Konsekuensi dari setiap pembangunan adalah berupa imbas terhadap lingkungan juga ekositem sekitarnya. Hal ini berkaitan langsung pada acuan aspek pemenuhan kebutuhan laju perekonomian daerah di dalam mengimplementasikan prioritas palayanan pembangunan.
Salah satu faktor yang banyak mempengaruhi penyelenggaraannya adalah kurangnya perhatian dari apa yang telah dikerjakan, sehingga mengakibatkan beragam kejadian yang bias merugikan masyarakat luas. Seperti di dalam penanggulangan masalah Sungai Citarum yang sudah beberapa kali mengalami pengerukan, ternyata kegiatan tersebut tidak lebih hanya menghamburkan biaya/anggaran semata. Sebab dari penegerukan itu tidak mengurangi meluapnya air kepermukaan. Selain itu, dari hasil pengerukan lebih banyak sampah yang ditarik ketimbang tanah. Juga warna air sungai Citarum yang berwarna dan berbau dari pembuangan limbah industri cenderung bias mengakibatkan tersebarnya penyakit pernapasan kepada masyarakat.
Pernyataan itu diungkapkan Karyono, tokoh masyarakat Kabupaten Bandung, ketika ditemui wartawan Media Kajian dan Informasi TATA RUANG INDONESIA, dirumahnya, Jum’at, 2/9/2011, ketika dimintai tanggapannya seputar penyelenggaraan penanggulangan masalah banjir Sungai Citarum. Karyono menerangkan, setiap alur pasti ada manfaatnya. Begitu juga dengan sungai Citarum yang dulu alurnya berbelok-belok, itu merupakan gejala alam di dalam menahan laju air sehingga tidak sampai melimpah ruah.
Dari instrument alam tersebut tercipta sebuah nuansa keharmonisan lingkungan. Dari sinilah semestinya kita belajar memahami filosopi alam. Bahwa setiap testur dan kriteria yang diciptakan alam merupakan karakter penyeimbang bukan penghalang. Bila kemudian alur dari sungai Citarum di rubah hanya demi tuntutan pembangunan, dengan merubah setiap alur berikut karakteristiknya. Sehingga mengakibatkan laju air sungai Citarum frekuensi kecepatannya bertambah, maka dampak banjir inilah yang akan terjadi. Jadi intinya hal ini bukan musibah, melainkan akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.
Apa lagi banyak pembangunan yang kita lihat sekarang seperti sengaja menentang arus sungai. Bayangkan saja, sudah arusnya deras, tertahan bangunan, akibatnya air akan meluap kesekitarnya yang merupakan daerah hunian masyarakat.
Secara hakekat, pengerukan yang dilakukan pemerintah hanya merupakan upaya saja di dalam mencoba mengurangi luapan air. Bukan untuk menanggulangi banjir seperti yang diharapkan masyarakat. Inilah sebuah system yang semestinya segera dibenahi agar mekanisme kerja yang dilakukan tidak hanya berorientasi kepada besaran anggaran semata.
Jika memang banjir sungai Citarum dikategorikan sebuah salah satu bencana, maka sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, pada pasal 5, dijelaskan; Pemerintah dan Pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pasal 6; Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan meliputi :
- Pengurangan risiko bencana dan pemamnduan penguarangan resiko bencana dengan program pembangunan.
- Perlindungan masyarakat dari dampak bencana.
- Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum.
- Pemulihan kondisi dari dampak bencana.
- Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memadai.
- Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk siap pakai .
- Dan pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.
Sementara pada Pasal 8, dijelaskan, tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi ;
- Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum.
- Perlindungan masyarakat dari dampak bencana.
- Pengurangan resiko bencana dan pemanduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan .
- Dan pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang memadai.
Pasal 9, Wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penaggulangan bencana meliputi;
- Penetapan kebijakan penaggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah.
- Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana.
- Pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi dan/ atau kabupaten/ kota lain.
- Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya.
- Perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya.
- Dan penertiban pengumpulan dan penyaluran uang atau barang pada wilayahnya.
Sementara itu, dari Bagian Bina Pemerintahan Kabupaten Bandung diperoleh data tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung untuk tahun 2007-2027. Tapi tidak ada sedikit pun membahas permasalahan penanggulangan masalah sungai Citarum. Beberapa item lebih dititikberatkan pada isu regional perencanaan menyangkut tata ruang, diantaranya :
1. Infrastruktur.
A. Transportasi.
- kurangnya kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana transportasi baik skala kabupaten maupun skala regional.
- Belum memadainya Sistem Angkutan Umum Massal.
- Belum optimalnya manajemen transportasi.
B. Sumber Daya air.
- Belum adanya keterpaduan pengelolaan sumber daya air antara hulu dan hilir (banjir dan kekeringan).
- Perlunya optimalisasi pemanfaatan sumber daya air.
- Masih adanya konflik kepentingan pemanfaatan air (permukiman vs pertanian, industri vs pertanian, dan lain-lain).
2. Pengelolaan Lingkungan.
A. Instalasi Pengelolaan Lingkungan.
- Masih kurangnya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pengelolaan lingkungan, antara lain; IPAL Industri, Ipal Domestik, Instalasi Pengelolaan B3, IPAL Kotoran Ternak, dan lain-lain.
B. Persampahan.
- Belum terpadunya sistem pengelolaan sampah.
- Masih terbatasnya sarana dan prasarana persampahan.
- Masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah.
C. Konservasi Sumber Daya Alam.
- Kurangnya pengelolaan lahan kritis.
- Kurangnya pengelolaan Sumber Mata Air.
- Masih adanya pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.
Padahal, lanjut Karyono, permasalahan Citarum lebih menyangkut kepentingan orang banyak yang semestinya merupakan bagian dari item perencanan RTRW Kabupaten Bandung. Sebab pada dasarnya penyelenggaraan tata ruang tidak hanya menyangkut darat saja. Air dan udara merupakan bagian dari pada tata ruang juga.
Dari KH. Sofyan Yahya, MM., Anggota DPD MPR RI Provinsi Jawa Barat,. ketika dimintai keterangan oleh wartawan Media Kajian dan Informasi TATA RUANG INDONESIA, bulan Juli 2011 lalu, menuturkan, setiap perencanaan pemerintah hanyalah merupakan instrument dari perangkat kerja.
Dari instrument tersebut diilustrasikan beragam prioritas kegiatan yang akan diselenggarakan sesuai dengan perencanaan. Permasalahannya bukan terletak pada perencanaan itu semata. Melainkan berkaitan di dalam penyelenggaraannya.
Sebab di dalam penyelenggaraan pembangunan seringkali terjadi indikasi-indikasi penyelewengan dan pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak terkait. Akibat daripada itu, kerugian yang akan timbul ke permukaan bukan hanya hanya berupa anggaran saja. Masyarakat sekitar pun akan terkena imbasnya.
Lebih tepatnya, setiap perencanaan yang di buat pemerintah senantiasa berorientasi untuk kepentingan bersama. Hanya yang menyelenggarakan perencanaaan ini berikut pelaksanaannya , bisakah dilakukan dengan rasa penuh tanggung jawab.
Ini merupakan gambaran prilaku yang semestinya dijadikan acuan untuk bisa lebih meningkatkan royalitas pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, permasalahan sungai Citarum jangan dijadikan sebagai bagian dari agenda kerja yang setiap tahunnya menjadi nagian dari anggaran yang ditetapkan.
Sebaliknya pemerinyah mesti tanggap dengan mencati pokok permasalahannya agar bisa segera dilakukan pembenahan secara maksimal. Dengan demikian perencanaan pembangunan lainnya bisa dilaksanan dengan baik. Apa lagi saat ini penyusunan RTRW Kabupaten Bandung tahun 2007-2011 dijadikan landasan pengembangan pembangunan dengan beberapa item prioritas kendala dan kenyataan dilapangan secara bertahap akan dilaksanakan oleh pemerintah.
Namun jangan karena perencanaan baru permasalahan lama dikesampingkan dengan alasan factor musim. Ini suaqtu kebiasaan yang tanpa sadar kerap dilakukan pemerintahan. Baru setelah ada kejadian mereka langsung tanggap dan melakukan sebuah perbuatan yang mengatasnamakan bantuan.
Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, akan terjadilah sebuah fragmentasi dengan semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Bentuk transisi kepercayaan ini akan semakin kuat bila tidak dilakukan upaya pembenahan oleh pemerintah dengan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Terutama mewadahi setiap aspirasi yang mencuat kepermukaan dan tanggap dalam menindaklanjuti, maka akan terselenggara sebuah dinamika keharmonisan pemerintah dengan masyarakat.
Masyarakat sebenarnya bukan sebagai penuntut tapi mereka mengharapkan apa yang menjadi keinginan mereka semua bisa dinikmati tanpa harus ada imbas. Meski pun setiap penyelenggaraan pembangunan senantiasa mengakibatkan imbas yang cenderung merugikan masyarakat.
Sebaliknya jika pemerintah sebelum menyelenggarakan pembangunan melakukan komunikasi dengan masyarakat secara persuasive, besar kemungkinan masyarakat akan bisa mnegerti. Dari sinilah permasalahannya akan timbul. Bisa nggak mereka yang memegang amanah dari pemerintah melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab? Hal ini jelas berkaitan dengan moral seseorang. Jadi lebih jelasnya, pejabat menyeleweng atau korupsi itu bukan berita, tapi kalau pejabat jujur dan penuh tanggung jawab, ini baru berita menarik.
Kaitan daripada moral itu dilatarbelakangi adanya akses kekuasaan atau akses jabatan. Sehingga tanpa sadar perbuatan mereka itu sudah merugikan masyarakat dan Negara.
Untuk itu, tambah KH. Sofyan Yahya, perlu adanya pembenahan akhlaq dan aqidah bagi setiap penyelenggara dipemerintahan. Supaya mereka bisa memahami arti dari tanggung jawab dan amanah yang sudah diberikan.
Memang hal ini berkaitan dengan kepribadian seseorang. Tapi tidak ada salahnya pembenahan akhlaq dan aqidah itu dilakukan, melalui beragam kegiatan kerohanian agar lambat laun bisa merubah prilaku dan kebiasaan yang sebelumnya mempengaruhi prilaku mereka.
Mengubah kebiasaan itu tidak semudah membalikan tangan. Tapi bila mereka berniat untuk merubahnya dan datang dari dirinya pribadi, maka tidak ada yang tidak mungkin untuk bisa dilakukan.
Pembaharuan pembangunan jangan dari aspek pisik saja. Aspek moral dan aspek tanggung jawab pun semestinya menjadi bagian dari perencanaan pembangunan. Agar pada setiap penyelenggaraan pembangunan setelah dilakukan pembenahan akhlaq dan aqidah bisa amanah dan sesuai dengan kriteria kebutuhan.
Inilah sebenarnya pembangunan yang sangat diharapkan masyarakat mana pun juga. Masyarakat dan pemerintah akan senantiasa beriringan satu sama lain karena merasa nyaman dan tenang. Juga kepercayaan masyarakat akan kuat mengakar sehingga terbinalah komunikasi yang harmonis antara kedua belah pihak.
Sedangkan dari Ketua Lembaga Kajian Tata Ruang Indonesia (LKTRI), Mulyana Abdul Manan, menyikapi perencanaan Penyusunan RTRW Pemkab Bandung mengatakan, mengapa Pemerintah Kabupaten Bandung pada Penyusunan RTRW, harus menggunakan kata Isu Regional? Ada maksud apa dari ungkapan itu sebenarnya? Semestinya Pemkab Bandung jangan memutarbalikan fakta dengan memanipulasi kata. Akuilah secara jujur setiap kekurangan yang ada jangan di buat lebih komplek lagi.
Dengan berlaku jujur besar kemungkinan masyarakat akan turut peduli dengan masa depan daerahnya. Jadi janganlah setiap permasalahan selalu dikatakan isu. Sebenarnya kata isu itu penempatannya di mana dan untuk apa kegunaannya? Dan tanggung jawab pemerintah harus menjelaskan setiap isu itu kepada masyarakat agar masyarakat bisa mengerti maksud yang terkandung dari isu tersebut.
Alasan yang diungkapkan Mulyana, pada buku penyusunan RTRW Kabupaten Bandung, ada penjelasan mengenai kondisi Existing Infrastruktur, yaitu :
1. Transportasi. - Kuantitas dan Kualitas prasarana jalan tidak memadai.
- Kemacetan pada titik-titik tertentu.
- Angkutan Umum sebanyak 129 trayek (lk. 3.735 kendaraan), AKDP sebanyak 87 (lk. 7.371 kendaraan).
- Jumlah terminal sebanyak 16 ( 5 kondisi sedang dan 11 rusak), jumlah Halte 12 buah.
- Kebutuhan perumahan yang belum terpenuhi (Backlog) kurang lebih 178.984 unit rumah tahun 2004.
- Jumlah timbunan sampah perhari kurang lebih 7.353 m3/hari. Kapasitas pengangkutan 11,78%.
- Desa yang sudah teraliri listrik sekitar 70,9%.
- Kapasitas Air Bersih terpasang 3.017.088 m3 dengan debit rata-rata 98 I/dt yang seluruhnya telah dimanfaatkan.
- PDAM Kabupaten Bandung pada tahun 2002 hanya dapat melayani 2,57% penduduk dengan tingkat kehilangan air (unaccounted for water) sebesar 41,9% dan diprediksikan menjadi 20% pada tahun 2010.
- Prosentase masyarakat yang sudah menikmati air bersih mencapai 55,56%.
3. Irigasi dan Sumber daya Air,
- jumlah DI (Daerah Irigasi) 29, dengan rincian 26 Irigasi Teknis dan 3 Irigasi setengah teknis.
- Irigasi Fungsional mencapai 85,99% dari baku irigasi.
- Jumlah Sumber Mata Air 258 buah dengan kapasitas 9.241 l/dt luas tangkapan.
- Air Permukaan dengan luas tangkapan 1.570,87 km2 dan ketersediaan air keadaan normal 1.999,366 juta m3/tahun, keadaan kering 1.349,405 juta m3/tahun dengan debit rata-rata keadaan normal 64,28 m3/dt, keadaan kering 43,38 m3/dt.
4. Sistem Drainase.
- Sistem drainase mengikuti pola jaringan jalan, topografi dan jaringan sungai.
- Sistem drainase eksisting baru mencakup sebagian kecil dari daerah pelayanan dan sebagian besar berada di pusat-pusat kegiatan saja.
- Saluran drainase masih digunakan bersama-sama dengan system penyaluran air limbah baik domestic mau pun industri (sistem tercampur) sehingga terjadi penurunan kapasitas aliran pada saat musim hujan.
Keterangan ini sudah sangat menjelaskan akan permasalahan yang ada di wilayah Kabupaten Bandung. Lalu mengapa permasalahan itu harus dimanipulasi dengan kata “ISU”. Terus terang pernayataan Isu tersebut tidak menggambarkan ketransparanan penyelenggara dipemerintahan. Lebih baik divisualisasikan dengan apa adanya jangan di manipulasi sehingga masyarakat bisa tahu persis bagaimana keadaan Kabupaten Bandung dari tahun ke tahun.
“Kita hanya bisa mengharap agar pemerintah bisa melaksanakan setiap penyelenggaraan pembangunan dengan penuh rasa tanggung jawab. Mengenai salah dan benarnya tergantung pada pribadinya sendiri. Pula masalah amanah dan tidaknya kita tidak bisa memberikan asumsi sepihak. Yang pasti setiap penyelenggara pembangunan diharapkan akhlaq dan aqidahnya sudah bersih. Jadi tidak akan ada permasalahan alagi yang akan mencuat keperrmukaan sehingga menimbulkan berbagai persoalan,” kata KH. Sofyan Yahya menegaskan.
(Ki Agus N. Fattah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar