Senin, 29 Agustus 2011

ELEVASI TIGA BENDUNGAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM MAMPU MENJADI MAKLUMAT SIAGA SATU

Kondisi 3 Bendungan (Saguling, Cirata, Jatiluhur) Menghawatirkan Akibat Kandungan Sedimentasi Lumpur Yang tinggi.



UU NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR

KONSIDERAN :

- sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang  memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang;

- dalam menghadapi ketidak seimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras;

- pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antar sektor, dan antar generasi;

- sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya  air;

- Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undangundangyang baru;

             
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum.
DAS CITARUM yang semula merupakan aliran sungai bersumber dari mata air di Gunung Wayang mengalir sampai ke hilir yang bermuara di tanjung Karawang dengan panjang alur sekitar 300 Km serta luas sekitar 7.400 Km2. Sepanjang  aliran sungai tersebut masuk aliran sungai-sungai kecil (seperti S. Citarik, S. Cirasea, S. Cihaur, S. Ciminyak, S. Ciwidey, S. Cisangkuy, S. Cikapundung serta sungai lainnya. Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa sungai Citarum yang merupakan kebanggaan masyarakat Kabupaten Bandung ini, dimana sepanjang daerah alirannya merupakan bagian dari tempat yang memiliki manfaat usaha ekonomi masyarakat. Kalau kita melihat bahwa bagian hulunya hanya seluas kurang lebih 5 ha, dalam area lahan seluas 7 ha ( istilah Perhutani disebut petak 7,5 yang menampung air dari beberapa mata air dan diberi nama Situ Cisanti terletak di kaki Gunung Wayang, Bandung Selatan dengan ketinggian 1.500 s/d 3.000 meter di atas permukaan laut ).
Disepanjang daerah aliran sungai Citarum terdapat 3 (tiga) bendungan dimana pada tahun 1963 di bangun bendungan Serba Guna Jatiluhur dengan kapasitas 3.000m3 , tahun 1986 dibangun bendungan Saguling dengan kapasitas 982 juta m3, dan pada tahun 1988 dibangun bendungan Cirata dengan kapasitas 2.165 juta m3. Sungai Citarum  merupakan sebuah sungai  terpanjang di Provinsi Jawa Barat, dengan ruang manfaat yang sangat menunjang akan kebutuhan air yang tidak hanya untuk Jawa Barat saja melainkan untuk kebutuhan air baku di DKI Jakarta melalui saluran  Tarum Barat. Kalau kita lihat surat keputusan bersama Menteri Dalam Negeri No. 19/1984; Menteri Kehutanan No. 059 dan Menteri Pekerjaan Umum No. 124/1984, Sungai Citarum adalah merupakan sungai yang masuk ke dalam sungai super prioritas. Luas daerah aliran sungai Citarum yang sekitar 7.400 Km2 secara fisik ekologis terbagi menjadi Tiga bagian, yaitu : (a). Bagian hulu memiliki luas  1.771 Km2, dengan batas antara Majalaya sampai dengan inlet Waduk Saguling; (b). Bagiab tengah dengan luas  4.242 Km2, yaitu dari inlet bendungan Saguling  sampai dengan outlet bendungan Jatiluhur; (c). Bagian hilir yaitu outlet bendungan Jatiluhur sampai dengan muara ke Laut Jawa dengan luas 1.387 Km2 (sumber : Pusat Litbang SDA).

 
Status Mutu Air Sungai Citarum
Menurut hasil pengkajian dari Balai Lingkungan Keairan Pusat Litbang SDA, status mutu air adalah kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan terhadap  Baku mutu air  yang ditetapkan. Banyak cara untuk melakukan penilaian status mutu air pada suatu sumber air, yaitu diantaranya yang disajikan dalam Kep Men LH No. 115/2003, tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, yaitu dengan metode Storet dan Metode Indeks Pencemaran. Namun dalam hal-hal lain yang bersifat umum sering pula hanya dengan menggunakan kelas air yang mengacu pada PP No. 82 tahun 2001.

 Adapun hasil kajian yang telah dilakukan pada tahun 2004, yaitu Pusat Litbang SDA sebagai salah satu nara sumber dalam penyusunan status lingkungan hidup Indonesia (SLHI) pada waktu itu, menghasilkan status mutu air untuk barbagai sungai penting di Indonesia.
Dengan melihat tabel tentang mutu air  tersebut di atas, dapat kita bayangkan betapa sangat menghawatirkannya kondisi Sungai Citarum pada saat sekarang ini, sebab dengan menyandang criteria CB (tercemar berat) secara teknis tentunya air sungai Citarum tidak dapat lagi di gunakan untuk kebutuhan masyarakat lokal seperti untuk mandi, cuci dan lain sebagainya, padahal sungai Citarum merupakan sungai yang selalu digunakan oleh masyarakat  lokal dari mulai Hulu sampai Hilir. Hal ini disebabkan

oleh ulah manusia juga yang selalu mengesampingkan aturan serta larangan yang disampaikan oleh Pemerintah tentang bagaimana menjaga kelestarian alam serta lingkungan dari kehancuran sesuai UU No.32 Th. 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagai contoh kecil dengan membuang sampah atau limbah secara sporadic disepanjang aliran sungai, hal ini terus menerus terjadi sampai saat sekarang dan ahirnya memunculkan suatu permasalahan besar dengan terjadinya mutu kualitas air sungai Citarum tercemar berat. Sungai Citarum  dengan sekitar 71 anak sungai masuk kealiran sungainya merupakan satu ciri tingginya tingkat sedimentasi yang dimiliki oleh sungai Citarum. Diurut dari bagian hulu Citarum dengan anak sungainya yang kurang lebih ada 54 anak sungai sampai dengan bendungan Saguling, dengan membawa kandungan Lumpur ataupun sampah domestic yang terbawa hanyut, belum lagi akibat erosi sepanjang sungai. Akibat lain yang timbul mengarah pada pendangkalan sungai sampai bendungan dimana ahirnya memunculkan permasalan baru seperti Banjir yang terjadi di Wilayah Bandung Selatan sampai sekarang masih belum dapat terantisipasi. Permasalahan yang lainnya berimbas pada terancamnya kapasitas produksi listrik yang dihasilkan 3 (tiga) PLTA  (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) sebagaimana dikatakan oleh Kelompok Riset Cekungan Bandung, T. Bachtiar  “ Kapasitas Kemampuan produksi listrik di 3 (tiga) PLTA tersebut akan terancam apabila kondisi Daerah Aliran Sungai Citarum semakin rusak dimana hal ini diakibatkan penurunan debit air dan sedimentasi Lumpur akibat erosi serta sampah domestik yang diperkirakan kurang lebih 4 juta m3 lumpur masuk ke dalam Waduk Saguling”. Dengan keadaan tersebut lambat laun sungai akan mengalami sedimentasi yang berujung pada proses pendangkalan sungai. Selain itu penggunaan pupuk anorganik serta pestisida yang berlebihan turut mendukung kerusakan kualitas air di sungai Citarum.



BendunganJatiluhur

Bendungan Jatuluhur  dengan elevasi 107m dpl. adalah merupakan bendungan Serba Guna yang difungsikan untuk  PLTA (1.387,5 MW), Pasokan air baku bagi PDAM di Jakarta (17,5 m3/S), air baku industri (110 m3/S), irigasi yang disalurkan melalui saluran Tarum Barat dan Tarum Timur (600 m3/S dengan areal irigasi 242.000 Ha), Perikanan (40.000 unit jala apung dan sekitar 12,3 m3/S untuk kolam biasa dan air deras), penggelontoran, pengendali banjir dan sarana rekreasi (sumber : Pusat Litbang SDA).

Hasil pantauan di bendungan Jatiluhur saat sekarang ini, volume air mencapai hingga 108,2 m dpl, padahal batas ketinggian bendungan hanya 107 m dpl. Kondisi ini memaksa untuk pihak PLTA harus mengalirkan air ke sungai Citarum.




Bendungan Saguling

Bendungan Saguling dengan elevasi 643 m dpl. adalah merupakan bendungan yang terletak di Kabupaten Bandung Barat sekarang (duluWilayah Kab. Bandung) yang membendung Sungai Citarum dibagian hulu Dua bendungan lainnya (bendungan Cirata dan bendungan Jatiluhur). Pada awal perencanaan, bendungan Saguling diperuntukkan untuk kebutuhan tenaga listrik dimana pada tahap awal PLTA ini menghasilkan kapasitas 700 MW  yang kemudian dapat ditingkatkan sampai 1.400 MW.  Namun dalam perjalanan waktu yang relative singkat dengan memperhitungkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan, bendungan ini mendapat penataan kembali yang kemudian dijadikan sebagai bendungan bersifat multiguna dengan tidak melepas kepentingan/kebutuhan masyarakat sekitar hingga kepentingan Pemerintah lainnya, seperti sarana objek Wisata, Kolam terapung, transportasi sungai dan masih banyak pemanfaatan lainnya, namun masyarakat lokal pun turut pula memberikan andil dengan berbagai aktivitas yang berakibat pada meningkatnya tingkat pencemaran air bendungan. Jelasnya kalau merujuk pada undang-undang yang baru yakni UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya air Pasal 1 (7), yang berbunyi “Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air”. Hal tersebut terjadi karena sebagai pintu pertama Sungai Citarum, di Saguling inilah semua kotoran “disaring” untuk pertama kali sebelum kemudian disaring kembali oleh bendungan Cirata dan terakhir oleh bendungan Jatiluhur. Daerah di sekitar bendungan Saguling berupa perbukitan, dengan banyak sumber air yang berkontribusi pada bendungan. Hal tersebut membuat bentuk bendungan Saguling sangat tidak beraturan dengan banyak teluk. Bendungan Saguling sebelumnya adalah merupakan daerah pertanian. Sementara sekarang hasilan perikanan dari Saguling harus berhadapan dengan dorongan kuat dari populasi penduduk. Hal tersebut terjadi karena setengah dari jumlah penduduknya terdiri dari petani dengan tingkat pertumbuhan tinggi. Peningkatan populasi petani tersebut mengakibatkan berkurangnya lahan yang dapat diolah sehingga memaksa mereka mengembangkan lahan pertanian mereka dengan melakukan pembabatan hutan. Yang seharusnya tidak perlu terjadi jikalau merujuk pada Perundangan yang lahir setelah bendungan dibuat, yaitu UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Pasal 47 (a,b). Sebagai konsekuensinya, muncul masalah banjir dan longsor di musim hujan. Institut Ekologi di Bandung telah mempelajari hal ini sejak tahun 1978, terutama tentang kondisi dasar daerah ini dan pemantauan serta pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan standar hidup penduduk.

Bendungan Cirata

Bendungan Cirata dengan elevasi 220m dpl, adalah sebuah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang terletak di Desa Cadas Sari, Plered, Purwakarta, Jawa Barat. Pembangkit ini mulai beroperasi pada tahun 1988. Pembangkit Listrik Cirata mengoperasikan 8 pembangkit dengan kapasitas total 1.008 MW. Energi didapat dari bendungan Cirata dengan volume 2.163 m3, yang kemudian didistribusikan melalui Sistem Interkoneksi Jawa-Bali. Unit Pembangkitan Cirata merupakan PLTA terbesar di Asia Tenggara. Sebetulnya Danau Cirata adalah danau buatan atau bendungan yang dibuat untuk menggerakan turbin agar menghasilkan listrik, atau sering kita sebut PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Tapi danau cirata memiliki keeksotikan baik dari alam maupun bangunannya. PLTA ini dibuat pada tahun 1982-1987, konstruksi jembatan atau bendungan berbentuk pyramid, serta terdapat turbin, PLTA yang memiliki bangunan (power House) dimana masyarakat menyebut bangunan tersebut dengan sebutan Gedung Buleud (Sd.) Setelah kita melihat sekilas tentang perkembangan yang ada pada DAS Sungai Citarum dimana sarat dengan kegiatan yang memanfaatkan sungai Citarum dari mulai Citarum Hulu sampai dengan Citarum Hilir, dikaitkan dengan permasalahan yang sekarang sedang terjadi seperti musibah banjir dimana-mana, sepertinya ada sesuatu yang salah dalam menuangkan konsep kebijakkan penataan ruang dalam arti luas, seyogianya apabila yang memiliki kepentingan  (terutama Pemerintah) dapat memperhitungkan “apa dan bagaimana yang akan terjadi ke depan’” apabila pemanfaatan Sungai Citarum dilakukan dengan pola yang kurang tepat, terutama mengenai teknis pengendalian Daerah Aliran Sungai Citarum.

Kapasitas Debit Air di 3 Bendungan (Saguling,Cirata,Jatiluhur) meningkat

Akibat pendangkalan sungai serta curah hujan yang tinggi, debit air di 3 Bendungan (Saguling, Cirata, Jatiluhur) yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum kini dalam keadaan menghawatirkan terutama Bendungan Jatiluhur dimana pada saat sekarang ini telah masuk dalam kondisi menghawatirkan, hal ini disebabkan curah hujan yang sangat tinggi sehingga daya tampung air di tiga Bendungan tersebut mengalami situasi di atas normal dan mengakibatkan aliran air yang dikeluarkan dari ketiga bendungan tersebut lebih besar dari pada biasanya, seperti dikatakan oleh Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC) Mujiadi “Ketinggian air pada Bendungan Jatiluhur  telah mencapai 108 m lebih dpl. Dimana batas maksimalnya berada pada angka 107 m dpl, hal ini akan mengakibatkan jumlah keluaran air menjadi lebih banyak, dan air yang dikeluarkan ke sungai Citarum dari bendungan yang bermuara langsung ke laut Jawa mencapai kurang lebih 600m3/dtk. Begitu pula dengan kondisi dua bendungan lainnya (Saguling dan Cirata) sama-sama membuang air lebih besar dari kondisi normal.

Permasalahan Daerah Aliran Sungai Citarum

Kondisi Kawasan Bandung Selatan yang mengalami musibah banjir besar pada saat sekarang ini tidak lepas dari akibat meluapnya Sungai Citarum yang kondisinya sudah sangat kritis, ditambah dengan penyebab hujan yang turun terus menerus di bagian hulu sungai Citarum. Berdasarkan pantauan Banjir Bandung Selatan, banjir di wilayah Kec. Bale Endah serta Kec. Dayeuh Kolot pada saat-saat sekarang berkisar pada angka ketinggian kurang lebih 660 m dpl.  Dengan terjadinya kondisi seperti tersebut di atas, kiranya pihak pemerintah melalui dinas terkait harus dapat dengan segera memikirkan bagaimana memilih cara yang tepat dan efisien untuk mengantisipasi keadaan yang dapat mengakibatkan dampak negative kedepan terutama di kawasan hulu sungai Citarum yang cenderung masih terjadinya perambahan hutan yang berakibat gundulnya hutan di wilayah hulu Sungai Citarum. Padahal kalau melihat UU No 41 Th. 1999 tentang Kehutanan  BAB I dalam Ketentuan Umum Bagian Kesatu. Pengertian Pasal 1; Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Lalu apa yang terjadi dengan kenyataan sekarang sampai dapat mengakibatkan terjadinya  kondisi yang memprihatinkan di bagian hulu? Tentunya ini merupakan bagian dari pemerintah untuk dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi di bagian hulu sungai Citarum. Begitu pula dengan kejadian banjir yang menimpa bagian hilir  (Kab. Krawang dan Bekasi) yang ada kaitannya dengan PLTA Jati Luhur. Kondisi air yang ada di Waduk JatiLuhur secara teknis masih dalam tatanan yang direncanakan. Pelimpahan air memang telah terjadi tapi pelimpah yang disediakan ada di bawah 7 meter dari bendungan, dimana air limpasan berkisar antara 400-500 m3/dtk. Hasil pantauan, di Waduk Jatiluhur, volume air mencapai hingga 108,2 meter diatas permukaan laut. Padahal batas ketinggian pelimpah bendungan hanya 107 meter. Kondisi ini memaksa pihaknya harus mengalirkan air ke Sungai Citarum. Dengan terendamnya wilayah Karawang akibat tingginya curah hujan tahun sekarang ini, Menteri PU mengakui, banjir memang sudah seharusnya terjadi lantaran dikarenakan; tingginya curah air hujan yang turun beberapa hari lalu. Kedua, kerusakan daerah hulu turut memperparah keadaan sehingga wilayah genangan banjir semakin bertambah. Disebutkan pula, banjir yang terjadi dihilir (Kab. Karawang, Bekasi) akibat adanya tambahan dari Sungai Cikao selain dari Sungai Citarum. Ditegaskan pula bahwa yang menjadi perhatian serius pemerintah terkait dengan pembuangan air waduk  yaitu untuk menyelamatkan bangunan bendungan serta mengendalikan banjir agar tidak meluas ke beberapa daerah. Kepada Pers Djoko Kirmanto juga menyanggah dengan munculnya isu sms yang beredar di masyarakat Karawang dimana isi pesannya menyebutkan bahwa banjir yang menimpa sebagian Jawa Barat diakibatkan dari luapan bendungan Jatiluhut yang kapasitasnya mencapai 5000 m3/dtk. Hal itu dikatakan tidak benar dan bisa meresahkan masyarakat. Menyikapi hal tersebut Menteri PU berharap agar  masyarakat  tidak begitu saja mempercayainya. Tidak ketinggalan pula Direktur PSDW (Pengelolaan Sungai, Danau dan Waduk) Widagdo memberikan komentar bahwa kejadian banjir yang menggenangi sebagian Jawa Barat diakibatkan dari tingginya curah hujan yang turun pada bagian hulu yang terus menerus. Sehubungan dengan bencana ini, Widagdo berharap agar masyarakat dapat  lebih waspada dalam mengantisipasi tindak penyelamatan. Setelah melihat bentuk permasalah yang dimiliki Daerah Aliran Sungai  (DAS) Citarum,, terlihat bahwa manusia adalah salah satu faktor penyebab paling dominan dalam permasalahan ini disamping faktor alam yang (sebetulnya) tidak selalu mengganggu dalam setiap saat. Dimana pada dasarnya permasalahan yang timbul dapat diantisipasi apabila segala sesuatunya selalu mengacu pada aturan baku yang telah tertuang melalui perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini terkesan ada aturan yang tidak termaksimalkan dalam pengimplementasiannya, secara teknis mungkin saja terselesaikan dengan baik, namun apabila melihat kejadian yang ada pada saat sekarang, tentunya semua pihak  juga dapat memberikan penilaian, seperti apa kiranya dan seperti apa juga akibat yang terjadi pada DAS Citarum yang berakibat dapat mengganggu aktivitas masyarakat di sebagian Jawa Barat ini. Sebenarnya kalau semua aturan yang tertuang di dalam Perundang-undangan yang berlaku, ditambah dengan peraturan-peraturan sampai dengan peraturan daerah (Perda) di implementasikan dengan baik tanpa ada yang dikesampingkan, pasti segala permasalahan yang ada pada tatanan yang dibangun dalam program yang menyangkut pemanfaatan DAS Citarum melalui pola penataan ruang yang tepat sesuai dengan UU No. 26 Th. 2007 tentang Penataan Ruang, akan terselesaikan dengan jauh dari segala bentuk permasalahan yang ada sekarang ini.  Begitu pula dengan beberapa peraturan Perundangan yang tidak bisa lepas dari program pemanfaatan DAS Citarum, walaupun UU tersebut lahir setelah bendungan di buat seyogianya tetap harus merujuk pada Undang-undang baru tersebut, seperti :

- UU No. 26 Th. 2007 Tentang Penataan Ruang

- UU No. 32 Th. 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

- UU No. 7 Th. 2004 Tentang Sumber Daya Air

- UU No. 41 Th. 1999 Tentang Kehutanan

- UU No. 5 Th. 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Sepertinya kecil kemungkinan akan terjadinya permasalahan yang sekarang dihadapi oleh pemerintah khususnya dalam menangani kawasan DAS Citarum. (ima/TR).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar