi yang paling parah biasanya terjadi di perbatasan lempengan kompresional dan translasional. Gempa bumi fokus dalam kemungkinan besar terjadi karena materi lapisan litosfer yang terjepit kedalam mengalami transisi fase pada kedalaman lebih dari 600 km.
Beberapa gempa bumi lain juga dapat terjadi karena pergerakan magma di dalam gunung berapi. Gempa bumi seperti itu dapat menjadi gejala akan terjadinya letusan gunung berapi. Beberapa gempa bumi (jarang namun) juga terjadi karena menumpuknya massa air yang sangat besar di balik dam, seperti Dam Karibia di Zambia, Afrika. Sebagian lagi (jarang juga) juga dapat terjadi karena injeksi atau akstraksi cairan dari/ke dalam bumi (contoh. pada beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi dan di Rocky Mountain Arsenal. Terakhir, gempa juga dapat terjadi dari peledakan bahan peledak. Hal ini dapat membuat para ilmuwan memonitor tes rahasia senjata nuklir yang dilakukan pemerintah. Gempa bumi yang disebabkan oleh manusia seperti ini dinamakan juga seismisitas terinduksi. (Com/TRI)
Saran
1) Sebaiknya ada peraturan yang tegas dan jelas oleh pemerintah mengenai pemanfaatan kapur. Hal ini dibutuhkan agar eksploitasi terhadap kapur dapat terkendali.
2) Adanya pengawasan terhadap pemanfaatan kapur bagi penambang, jika penambang melakukan penambangan dengan cara yang merusak lingkungan secepatnya ditindak tegas oleh pihak yang berwajib.
3) Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terkait nilai kerusakan yang sudah terjadi di Karst Citatah, agar dapat segera diberikan kebijakan terbaik terhadap pemanfaatan karst tersebut.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
Konsideran
Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan pelindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk pelindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.
Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanggulangan bencana yang ada belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.
BAB III
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG
Pasal 5
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG
Pasal 5
Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Pasal 6
Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan;
b. pelindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.
Pasal 7
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah;
d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain;
e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana;
f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala nasional.
(2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat indikator yang meliputi:
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan presiden.
Pasal 8
Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b. pelindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan belanja daerah yang memadai.
Pasal 9
Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
c. pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;
d. pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya;
e. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan
f. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala provinsi, kabupaten/kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar